Ruang dokter Sugeng menjadi sepi ketika sang dokter berusia lanjut itu menerangkan dampak kecelakaan yang menimpa Hendra, suami Alya.
“Kecelakaan fatal yang dialami oleh Pak Hendra mengakibatkan beliau menderita trauma atau benturan di kepala dan akibatnya terjadi kerusakan syaraf motorik pada jaringan fungsi otaknya. Sejauh pengamatan kami hingga saat ini, mulai dari bagian bawah perut hingga ke ujung kaki syaraf beliau tidak bisa berfungsi secara normal dan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan. Saluran pengeluaran beliau sejauh ini tidak mengalami masalah, tapi tidak ada jaminan beliau akan mampu melakukan kegiatan-kegiatan lain seperti berjalan ataupun berlari secara normal, termasuk melakukan hubungan suami istri. Walaupun kelumpuhan semacam ini tidak permanen tapi bisa dikatakan kelumpuhan Pak Hendra adalah kelumpuhan jangka panjang.” Kata dokter Sugeng.
“Ja-jadi suami saya lumpuh, Dokter?” Seluruh tubuh Alya bergetar dan airmatanya tidak berhenti meleleh membasahi pipi. Lidya memeluk kakaknya yang sedang tertimpa musibah dan berusaha menenangkannya agar tetap tabah. Tubuh Alya bergetar menggigil karena perasaannya panik dan kalut, Lidya hanya bisa berdoa agar semua masalah yang menimpa keluarga mereka segera bisa terlewati.
“Lumpuh dari bagian perut ke bawah, beliau tidak akan bisa menggunakan kedua kaki dan tidak akan lagi mampu melakukan hubungan suami istri, walaupun seperti yang saya katakan tadi, tidak ada masalah dengan saluran pengeluarannya.” Lanjut sang dokter.
“Apakah kelumpuhan itu bisa sembuh nantinya, Dokter?” tanya Alya lagi.
Sang dokter menggeleng, “belum bisa dipastikan, Bu Hendra. Dalam beberapa kasus, kelumpuhan semacam ini memang bisa sembuh karena sifatnya tidak permanen dan hanya menimpa bagian tubuh tertentu saja, walaupun tidak bisa dipungkiri kemungkinan Pak Hendra bisa kembali pulih seperti sediakala dalam waktu singkat mungkin hanya hanya sekitar 5 sampai 6%, itupun dalam jangka waktu yang sangat panjang bahkan mungkin hingga menahun, apalagi semakin tua umur seorang penderita, makin berkurang pula kemampuan syarafnya bisa pulih. Sangat tipis kemungkinan Pak Hendra bisa sembuh total.”
Ruangan dokter Sugeng yang berada di RS Panca Waras menjadi sangat panas, ac memang sudah menyala, tapi perasaan orang-orang yang berada di dalam ruangan itu semua sangat kacau balau. Alya, Lidya dan Anissa sedang berada di dalam ruang periksa dokter sementara Andi, Dodit dan Pak Bejo menanti di luar. Opi tidak ikut menemani mereka dan dititipkan pada Bu Bejo di rumah.
“Berapa lama kakak saya harus menjalani rawat inap, Pak Dokter?” tanya Anissa, seperti halnya Alya, gadis cantik itu juga menangis sesunggukan meratapi nasib kakak kandungnya yang malang.
“Paling cepat sekitar dua minggu dan paling lambat mungkin satu bulan, tergantung dari kondisi Pak Hendra sendiri. Saat ini beliau sangat lemah dan tidak bisa melakukan aktivitas apapun, walaupun bagian perut ke atas bisa dibilang tidak mengalami cidera serius.” Jawab Dokter.
“Seandainya suami saya tidak mengalami masalah dengan saluran pengeluaran, kenapa dia tidak bisa melakukan kegiatan suami istri, dok?” tanya Alya lagi
“Sayangnya, kecelakaan itu juga membuat beliau mengalami impotensi. Saya masih belum bisa memastikan apakah impotensi Pak Hendra juga bersifat temporer atau permanen. Hasil testnya baru bisa diperoleh dalam beberapa hari ke depan.” Jawab Dokter Wibowo.
Air mata Alya kembali meleleh, tapi ia mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada dokter yang telah merawat suaminya. Ketiga wanita cantik itupun meninggalkan ruang dokter.
“Mbak Alya tidak apa-apa, kan?” tanya Lidya khawatir melihat kakaknya.
“Tidak apa-apa. Aku bersyukur Mas Hendra selamat dari kecelakaan itu.” kata Alya kemudian. “Aku tidak peduli dia cacat atau lumpuh, aku akan selalu berada disisinya, aku sangat mencintainya. Di saat sulit seperti inilah, aku wajib menemaninya.”
Anissa dan Lidya saling berpandangan dan kagum pada Alya yang sedang berusaha kuat menabahkan diri. Tapi sesungguhnya, kisah penderitaan Alya belumlah usai, justru baru akan dimulai
Annisa memperhatikan Alya yang masih duduk di samping ranjang Hendra dengan setia. Tidak mudah mengajak Mbak Alya pulang walaupun mungkin kakak iparnya itu sudah sangat kelelahan. Mbak Lidya dan suaminya sudah pulang dan Mbak Dina belum juga menunjukkan batang hidungnya sedari tadi. Harus ada seseorang yang menemani Mbak Alya seandainya dia butuh makan atau mengurus administrasi rumah sakit yang belum selesai. Anis segera mendiskusikan masalah itu dengan Dodit dan Pak Bejo.
“Begini saja, Non.” Usul Pak Bejo. “Karena Mbak Alya belum mau diajak pulang, sebaiknya salah satu dari saya atau Mas Dodit mengantar dulu Non Anis pulang karena hari sudah mulai gelap. Nanti kalau Mbak Alya sudah merasa capek dan ingin pulang, yang tinggal di sini bisa mengantar pulang setiap saat. Kalaupun Mbak Alya mau menginap di sini, lebih baik ada seseorang yang menemani.”
Annisa menganggukkan kepala, “wah, kalau begitu biar Mas Dodit saja yang tinggal di sini, kalau-kalau nanti Mbak Alya mau cari makan atau mengurus surat-surat, Mas Dodit bisa lebih cepat membantu.”
“Saya juga tidak apa-apa kok, Mbak.” Kata Pak Bejo.
“Terima kasih, Pak, tapi sepertinya kami sudah terlalu banyak ngrepotin Pak Bejo.” Kata Dodit. “Kamu pulang dulu aja ya, say. Aku tinggal di sini sama Mbak Alya.”
Annisa mengangguk sementara Pak Bejo tersenyum malu-malu. “Wah, Mas Dodit ini bisa aja, saya gak merasa direpotkan kok Mas, kan keluarga Mas Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri.”
“Iya sih, tapi siapa tahu Bu Bejo juga ada urusan yang gak bisa ditinggal? Kan kasihan anak-anak Pak Bejo kalau di rumah gak ada yang ngurus? Lagipula mobil yang dibawa Pak Bejo kan mobil pinjaman dari saudara, pokoknya, kami sekeluarga berterimakasih banyak sama Pak Bejo.” Kata Dodit lagi, sambil tersenyum dia mengambil dua lembar lima puluh ribuan berwarna biru dan memberikannya pada Pak Bejo saat bersalaman. “Ini Pak, buat beli rokok.”
“Lho? Mas Dodit gimana sih? Gak usah, Mas! Beneran, gak usah!” Pak Bejo menggeleng kepala sambil berusaha mengembalikan uang Dodit, pria tua itu memang jagonya sandiwara, pura-pura nolak padahal pengen. Pemuda baik hati itu tetap memaksa sambil memasukkan uang ke dalam saku baju Pak Bejo.
“Cuma seadanya kok, Pak. Buat beli rokok atau ganti bensin nganterin Non Anis.”
“Iya, Pak. Gak apa-apa, diambil aja.” Rayu Anissa sambil tersenyum manis.
Pak Bejo yang pintar bersandiwara pun pura-pura luluh dan menerima uang pemberian Dodit. “Wah, sebenarnya saya melakukan ini semua tanpa pamrih apa-apa, Mas Dodit. Beneran. Keluarga saya sudah sangat sering ditolong Mas Hendra dan Mbak Alya, ini kesempatan saya untuk membalas kebaikan hati mereka. Terima kasih banyak ya, Mas Dodit. Non Anis.”
Dodit dan Anissa mengangguk dan tersenyum ramah. Setelah Anissa dan Dodit berbincang-bincang berdua, akhirnya mereka menemui Pak Bejo di teras rumah sakit.
“Ayo, Pak. Kita pulang sekarang.” Ajak Anis, gadis itu melambaikan tangan pada Dodit. “Aku pulang dulu ya, say. Titip Mbak Alya sama Mas Hendra.”
“Iya. Hati-hati di jalan.” Balas Dodit.
“Mari, Mas Dodit. Saya duluan.” Ujar Bejo.
“Iya, Pak Bejo. Saya titip Anissa ya.”
“Pokoknya beres, Mas.” Pak Bejo menyeringai aneh sambil meninggalkan Dodit di tangga rumah sakit dan mengiringi kepergian Anissa menuju mobil. Dodit menatap kepergian orang tua itu dengan perasaan yang tidak enak, tapi dia percaya penuh pada tetangga Mas Hendra itu karena Pak Bejo sekeluarga sudah seperti saudara sendiri. Kenapa orang tua itu menyeringai aneh? Dodit menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan masuk kembali ke gedung utama rumah sakit.
Sementara itu, kemaluan Pak Bejo bergerak menegang karena gembira. Kesempatan berduaan dengan Anissa telah datang. Pantat bulat si cantik itu akan jadi miliknya.
Anissa tidak sadar, ia kini sedang berada dalam ancaman hebat lelaki yang sudah memperkosa kakak iparnya. Anissa sudah berada dalam genggaman Pak Bejo Suharso!
Telegram : @cerita_dewasaa
Nada tunggu.
Tidak ada yang mengangkat, Lidya mengakhiri panggilannya.
Lidya bertanya-tanya kemana Mbak Dina sebenarnya. Sudah sejak pagi dia tidak bisa menghubungi ponselnya. Mas Anton juga sama saja, tidak bisa dihubungi. Kemana mereka pergi? Mas Andi sudah mencoba menjemput tapi ternyata rumah mereka kosong dan terkunci rapat, anak-anak juga tidak terlihat berada di rumah. Padahal ada musibah yang menimpa salah satu anggota keluarga, tapi Mbak Dina gagal dihubungi.
Kasihan Mbak Alya, dia amat butuh dukungan dari keluarga. Kemana Mbak Dina sebenarnya?
Usai gagal mencoba menghubungi Mbak Dina, Lidya melangkah masuk ke dapur untuk menghangatkan lauk makan malam. Pikiran wanita muda itu sangat kalut, ia sama sekali tidak menyangka, di saat dia mengalami masalah berat ternyata kesulitan yang tak kalah hebatnya dialami oleh Mbak Alya. Apa sebenarnya yang terjadi pada keluarga mereka? Lidya merasa beruntung suaminya sudah pulang, kedatangan Andi membuat Pak Hasan tidak berani macam-macam terhadapnya, walau sekali dua kali Pak Hasan dengan nakal menepuk pantat atau mencolek buah dadanya.
Lidya mulai mengambil bahan makanan dari dalam lemari es dan menyusunnya dengan rapi di tempat yang sudah ia sediakan. Ketika sedang sibuk menyiapkan bahan masakan itulah tiba-tiba saja ada sepasang tangan perkasa memeluk tubuh Lidya dengan sangat kuat. Wanita cantik itu tidak bisa bergerak dan pucat pasi. Mulut yang berbau minuman keras, tangan yang nakal menggerayang, tubuh yang masih tegap dan kasar. Orang ini jelas Pak Hasan, Andi akan memperlakukannya dengan lebih lembut.
“Pak! Jangan ah! Mas Andi kan ada di atas! Dia sedang mandi… bagaimana kalau dia nanti…”
“Memangnya kenapa kalau Andi sedang mandi di kamar atas? Kita pasti akan mendengar suara langkah kakinya kalau dia turun lewat tangga. Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, Nduk. Sejak anakku datang, kamu selalu menghindari aku dan tidak pernah lagi mau berdua denganku.” Desis Pak Hasan menahan emosi. “Aku kangen sekali dengan tubuhmu yang molek ini, aku ingin tidur denganmu.”
“A-aku…” Lidya kebingungan mencari kata-kata yang tepat.
Kepanikan Lidya dimanfaatkan dengan baik oleh Pak Hasan. Pria tua itu menggunakan kedua tangannya untuk menjelajah keseksian tubuh sang menantu. Tangan kirinya masuk ke dalam celana pendek Lidya dan meremas-remas pantatnya yang bulat, sementara tangan kanannya memainkan buah dada Lidya yang ranum. Pantat Lidya putih mulus dan sangat halus tanpa cacat, sangat merangsang nafsu Pak Hasan. Sedangkan buah dada menantu Pak Hasan itu tidak perlu lagi diceritakan, bulat besar menggiurkan.
“A-aku tidak mau melakukan ini lagi …” Lidya mencoba meronta dan melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya, sia-sia saja karena pria tua itu jauh lebih kuat. “Lepaskan aku… Mas Andi…”
“Bayangkan apa yang akan dilakukan oleh anakku itu seandainya dia turun ke bawah dan melihat kita sedang bermesraan seperti ini, hmm? Ayah kandungnya sedang bermain-main dengan pantat mulus dan payudara molek istrinya.” Pak Hasan membisikkan kata-kata yang membuat Lidya urung melakukan perlawanan. “Aku hanya ingin menikmati keindahan tubuhmu, Nduk. Bukan hal yang aneh kan? Kita sudah berulang kali bermain cinta dan…”
“Aku tidak ingin melakukan ini lagi!” Lidya mencoba tegas.
Karena jengkel, Pak Hasan menggeram dan mendorong tubuh menantunya sampai menempel ke tembok. Karena posisi tubuhnya yang terjebak pelukan Pak Hasan dari belakang, Lidya tidak mampu melawan, dia terdorong ke depan sampai menempel ke tembok. Untunglah dorongan Pak Hasan tidak cukup keras sehingga menyakiti sang menantu. Lidya menjerit kecil tapi karena takut Andi akan mendengar suaranya, si cantik itu menutup mulutnya sendiri.
Dengan terengah-engah Pak Hasan menahan agar tubuh Lidya tetap menempel di tembok dapur, pria tua berbisik perlahan ke telinga Lidya. “Aku sudah berusaha ramah padamu, Nduk. Tapi kalau kau mengajak main kasar, aku tidak akan segan-segan meladenimu. Aku ingin kau mendengarkan kata-kataku karena aku tidak akan mengulanginya lagi… paham?”
Lidya mengangguk dengan ketakutan.
“Aku ingin menidurimu lagi. Aku tidak peduli Andi sedang berada di rumah atau pergi bekerja, tapi saat aku ingin memasukkan kontolku ke dalam memekmu yang wangi, maka kau wajib membuka lebar-lebar kakimu agar aku bisa menikmatinya. Aku tidak suka perlawananmu hari ini, dan sebagai hukumannya, selama seminggu ini aku akan memberikan perintah-perintah yang harus kau turuti. Kalau tidak mau melakukannya, aku akan tetap menjepitmu dalam posisi ini sampai Andi turun ke bawah.” Ancam Pak Hasan. “Pendek kata, aku ingin kau menjadi budakku seminggu ke depan, bagaimana?”
Lidya menggeleng kepala, “A-aku tidak ingin melakukan ini lagi… ini salah… ini…”
Terdengar langkah kaki di lorong kamar atas, sepertinya Andi sudah bersiap turun ke bawah menyusul Pak Hasan dan Lidya. Keringat istri setia itu menetes sebesar jagung, apa yang harus dilakukannya? Ia tidak mau lagi melayani kebejatan sang mertua, tapi kalau Mas Andi sampai tahu, seluruh dunia mereka pasti akan hancur berantakan. Detik demi detik berlalu, terdengar langkah kaki Andi turun melalui tangga, Lidya makin panik, ia berusaha meronta tapi gagal karena jepitan kunci Pak Hasan sangat kuat. Dengan hati remuk redam, akhirnya Lidya mengangguk pasrah.
“Baiklah…” bisik Lidya lemah.
“Baiklah apa?” Pak Hasan meringis keji penuh kemenangan sambil mengulum-ngulum daun telinga Lidya. “Baiklah kau akan menjadi budakku atau baiklah kau akan nekat membiarkan Andi melihat kita sedang bermesraan?”
“Baiklah aku bersedia menjadi budak bapak…” desahan yang keluar dari mulut Lidya terdengar panjang dan pasrah.
Kisah penderitaan Lidya belumlah usai, justru baru akan dimulai.
Telegram : @cerita_dewasaa
Mobil yang dikendarai Pak Bejo berkelak-kelok melalui jalan yang belum dikenal Anissa, karena memang belum mahir menyetir mobil, Anissa kurang begitu mengenal wilayah dan tidak hapal jalan-jalan kecil yang dilalui Pak Bejo. Tapi kali ini Pak Bejo melalui jalan yang tidak biasanya dilalui, berkelak-kelok melalui jalan sempit dan melewati daerah yang sepi hunian. Kendaraan yang berpapasan dengan mobil mereka bisa dihitung dengan jari.
Rumah sakit tempat Mas Hendra dirawat dan rumah tempat tinggal Mbak Alya memang cukup jauh, tapi jalan yang dilalui Pak Bejo ini seakan-akan membuat perjalanan mereka pulang menjadi lebih jauh dan lama. Karena hari mulai gelap, Anis memberanikan diri bertanya pada Pak Bejo.
“Pak, kita lewat jalan apa sih? Kok kayaknya malah jadi lebih jauh?” tanya Anissa.
“Oh, maaf. Saya belum menjelaskan ya? Kita mampir sebentar ke rumah adik saya, Non Anis. Kebetulan tadi dia WhatsApp katanya ada titipan untuk istri saya.”
“Oh gitu. WhatsApp yang masuk saat kita keluar dari rumah sakit ya?”
“Iya. Nggak apa-apa kan, mampir sebentar?”
“Nggak apa-apa kok, tapi sebentar saja ya, Pak.”
“Iya.”
Walaupun jengkel karena tidak diberitahu sebelumnya kalau Pak Bejo akan mampir ke tempat lain, Anissa diam saja. Perjalanan berlanjut tanpa ada percakapan lagi, Anissa terus melirik ke arah jam tangannya karena walaupun hari semakin larut, tidak ada tanda-tanda mobil akan berhenti.
Tiba-tiba saja mobil berhenti mendadak di tengah kawasan perbukitan yang dipenuhi pohon rindang dan amat sepi, mereka jauh dari jalan utama dan sudah cukup jauh untuk kembali ke rumah sakit. Annisa mulai khawatir, walaupun ia sangat percaya pada Pak Bejo tapi karena hari sudah gelap, Anissa mulai berpikiran macam-macam.
“Kok berhenti di sini, Pak?” Anissa makin ragu. “Pak Bejo yakin ini jalan pulang ke rumah Mbak Alya?”
Ada sesuatu yang ganjil pada kelakuan Pak Bejo sore ini dan makin lama kecurigaan Anissa makin besar, walaupun masih muda, Anis bukanlah gadis bodoh. Rute pulang yang tidak seperti biasa, alasan mampir di rumah saudara, berhenti mendadak di tengah jalan, situasinya makin aneh. Anissa memeluk dirinya sendiri yang menggigil dan mulai membayangkan hal yang tidak baik.
“Aduh, saya minta maaf, Non Anis. Tiba-tiba saja saya ingin buang air kecil, sebentar saja ya Non…” rayu Pak Bejo. Anissa tidak bisa melihat senyum licik tersungging di bibir Pak Bejo karena gelapnya malam.
“Iya deh, tapi jangan lama-lama ya Pak, saya takut.” Anissa tersenyum, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri dan meyakinkan bahwa Pak Bejo bukanlah orang jahat.
Pria tua itu meninggalkan kursinya dan melangkah keluar mobil sambil menahan tawa iblisnya.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar