RANJANG YANG TERNODA PART 24

 

Pagi itu tidak seperti biasanya, terik panas mentari lebih panas dari biasanya. Keringat lebih cepat menetes walaupun baru berjemur beberapa menit di bawah sinar matahari. Beberapa orang pemuda berkulit gelap menurunkan karung-karung berisi beras dari mobil bak tanpa mengeluh, sementara di bawah, seorang pria berusia paruh baya menghitung karung dan meletakkannya di timbangan besar di mana seorang lelaki lain mengukurnya. Pria paruh baya itu berulang kali mengelap keringat yang menetes dari dahi dengan menggunakan handuk kecil yang ia selampirkan di leher, berkali pula ia menarik topi kerucut yang ia kenakan dan ia kipas-kipaskan ke wajah untuk memberikan angin.






“Panas banget si… hari ini.” keluh sang pria paruh baya.


“Iya bang, kali panas ini gara-gara pemanasan glo… apa tuh… yang disebut-sebut di tipi itu ya?” timpal sang pengukur timbangan.


“Pemanasan global kali maksudnya?” jawab sang pria paruh baya sambil mengerutkan kening.


“Iya yah? Saya sih gak maksud, bang. Ya itu yang dibilang sama abang itu.” Sang pengukur timbangan tersenyum dan tersipu malu.






Sang pria paruh baya menepuk-nepuk pundak sang pengukur timbangan. Tiba-tiba saja satu sosok wanita berkelebat melalui mereka, sosok yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan karung beras berhenti bekerja karena takjub.






“Buset! Apaan tuh yang barusan, bang?” tanya sang pengukur timbangan sambil mengucek mata. “Beneran kagak yang lewat? Beneran yah?”




Sang pria paruh baya menatap ke arah sosok yang lewat sambil geleng-geleng tak percaya. “Beneran, Jo. Gila. Yang baru lewat itu beneran.”




Apa yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan beras terpukau?




Sosok wanita yang baru saja melewati mereka adalah sosok Lidya. Kali ini menantu Pak Hasan itu mengikuti kemauan gila sang mertua dengan mengantarkannya berjalan-jalan di sebuah pasar kecil yang berada sedikit jauh dari rumahnya. Lidya tidak mau mengambil resiko berjalan-jalan di pasar besar yang berada di dekat rumah karena takut akan ketahuan beberapa orang kenalan atau tetangga.




Sambil menggandeng mertuanya yang tersenyum bangga, Lidya berlenggak-lenggok di lorong-lorong pasar sambil memutar pinggulnya, dia sebenarnya malu sekali melakukan ini di depan orang-orang pasar, tapi mertuanya yang bejat memaksanya tanpa kenal ampun. Seperti waktu berjalan-jalan di mall, Lidya mengenakan baju yang sama sekali tidak sepantasnya dikenakan sewaktu masuk ke dalam pasar.




Lidya hanya mengenakan sebuah kemeja kecil putih yang sangat pas dengan lekuk tubuh atasnya dengan memakai BH berukuran mini dan tipis. Ukuran kemeja yang terlalu kecil mencetak keindahan lekuk tubuh Lidya untuk santapan mata para lelaki yang saat itu berada di dalam pasar. Mata mereka mengikuti gerak tubuh Lidya bagaikan seorang penonton pertandingan tenis yang mengikuti gerak arah bola. Buah dada Lidya bergerak naik turun tanpa bisa dikendalikan seiring gerakan lenggok pantatnya yang bergerak dengan sempurna. Karena sempitnya pakaian dan tipisnya bh yang ia kenakan, orang bisa melihat ujung puting buah dada Lidya menjorok ke luar seakan minta diselamatkan dari sempitnya pakaian yang ia kenakan. Ukuran buah dada Lidya yang besar membuat pakaian itu sulit dikancingkan, ia hanya bisa pasrah seandainya ada orang yang dengan sengaja mengintip-intip buah dadanya melalui sela-sela kancing yang terbuka.




Selain mengenakan pakaian sempit dengan BH tipis, Pak Hasan memaksa Lidya mengenakan rok pendek yang terlalu mini untuk wanita setinggi Lidya, kakinya yang jenjang melangkah melalui lorong pasar tanpa dilindungi apapun. Pahanya yang putih mulus seperti pualam menimbulkan decak kagum sekaligus birahi yang makin memuncak dari para penjual, khususnya yang berjenis kelamin lelaki. Rok mini Lidya hanya bisa melindungi kira-kira beberapa cm saja dari selangkangannya, jika menantu Pak Hasan itu memaksa jongkok atau membungkuk, orang yang berada di depan atau belakangnya bisa melihat celana dalam jaring-jaring yang ia kenakan. Jaring-jaring itu tidak melindungi apapun, karena seandainya cermat melihat dan mengamati, bibir vagina Lidya akan terlihat jelas dan membayang.




Lidya bersyukur dia diijinkan mengenakan kacamata hitam, karena dengan begitu dia bisa menyembunyikan air mata dan bersembunyi dari pandangan mesum seluruh lelaki buas yang berada di pasar. Berbeda dengan keadaan saat mereka berjalan-jalan di mall tempo hari, kala itu banyak lelaki yang melirik namun malu-malu memandang. Tapi kini, hampir semua lelaki memandang ke arahnya tanpa rasa malu, bahkan beberapa orang menyiulinya dan berkomentar menjijikkan.






“Pak, sudah ya pak… kita pulang saja… aku takut… malu…” bisik Lidya pada sang mertua yang menggandengnya.


“Ayolah, sayangku. Kita sudah pernah melakukan ini kan? Kenapa harus malu?”


“Tapi itu kan di mall, ini pasar… lagipula…”


“Hh… apa bedanya mall dengan pasar?” senyum lebar menghiasi wajah menjijikkan Pak Hasan. Lidya langsung tahu usahanya sia-sia saja.


“Jangan berhenti melenggokkan pantatmu, pastikan orang yang berada di belakang bisa melihat lenggokanmu yang panas itu, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil terkekeh pelan.






Saat berjalan-jalan di mall dulu, Lidya bahkan tidak mengenakan bra, tapi saat ini, saat ia masih mengenakan pakaian dalam, Lidya merasa lebih parah. Orang-orang yang berada di pasar kecil ini sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah yang tidak pernah melihat pertunjukan heboh semacam ini, keberadaan Lidya mengundang banyak orang untuk melihat. Ia bagaikan seorang bintang sinetron yang sedang dikejar-kejar oleh banyak wartawan.




Bisa dibilang, mungkin di seantero pasar, tubuh seksi Lidya tidak ada yang bisa menyaingi. Rambutnya yang panjang dan indah seperti cewek cantik di iklan shampo, kulitnya yang putih bersih seperti pualam bagaikan bintang iklan sabun, kecantikannya yang di atas rata-rata seakan bagaikan bidadari yang turun dari langit, dan yang lebih hebat lagi, keseksian tubuhnya yang tak bisa disangkal siapapun juga sangat menggugah nafsu birahi.




Seorang penjual ayam potong hampir kehilangan jari-jarinya gara-gara tak berkonsentrasi saat memotong daging ayam yang dibeli oleh seorang ibu-ibu. Seorang kuli yang sedang mengusung plastik besar berisi makanan anak-anak bertabrakan dengan kuli lain yang sedang membawa plastik berisi sayuran. Seorang penjaja makanan kecil berkali-kali merobek plastik hingga bertaburan karena tak bisa berkonsentrasi. Singkat kata, kehadiran Lidya benar-benar membuat heboh pasar kecil itu.




Sebelum datang kemari bersama Lidya, Pak Hasan sudah melakukan survey terlebih dahulu. Dia tahu pasti kalau di pasar kecil ini banyak pemuda dan para penjaja yang sering berkumpul di sebuah tempat bilyard kecil yang ada di ujung pasar. Disanalah tempat sebagian besar laki-laki penghuni pasar berkumpul, dan kesanalah ia akan mengajak Lidya.




Hati Lidya berdegup tak menentu, dia diam saja digiring oleh sang mertua ke tempat paling ujung di pasar. Dia makin ketakutan dan panik namun tak berdaya setelah melihat di tempat yang dituju mertuanya ternyata banyak laki-laki yang berkumpul, jangan-jangan mertuanya membawanya ke sarang preman pasar?




Lokasi tempat permainan bilyard itu sedikit masuk ke gang dan tidak bisa dilihat dari luar ataupun dari pasar. Hampir semua penjual di pasar, khususnya yang laki-laki, nongkrong di tempat ini. Beberapa meja bilyardnya sendiri sudah rusak dan tidak bisa dipakai sempurna, tapi tetap saja banyak orang yang berkumpul di ruangan ini untuk bermain judi kartu. Alangkah kaget orang yang sedang berkumpul di ruangan itu tatkala Pak Hasan dan menantunya yang aduhai masuk ke ruangan dengan nekat. Lidya berusaha menutup bagian dadanya dengan lengan dan berulangkali membenahi roknya yang naik ke atas, tentunya usaha itu sia-sia.






“Selamat sore, nama saya Hasan dan saya ingin ‘mengamen’ di sini.” Kata Pak Hasan di tengah-tengah keramaian orang yang memandangnya heran dan galak. “Saya tidak akan menyanyi atau bermain gitar, tapi menantu saya ini hendak menghibur anda-anda semua dengan menari. Ada yang mau lihat?”




Sontak kumpulan orang itupun ramai, mereka berteriak-teriak dengan girang mengiyakan, Lidya makin kecut nyalinya melihat buas dan beringasnya orang-orang yang berada di tempat itu.




“Bapak sudah gila? Aku disuruh menari di depan orang-orang ini? Bagaimana kalau mereka nanti hilang akal dan memperkosaku? Apa masih belum cukup bapak memperlakukan aku seperti pelacur? Aku bersedia masuk ke pasar dengan pakaian seminim ini dengan syarat tidak akan ada orang yang menyentuhku lagi.” bisik Lidya pada mertuanya dengan geram, “Aku tidak mau melakukannya! Pokoknya tidak!”


“Kau harus menari di depan mereka! Ingat perjanjian kita? Hari ini peran yang sedang kau jalani adalah sebagai budakku dan bukan istri anakku! Semua permintaanku harus kau turuti!” Bisik Pak Hasan di telinga Lidya sambil menggenggam lengan menantunya itu dengan sekuat tenaga, Lidya mengernyit kesakitan karenanya, “Menarilah dengan erotis, jangan lupa beri servis lebih pada mereka, tidak perlu striptease, cukup buka baju dan rokmu itu, lalu goyangkan dada dan pantat pasti sudah cukup untuk membuat mereka puas.”


“Ini gila… aku tidak mungkin…”


“Tidak mungkin apa, Nduk?”




Geram hati Lidya, tapi apa yang bisa ia lakukan di hadapan serigala-serigala lapar ini? Dia hanya bisa berlindung pada Pak Hasan, jadi apapun yang dia minta harus diturutinya.




“Baiklah, tapi janji tidak akan membiarkan mereka melakukan apa-apa padaku.” Bisik Lidya lagi. Wajahnya yang tadinya keras berubah pasrah, ini sangat menggembirakan bagi Pak Hasan. Sebaliknya bagi Lidya, mimpi buruk menjadi kenyataan. Di siang bolong begini, di dekat pasar, di sebuah kios kosong yang kotor tempat para lelaki kasar biasa bermain bilyard, Lidya harus menari bagi mereka. Memang dia tidak akan benar-benar telanjang, tapi menari hanya dengan BH tipis dan celana dalam menerawang di depan banyak lelaki buas seperti ini sama saja seperti menari telanjang, sama saja parahnya.




“Tidak akan ada satu penispun yang masuk ke dalam memekmu hari ini kecuali milikku.” Bisik Pak Hasan, kata-kata itu menusuk perasaan sekaligus menenangkan Lidya, membuat wajahnya memerah. Lidya ingin menangis rasanya, tapi sangat takut Pak Hasan akan main kasar kalau sampai dia mengembik meminta ampun, karena itu dipendamnya semua perasaannya. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena ketakutan. Lidya menundukkan kepala karena malu yang luar biasa, wajahnya memerah dan keringat dinginnya mengalir tanpa henti, tangannya meremas-remas pinggiran rok mininya dengan cemas.




“Siapa yang ingin menonton si cantik ini bergoyang? Silahkan menikmati pertunjukan gratis ini!” kata Pak Hasan, dia meletakkan satu speaker kecil ber-USB yang memang sudah sedari tadi ia siapkan di atas meja bilyard kosong. Tombol play ditekan, lagu dangdutpun mengalun.


“Goyang! Goyang! Goyang!” hampir bersamaan, para penonton berteriak-teriak.


“Ingat, selalu sunggingkan senyum. Buka bajumu sambil melenggak-lenggok seperti penari striptease, cukup sampai bh dan celdam saja, tidak perlu telanjang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini dan menyerahkanmu pada orang-orang itu… bagaimana?” bisik Pak Hasan pada Lidya. Istri Andi itu mengangguk, bukankah ia hanya bisa pasrah?






Setelah Lidya menganggukkan kepala tanda tunduk, dengan terpaksa ia menyunggingkan senyum pada orang-orang yang berkeliling menonton keindahan tubuhnya. Ketika Pak Hasan memperbesar volume musik yang sedang berdendang, Lidya mulai menggoyangkan badannya. Goyangan pinggul dan pantat bulat si cantik itu langsung menghipnotis dan mempesona tiap orang yang menonton. Wajah mereka langsung memerah menahan nafsu melihat wanita secantik Lidya melenggak-lenggok memancing birahi. Teriakan mesum dan siulan nakal bergema silih berganti, kata-kata kotor terlontar mengomentari kemolekan Lidya. Kebetulan dulu saat masih kuliah, Lidya pernah mengikuti ekskul modern dance.




“Buka! Buka! Buka!” teriak orang-orang yang berada di situ. Tidak ada pilihan lain bagi Lidya. Lebih baik membuka pakaiannya sendiri sebelum para preman itu malah memaksanya telanjang nanti. Dengan gerakan perlahan dan sedikit meliuk-liukkan badan sesuai irama lagu, Lidya melucuti baju tipis menerawang yang ia kenakan. Payudaranya yang sentosa menggelinjang erotis dalam balutan bh tipis berwarna putih. Guncangan buah dada Lidya memompa birahi para penjual sayur dan buah-buahan, ingin rasanya mereka melihat balon buah dada Lidya meloncat keluar dari ketatnya bh yang menutupnya.






Dengan wajah merah karena malu dan keringat deras mengalir, Lidya mulai melucuti rok mini yang ia pakai dan melemparkannya pelan ke pojok ruangan. Istri Andi yang cantik jelita itu kini berdiri hanya mengenakan kutang dan celana dalam di sebuah bilik kecil tempat para preman pasar asyik bermain bilyar. Beberapa orang penonton yang berada di ruangan itu pun bersorak sorai dan bertepuk tangan melihat kemolekan Lidya. Dengan goyangan erotis yang mengundang syahwat, Lidya berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu. Lidya sengaja beberapa kali memejamkan mata karena tak kuat menahan diri yang ingin menangis menari setengah telanjang di hadapan mata para lelaki buas yang menatapnya penuh nafsu. Pantat Lidya yang bulat sempurna dan montok bergerak-gerak erotis mengikuti lenggokan pinggulnya sementara buah dadanya berulang kali meloncat-loncat seakan mau copot dari ikatan ketat kaitan BHnya, penonton berseru meminta Lidya mendekat supaya mereka bisa meremasnya sekali atau dua kali, tentu saja seruan itu selalu ditolaknya.




Setelah hampir tiga lagu Lidya melenggak-lenggok di ruangan sempit yang gelap dikelilingi oleh sekelompok lelaki kasar, akhirnya Pak Hasan menyuruhnya berhenti. Tubuh si cantik itu basah kuyup dihujani keringat yang deras mengalir sampai-sampai tubuhnya yang seputih pualam bagai digosok sampai mengkilat. Tepuk tangan meriah sedikit mengagetkan Lidya, pria-pria buas dan kotor yang baru saja menyaksikannya menari terlihat bagaikan serigala kelaparan yang sudah siap menubruknya.






“Huibat sekali neng geulis ini menari, hayo dilanjutkeun! Kenapa berhenti? Merangsang pisan euy…” kata Pak Somad yang sehari-hari berjualan buah-buahan segar.


“Maaf, saudara-saudara semua, tapi pertunjukannya cukup sampai di sini dulu. Kalau ingin lanjut dan ingin lebih kenal dekat dengan menantu saya ini, silahkan menghubungi saya, tapi tentunya ada ongkos yang harus dibayar dan belum tentu semua orang akan saya ijinkan mendekatinya.” Kata Pak Hasan sambil tersenyum puas melihat orang-orang yang menonton aksi Lidya menjadi gelisah karena kecewa. Ia melemparkan baju dan rok yang tadi dipakai Lidya untuk dikenakan kembali.


“Yaaaah… masa cuma segitu doang? Nanggung nih ngacengnya!” keluh Pak Ramin si penjual gorengan disusul makian teman-temannya yang juga kecewa, tangan kirinya masih terselip masuk di dalam celana, tangan itu tadinya ia gunakan untuk mengocok si kecil dengan paksa, akhirnya tangan itu ditarik keluar dengan kecewa. Pemandangan indah adegan tari striptease Lidya memang membuat pria itu tadinya tak tahan, dia tak peduli kalaupun harus coli di depan teman-temannya.


“Terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian. Demikianlah akhir dari pertunjukan ini.” Pak Hasan tersenyum lebar mendengar nada kecewa yang menggema di ruangan kecil itu, “dia ini menantu saya, boleh dilihat, tidak boleh dipakai.”


“Ka-kalau ada yang pengen ngentot? Bayarnya berapa ya, Pak?” tanya Pak Ngadi si penjual mainan anak-anak, dari tadi dia blingsatan melihat Lidya menari-nari, kecantikan dan kemolekan Lidya membuat Ngadi lupa pada anak istri, dengan bergetar Ngadi membuka kantong plastik berisi uang ribuan yang sudah beberapa hari ini dia kumpulkan untuk istri di rumah dan modal berjualan mainan esok hari.




Teman-teman Pak Ngadi tertawa mendengar pertanyaan itu, termasuk Pak Ramin. “Wah -wah, Ngadi… Ngadi! Jangan belagu kamu, punya duit dari mana? Emang ngewe cewek secakep ini murah? Mau kamu bayar pake apa? Utangmu gopek sama si Slamet aja belum dibayar dari bulan kemarin!”




Ngadi pun menunduk malu sambil melangkah ke belakang. Menggantikan posisinya kini adalah Abah Aseng, juragan beras di pasar itu. Pria keturunan bertubuh gemuk itu mendekati Pak Hasan. “You minta berapa duit? Aku mau pakai dia satu jam. Berapapun harganya aku bayar.”




“Ha ha ha… aduh, Abah Aseng! Masa cuma sejam?” Pak Ramin ribut lagi. “Bayarnya sih kuat, otongnya yang gak kuat… ha ha ha…”






Kumpulan lelaki mesum itu langsung ramai penuh tawa, tapi Abah Aseng yang sudah biasa menghadapi mereka segera menjentikkan jari. Dua orang laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar mendekati Pak Ramin. Penjual gorengan itu langsung mundur teratur tanpa berani berkomentar macam-macam lagi. Abah Aseng ternyata membawa dua premannya yang terkenal ganas.




Pak Hasan menggelengkan kepala. “Sepertinya semua orang di sini belum mendengar apa yang tadi saya sampaikan ya? Dilihat boleh, dipakai jangan.”






Abah Aseng tidak terima begitu saja, dia menjentikkan jari sekali lagi. Dua premannya mendekati Pak Hasan dengan pandangan mengancam. “Ayolah, Pak.” Kata Abah Aseng. “Dipikir dulu, aku kan pakenya ndak lama. You malah mestinya terima kasih, aku mau pake barang you itu. Jadi gimana? Aku bayar berapapun ndak masalah. Tapi kalau you ndak tau terima kasih, ya aku ndak tanggung jawab kalau nanti anak-anak turun tangan. You pikir you siapa bisa seenaknya masang cewek di pasar ini? You kan sudah tua, lebih baik tidur saja di rumah, biar aku yang rawat anak manis ini.”






Dengan kurang ajar Abah Aseng mencolek dagu Lidya. Si cantik yang sedari tadi ketakutan dan terdiam itu menjerit ketakutan, ia segera berlindung di balik tubuh Pak Hasan.






Pak Hasan tersenyum sinis. “Saya memang sudah tua, tapi kalau cuma dua preman kelas teri begini, saya sendirian masih sanggup menghadapi. Saya tidak datang ke pasar ini tanpa persiapan terlebih dahulu.” Dengan sigap Pak Hasan maju ke depan dan mendekati Abah Aseng, tangannya bergerak dengan cepat, masuk ke selangkangan sang juragan beras dan mencengkeram kantung kemaluannya tanpa bisa dicegah. Abah Aseng langsung berteriak kesakitan, suasana pasar yang tadinya ramai berubah menjadi senyap saat Abah Aseng menjerit-jerit.




Dua preman yang tadinya sigap jadi kebingungan, saat mereka maju, Pak Hasan mencengkeram lebih erat lagi. “Kalau dua preman itu nggak mundur, saya remuk bola Abah, bagaimana?”






Abah Aseng mengangguk-angguk dengan cepat, dia sangat kesakitan. Dengan gerakan tangan melambai, Abah Aseng menyuruh dua premannya meninggalkan tempat itu. Kelompok kecil itu bersorak-sorai, baru kali ini ada orang yang berani melawan Abah Aseng. Mereka puas karena selama ini selalu menjadi bulan-bulanan dua preman sang juragan beras. Abah Aseng segera lari terbirit-birit karena malu di bawah sorak sorai para penjual.






“Baiklah, karena hari ini saya sedang gembira, saya akan memberi kesempatan pada satu orang untuk ikut bersama kami dan menikmati keindahan tubuh menantu saya ini. Orang tersebut akan dipilih sendiri oleh menantu saya dan dia akan mendapatkan servis gratis tanpa ditarik biaya apapun. Siapa yang mau?”






Semua orang yang sedang berkumpul di tempat itu menunjukkan jari ke atas. Semua mau dipilih, semua ingin mendapatkan servis gratis, semua ingin mencicipi kemolekan wanita cantik kelas atas seperti Lidya. Siapa yang menolak?






“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan pada menantunya yang sedang sibuk mengenakan kembali pakaiannya, “harus dipilih salah satu.”






Lidya gelagapan karena bingung, mana kiranya yang harus dipilih? Wajah mereka kasar, rata-rata berkulit coklat gelap dan penampilannya jelas tidak ada menarik, mereka juga sangat bau dan tidak kenal sopan santun. Mana yang harus dia pilih?






“A-aku tidak…” Lidya menggelengkan kepala, dia menolak kalau harus melayani satu di antara para penjual dan preman ini.




Wajah Pak Hasan mengeras dan pandangannya berubah galak, Lidya tahu apa artinya perubahan wajah mertuanya itu, dia harus memilih.




“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan sekali lagi dengan suara tegas.


“Di… dia.” Lidya menunjuk Pak Ngadi, sang penjual mainan anak-anak.








Telegram : @cerita_dewasaa








Hari ini Alya terlalu lelah, ia memutuskan untuk istirahat dan membiarkan Dodit dan Anissa yang menjaga Hendra di rumah sakit. Ia ingin di rumah saja bersama Opi, beruntung sekali Pak Bejo dan istrinya harus pergi sehingga dia aman dari gangguan lelaki tua tengik itu. Wanita cantik itu duduk di teras depan rumahnya sembari melamun menatap awan yang beriringan di langit.




Alya menghapus airmatanya yang meleleh tanpa henti sedari tadi. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Hidupnya hancur berantakan, suaminya cacat dan tak akan bisa bekerja dan beraktifitas seperti sebelumnya, dirinya telah ternoda oleh perbuatan kotor Pak Bejo dan menjadi hamba seks tetangganya yang cabul itu. Bagaimana mereka akan melalui semua ini? Alya menundukkan wajahnya dan menangis tersedu-sedu, hampir satu jam ia tak bergerak, hanya menangis dan melamun.




Kecelakaan parah yang menimpa Hendra membuat Alya dan Opi sedikit kerepotan kalau hendak bepergian, sepertinya, mereka akan membutuhkan tenaga pekerja baru sebagai seorang sopir. Alya jelas tidak mau memperkerjakan Pak Bejo yang berhati busuk itu. Dimanakah ia bisa menemukan seorang driver yang dapat dipercaya?




Setelah satu jam berlalu, terdengar suara denting keras dan Alyapun mulai sadar kembali dari lamunannya, ternyata langit sudah gelap dan hari telah sore. Dentingan suara apakah yang telah menyadarkan Alya?




Suara apa itu? Alya menengok ke arah asal dentingan. Rupa-rupanya dentingan suara mangkok seorang penjual bakso keliling.






“Bakso, bakso. Baksonya, Mbak?”






Seorang penjual bakso bertubuh kurus dan berkulit hitam tersenyum pada Alya, penjual bakso itu bernama Paidi.












BERSAMBUNG











Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar