SISI LAIN PETUALANG (TAMAT)

 


Perjalanan kehidupan seksualku memang penuh dengan liku-liku, yang terkadang sulit dicerna oleh otak manusia awam...awam dalam perilaku sxeksual di zaman yang serba mungkin ini. Dari hari ke hari, ada saja yang bisa kujadikan objek birahiku. Ada saja titik variasi yang kutemukan, meski terkadang muncul dari titik yang tidak sepantasnya. Tapi ini memang sisi lainku. Sisi Lain sang Petualang.




Seperti yang terjadi di suatu pagi....




Aku bangun kesiangan. Aku mencari istriku ke toko, mau minta dibikinkan nasi goreng. Tapi istriku tak ada di toko.




"Ibu mana Min?" tanyaku kepada Mimin yang tengah melayani pembeli.




"Oh...Ibu lagi belanja sama Mang Herman, Pak, " sahut Mimin sambil mengangguk sopan padaku, kemudian melanjutkan melayani pembeli. Aku lalu duduk di belakang etalase yang bersebrangan dengan etalase dekat meja kasir.




Kunyalakan rokok sebatang sambil menggesek-gesek mataku yang terasa masih susah melotot. Tapi setelah pembeli itu berlalu, aku jadi melotot. Karena kulihat sesuatu di belakang etalase di sebrang sana. Dari sela-sela antara barang yang satu dengan barang lainnya, aku melihat Mimin duduk sambil menulis di buku catatannya. Mungkin cash registernya hang lagi seperti kemaren-kemaren.




Yang membuatku melotot adalah...Mimin duduk dengan kaki terbuka, sehingga ia tak menyadari bahwa pahanya seolah dipamerkan padaku. Bahkan celana dalamnya yang putih itu pun tampak jelas di mataku.




Gila...ada saja godaan yang seperti itu. Bikin aku menimbang-nimbang dalam hati. Bahwa sebenarnya Mimin itu cantik, tapi cuma berdandan seadanya saja. Tak pernah tampak make up berlebihan di wajahnya.




Aku lalu bangkit. Menghampiri Mimin di dekat meja kasir. Dan pura-pura mengecek cash register. "Kenapa cash registernya error lagi, Min?" tanyaku.




"Iya Pak. Pengen diganti sama yang baru kali," sahut Mimin dengan senyum di bibirnya. Gila...manis banget senyum Mimin itu.




"Iya, nanti dibeliin yang baru," kataku, "Ohya...anakmu sudah berapa Min?"




"Baru seorang Pak."




"Umur berapa anakmu?"




"Baru dua tahun Pak."




"Suamimu kerja juga kan?"




"Iya...suami saya buruh pabrik Pak."




"Lalu anakmu siapa yang jagain kalau kamu lagi kerja di sini?"




"Ibu saya yang jagain. Kan ayah saya sudah meninggal, makanya ibu saya tinggal di rumah saya."




"Sekarang kamu ikut KB?"




"Iya Pak. Kalau nambah anak lagi mana bisa saya kerja?"




"Umurmu berapa sekarang?"




"Duapuluh dua Pak."




"Berarti kamu kawin di usia sembilanbelasan ya?"




"Iya Pak."




Aku terdiam. Mungkin Mimin berkata, tumben Pak Yadi mau nanya-nanya segala, biasanya kan cuek-cuek saja. Masalahnya, pemandangan yang tak sengaja tadi membuat sifat don yuanku kambuh di pagi itu.




Dari belakang meja kasir, aku melangkah ke belakang kursi yang dipakai Mimin. Pas di belakangnya kurangkul leher Mimin sambil berbisik, "Sebenarnya kamu cantik Min."




Mimin agak terkejut, tapi tidak menepiskan lenganku yang melingkari lehernya, "Ah...Bapak bisa aja..."




"Betul, kamu cantik," kataku, "Dalam dandanan sederhana gini aja tampak cantiknya kamu, Min. APalagi kalau bener-bener dandan."




Mimin tetap membiarkan lenganku melingkari lehernya, "Kok tumben Pak....tumben diem di toko...biasanya Bapak kan cuma lewat-lewat doang..."




"Kalau ada Ibu, aku kan gak bisa ngapa-ngapain. Padahal diem-diem aku suka lho sama kamu. Tapi baru sekarang aku bisa mendekatimu," kataku sambil merayapkan tanganku ke belahan baju putihnya. Sambil menunggu reaksi. Dia diam saja. Aku makin berani. Kumasukkan tanganku ke balik behanya. Ia tetap diam. Kucengkram payudaranya yang sebelah kiri. Ia tetap diam. Tapi terasa payudaranya menghangat.




"Pak..." katanya agak parau.




"Hmm?"




"Ntar ada yang belanja lho."




"Min..."




"Ya Pak?"




"Kapan kita bisa jalan-jalan?"




"Jalan-jalan ke mana?"




"Ke mana aja yang kamu mau."




"Ah, nanti Mang Herman heboh."




"Gak usah sama Herman lah. Aku juga bisa nyetir sendiri."




"Beneran Bapak mau ngajak saya jalan-jalan?"




"Iya. Kamu mau ke mana pun kuanterin. Biar jangan suntuk kerja mulu."




"Tapi saya kan kerja terus tiap hari. Minggu juga kerja, klarena ngejar bonusnya dari Ibu."




"Kamu kan bisa minta izin sama Ibu. Cari aja alesan. Lalu kutungguin di mana gitu. Mau?"




"Mau sih....saya pengen maen ke Situ Patenggang, Pak."




"Ayo. Mau ke Patenggang, ke Kawah Putih, ke pemandian air panas Cimanggu juga boleh."




"Takut ketemu yang kenal Pak."




"Nggak lah. Hindari aja tempat yang banyak orang. Pokoknya kalau bukan Sabtu-Minggu, tempat rekreasi pada sepi juga."




"Malu jalan sama Bapak. Baju saya jelek-jelek."




"Nanti dikasih lah duit buat beli baju aja sih."




"Bapak maunya kapan?"




"Besok juga boleh. Asal jangan Sabtu-Minggu aja."




TIba-tiba kulihat istriku turun dari mobilku, buru-buru kucabut tanganku dari dalam beha Mimin sambil berkata, "Ibu datang....!"




Mimin mengancingkan baju putihnya. Lalu mengambil kamoceng dan menyapu-nyapukannya ke permukaan kaca etalase, sementara aku sudah ngacir ke dalam.




Dan pura-pura nonton tv di ruang keluarga.




"Maaf Bang, tadi ngajak Herman. Mau bangunin Abang gak berani. Tidurnya nyenyak gitu sih," kata istriku sambil menaruh dompetnya di dekat tv.




"Gakpapa," sahutku, "Hari ini aku emang gak ada acara keluar. Mau di rumah aja, hitung-hitung istirahat."




"Beneran gak ada acara ke luar Bang?" tanya istriku sambil duduk di sampingku.




"Iya. Emang kenapa? Mau dianterin ke mall?"




"Nggak Bang. Kalau Abang gak ada urusan hari ini, aku punya bonus buat Abang."




"Bonus?" aku agak heran mendengar kata "bonus" itu.




"Iya," istriku mengangguk sambil tersenyum, "Begini Bang....di zaman sekarang, nyari tenaga yang jujur seperti Mimin itu susah....susah sekali."




"Terus?"




"Aku pengen dia kerasan kerja di sini," kata istriku serius, "jadi aku kasih bonus sama Abang."




"Lho...apa hubungannya bonus untukku dengan Mimin?"




Istriku menjawab dengan bisikan di telingaku, "Abang boleh nidurin dia. Biar dia merasa terikat di sini....Pokoknya Abang kuizinkan nidurin dia, mau tiap hari juga boleh. Yang penting dia merasa ada ikatan batin di rumah kita...yang bikin dia gak mau minta berhenti kerja di sini."




"Ini kamu serius?"




"Serius. Tempo hari kan Abang ngasih bonus waktu nagajak Jaka tanpa istrinya, khusus untuk bikin aku puas doang kan? Nah sekarang Abang yang kukasih bonus. Mimin kan cantik Bang. Coba aja kalau diperhatikan bener...dia punya wajah cantik, tubuhnya bagus, kulitnya juga bersih. Cuma karena dia itu orang gak punya, jadi kurang bisa merawat diri. Cobalah Abang perhatikan benar bentuk wajah dan tubuhnya...nah sekarang giliran aku yang mau membakar diri dengan api cemburu, kemudian akan berkobar api birahiku pada Abang...seperti yang sering Abang rasakan waktu aku digauli teman Abang."




Aku cuma terlongong. Ini benar-benar peristiwa yang aneh bagiku. Tadi aku merasa terangsang melihat paha dan celana dalam Mimin, lalu berusaha merayunya. Sekarang malah istriku yang memberi jalan. Jalan terang-terangan. Bukan jalan sembunyi-sembunyi seperti rencanaku semula.




Apakah ini juga termasuk faktor keberuntunganku dalam soal birahi?




Aku setuju pada "bonus" istriku. Pucuk dicinta ulam tiba. Xixixixi....




Istriku mengajak Mimin ke atas. Ke kamar tengah yang pernah dijadikan starting point sebelum masuk ke kamar masing-masing bersama Jaka dan istrinya. Lalu bersama Jaka tanpa Furry.




Agak lama istriku di atas bersama Mimin. Lalu tampak ia menuruni tangga, tanpa mimin. "Clear Bang...silakan nikmati bonusnya...." kata istriku sambil mengecup bibirku.




Kemudian istriku melangkah ke pintu arah ke toko. Aku pun melangkahi tangga sambil bersenandung-senandung perlahan.




Di kamar tengah itu tampak Mimin duduk di sofa dengan sorot bingung. Aku langsung duduk di sampingnya, sambil memeluk pinggangnya.




"Pak...saya jadi bingung....barusan Ibu minta supaya saya melayani Bapak..." kata Mimin dengan suara agak tersendat.




"Iya...tadi kan dia udah ngomong dulu sama aku," sahutku.




"Kenapa Ibu bisa gitu sih Pak? Jangan-jangan tadi keliatan waktu Bapak masukin tangan ke tetek saya..."




"Nggak. Ini kebetulan aja. Ibu itu terlalu takut dimadu. Makanya dia izinkan aku nidurin wanita lain, asal jangan sampai kawin lagi. Tentu dia pilih-pilih wanita mana yang baik dan bisa dipercaya. Kebetulan pilihannya jatuh sama kamu, Min. Kebetulan pula aku udah gak tahan...pengen berbagi kenikmatan sama kamu...." kataku sambil melanjutkan "perjuangan" di toko tadi. Kuselipkan lagi tanganku ke balik behanya, tanpa takut-takut lagi. Dan kuremas-remas payudaranya yang terasa masih lumayan kencang dan hangat.




"Duh...Pak....saya jadi horny nih..." Mimin menatapku dengan sorot meminta belas kasihanku.




"Iya....sekarang kita bebas melakukan apa pun di sini," bisikku sambil menyelinapkan tangan ke balik rok bawah Mimin, "dan aku akan sering ngasih bonus, biar kamu gak kekurangan lagi ya."




"Saya sih bukan cewek matre Pak. Sebenarnya saya udah lama merasa simpati kepada Bapak, tapi Bapak kan cuek-cuek aja...ternyata khayalan saya jadi kenyataan...." ucapnya ketika jemariku mulai menyelinap ke balik celana dalamnya...kusentuh bulu-bulu keriting, tidak terlalu lebat, sehinggam aku bisa mengotak-atik lubangnya yang mulai membasah...clitorisnya yang mulai mengencang.




"Paaak...saya udah gak tahan....tapi... pengen pipis dulu ya..." kata Mimin terengah.




"Iya. Itu kan ada kamar mandi," kataku sambil menunjuk ke pintu kamar mandi di bagian belakang, "Sekalian cuci yang bersih ya. Biar sedap."




Mimin cuma tersenyum. Lalu bergegas masuk ke kamar mandi. Ketiga kamar di lantai dua ini ada kamar mandinya masing-masing. Lengkap dengan shower air panas. Cuma gak ada yang pakai bathtube. Yang ada bathtube hanya di kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidurku, di lantai bawah.




Kedengaran suara shower agak lama. Berhenti. Terdengar memancar lagi agak lama. Berhenti lagi. Wah, mungkin dia sekalian mandi dulu.




Akhirnya Mimin muncul dari pintu kamar mandi. "Maaf, sekalian mandi duilu, Pak. Takut bau dagangan...kan banyak yang bau juga Pak."




"Iya gakpapa. Di kamar mandi ada handuk kan?"




"Ada, yang putih satu yang biru muda satu."




"Kalau udah mandi pasti lebih seger," kataku sambil menarik lengan Mimin dan mengajaknya masuk ke kamar yang di sebelah kanan.




Begitu tanganku masuk ke balik rok bawahnya, aku langsung menyentuh kemaluannya.




"Celana dalamnya ditinggal di kamar mandi Pak," kata Mimin tersipu.




"Iya...malah bagus...biar gampang," kataku sambil merebahkannya di atas tempat tidur. Sesaat kuperhatikan wajah Mimin dengan cermat. Matanya yang bundar bening, hidungnya yang mancung meruncing, bibirnya yang tipis merekah, kulitnya yang putih cemerlang, seolah memancarkan sinar ....hmmm...kalau ia didandani, ia pasti lebih cantik daripada istriku.




Setelah pakaiannya kulepaskan semua...aku tercengang juga dibuatnya. Tubuh yang sempulur...cemerlang...ah...kenapa selama ini aku tak pernah mempedulikannya? Bukankah ia sering mengadu kepada istriku, ingin bercerai dengan suaminya, karena hidupnya serba kekurangan? Tapi setahuku, istriku selalu menasihatinya, bahwa dalam hidup terkadang kita harus berkorban demi anak kita. Karena kalau sepasang suami istri bercerai, biasanya anak yang jadi korban.




"Kamu cantik, Min," cetusku sambil mengelus tubuh telanjangnya, dari ujung kaki ke ujung rambut, "tubuhmu mulus begini pula..."




"Tapi nasib saya kurang bagus Pak," sahutnya dengan nada sendu.




"Sttt...sudahlah. Jangan bicara soal itu lagi. Mulai saat ini kamu akan menjadi milikku. Meski tidak resmi, tapi aku akan membelanjaimu sebagaimana layaknya seorang istri."




"Betul Pak?" Mimin memegang pergelangan tanganku.




"Betul," sahutku sambil melepaskan semua pakaian yang masih melekat di tubuhku, "Tapi sekarang kamu harus pedulikan ini juga...." kataku sambil mengangsurkan batang kemaluanku yang sudah tegang ini ke dekat perutnya.




Mimin melotot sambil memegang batang kemaluanku, "Paak...punya Bapak kok gede gini sih? Panjang pula.....hiiii...pantesan Ibu gak mau kehilangan Bapak ya."




"Emut dulu dong," kataku sambil merangkak lagi ke dekat kepalanya, sehingga penisku jadi dekat ke mulut Mimin.




Tanpa banyak bicara lagi Mimin memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya. Lalu ia mengulum, menjilati dan menggerak-gerakkan mulutnya sambil menghisap dan menjilat. Luar biasa. Rupanya wanita muda yang tampak lugu ini sudah trampil dalam mengoral penis. Mungkin suaminya sering minta dioral, sehingga ia menjadi terbiasa melakukannya. Sementara tanganku asyik mengelus meqinya yang berbulu jarang, menyelundupkan jemariku ke dalam liang hangatnya....lalu mempermainkan clitorisnya yang terasa sudah mengencang. Aku sudah cukup pengalaman tentang cara memanipulasi clitoris agar terasa nikmat bagi pemilik clitoris itu. Permainan jemariku saja cukup ampuh untuk membuat Mimin makin horny.




Dan akhirnya Mimin melepaskan penisku dari kulumannya sambil merengek seperti minta dikasihani, "Ayo Pak...pake punya Bapak aja....kalau saya keburu lepas ntar becek...pake punya Bapak aja ya...please Pak..."




Aku tersenyum dan mengangguk, sambil membiarkan ia mengarahkan penisku menempel pas di mulut vaginanya.




"Iya...dorong Pak...tapi pelan-pelan ya...jangan disekaliin ya Pak..." pinta Mimin tetap memegang penisku supaya arahnya tepat.




Aku pun mulai mendesakkan penisku. Meski agak sulit, akhirnya penisku mulai menerobos liang kewanitaan Mimin.




"Duuuh...Paaak...udah masuk Paaak...." rintih Mimin perlahan, sambil memeluk leherku.




Sebelum mengayun batang kemaluanku, masih sempat aku berbisik, "Akhirnya kamu menjadi milikku, Min."




"Iya Pak," sahut Mimin dengan senyum, "Mimpi aja nggak.... tau-tau jadi begini..."




"Sekarang kita nikmati aja ya...Ibu baik banget kan sama kita?"




"Iya Pak...gak nyangka bakalan jadi begini."




"Aku juga gak nyangka punyamu enak gini, Min..."




"Punya Bapak juga...enak banget...aaaah.....iya Pak...genjot yang pelan aja dulu Pak....biar saya bisa meresapinya....iya Pak...saya suka yang pelan-pelan aja gini....."




Kuikuti saja kemauan Mimin dengan memperlambat gerakan penisku. Namun pada giliran mendorong, benar-benar kubenamkan sedalam mungkin, sampai terasa moncong penisku menyundul dasar lubang kewanitaan Mimin. Dan itu membuat Mimin sering terpejam dengan mulut ternganga....ketika kutarik kembali, ia melepaskan napasnya...aaaaaah.....




Namun pada suatu saat ia berkata terengah, "Pak...saya hampir sampai...cepetin enjotannya Paaaa....iya Pak....ooooh....Paaaak....saya mau lepas neh.....uuuu....uuuuhhhhh...."




Mimin mengelojot....lalu nafasnya normal kembali....dan dengan sorot sayu ia menciumi bibirku.




Aku tak mau habis-habisan di ML pertamaku dengan Mimin. Setelah ia mencapai orgasme, aku pun berusaha secepatnya ejakulasi. Dan akhirnya kucapai ejakulasiku. Lalu terasa moncong penisku menembak-nembakkan air mani di dalam liang surgawi Mimin. Aku berani melepaskannya di dalam, karena tadi Mimin bilang bahwa ia sudah ikut KB sejak kelahiran anaknya yang kini baru berumur dua tahun.




Setelah mengenakan seluruh pakaiannya lagi, Mimin menatapku dengan senyum manis. "Makasih Pak...saya puas banget barusan."




"Aku juga puas, sayang," sahutku sambil mengecup dahinya, "Jadi di hari-hari mendatang, kalau aku lagi kepengen, naik aja ke kamar ini. Ibu pasti mengijinkan."




"Iya Pak. Gak usah jauh-jauh ya."




Lalu aku dan Mimin menuruni tangga. Di bawah, istriku sudah menunggu dengan senyum. "Kok udahan lagi, Min?" tanya istriku.




"Iya Bu," sahut Mimin dengan sikap canggung.




"Makasih ya," kata istriku sambil mengelus rambut Mimin, "kamu sudah melayani Bapak. Lain kali kalau Bapak lagi kepengan, ladeni aja. Tapi gak boleh di mana-mana, harus di kamar yang tadi itu."




"I...iya Bu."




Mimin kembali menjaga toko, sementara aku menghampiri istriku. Mendaratkan kecupan mesra di bibirnya, "Makasih ya honey," kataku.




Istriku cuma mengangguk sambil tersenyum manis.




Semua itu akan terasa aneh buat orang tak mengerti latar belakangnya. Padahal aku pun akan mengizinkan jika Jaka datang dan ingin menggauli istriku. Itulah kompensasinya. Adil kan?




Namun aku merasa bahagia dengan langkah demi langkah yang telah dan akan kami lampaui ini. Meski buat orang yang tidak "sealiran" mungkin semuanya ini dianggap langkah gila.




Biarlah. Aku pun takkan mengajak orang lain untuk mengikuti langkahku, istriku dan teman-temanku.




Yang jelas, di hari-hari berikutnya, kalau aku sedang ingin mengggasak Mimin, enak saja aku minta izin kepada istriku, kemudian kusuruh Mimin naik ke atas. Dan tenang saja aku bergumul mesra di kamar lantai atas itu. Tanpa takut ketahuan istriku.




Inilah antara lain sisi lainku.




Tapi ini semua belum berakhir.






TAMAT 

Posting Komentar

0 Komentar