SIAPA YANG TAHAN PART 10

 

Jam menunjukkan angka 07:15. Harusnya jam segini aku sudah ada di sekolah, namun hari itu aku baru saja bangun dari tidurku. Setelah semalam aku menyetubuhi Syifa lanjut sama kak Vira membuat tubuhku ingin istirahat agak lama. Tadi malam mama bahkan menyuruhku tak pergi sekolah, aku yang memang malas berangkat akhirnya jam segini baru bangun.






Kubuka mataku dan kulirik seseorang disebelahku. Masih dalam kondisi telanjang bulat kulihat Syifa tengah tiduran tengkurap sambil mengetik sesuatu di layar Hpnya.










“Kamu chat siapa sih yaang?” tanyaku pada Syifa.




“Eh, aku chat ke temen-temen supaya bisa titip absen aja hari ini”




“Trus aku gimana?”




“Udah beres yang, Doni udah aku chat juga”




“Hehehe.. enaknya punya istri pintar”




“Heehh.. istri apaan? Ngarep lu yah..” balas Syifa pura-pura jual mahal.










Entahlah, tiba-tiba aku merasa nyaman memanggil Syifa dengan sebutan istri. Padahal kan dia masih belum lama pacaran denganku. Bahkan kami masih baru saja dinyatakan lulus sekolah. Tapi seperti kata Syifa tadi malam, mohon doanya aja supaya langgeng.










“Mama tadi udah kesini, udah cerita sama aku”




“Ohhh, yaudah kalo gitu” balasku. Mungkin Syifa sekarang tahu kalau aku tadi malam habis ngentot sama kak Vira juga, tapi semuanya biasa saja.










Aku kemudian duduk mengumpulkan kesadaranku yang belum sempurna. Setelah itu kuraih celana pendek basket lalu memakainya.










“Kamu gak mandi yang?”




“Entar aja deh.. aku mau baring-baring dulu... ahh.. capek nih” balas Syifa sambil menggeliatkan tubuh telanjangnya di atas tempat tidur.




“yaudah.. kamu disini aja yah..”










Aku kemudian berdiri lalu berjalan keluar kamar menuju dapur. Biasanya memang seperti itu, bangun tidur langsung ke dapur mencari segelas air.










“Pagi maamm...” sapaku pada mama yang kutemui sudah sibuk di dapur.




“Eh, jagoan mama udah bangun.. iya pagi sayang” balas mama.










Mataku menangkap sosok mama yang pagi itu hanya memakai celana dalam berenda warna putih saja tanpa pakaian lainnya. Tubuhnya yang montok itu terpampang dengan jelas, namun begitu sekarang aku sudah mulai terbiasa melihatnya.










“Syifa mana?”




“Masih di kamar, capek katanya..”




“Ohhh.. habis berapa ronde tadi malam?”




“Ahh.. mama.. apaan sih?” balasku belingsatan , malu tuh kalo mama sendiri yang tanya begitu.




“Hihihi... udah deh Dii.. kamu jangan malu-malu gitu deh, merah tuh muka..” ucap mama menyentil ujung hidungku. Aku hanya diam tak membalasnya, langsung saja kuambil gelas lalu menuangkan air dingin ke dalamnya.




“pagi maah...” tiba-tiba terdengar suara kak Vira menyapa. Kulihat kak Vira pagi itu sama seperti mama, hanya memakai celana dalam saja untuk menutupi tubuhnya.






Enaknya pagi-pagi gini udah disuguhi dua pasang susu yang sama-sama montoknya. Keduanya bergelantungan indah sangat memanjakan mata. Kalu sudah begini siapa yang tahan coba?






Kuperhatikan sekilas kak Vira memakai celana dalam warnah putih juga, tapi berbahan seperti jaring begitu. Jadi mataku juga menagkap bayangan lipatan memek kak Vira di baliknya. Bulu-bulu jembutnya juga masih bersih, mungkin saja kakakku itu rajin membersihkannya.










“Papa jadi ga ke kantor juga nih mam?” tanya kak Vira.




“Iya dong.. ini kan hari spesial buat papa-mama” jawab mama sambil terus menyiapkan sarapan buat kita.




“Hemm.. enak yah kalo kita bisa kek gini tiap hari.. bebas rasanya..” ungkap kak Vira kemudian.




“Bebas gimana sih kak?” tanyaku penasaran.




“Bebas cuma pake ginian aja dek, hihi...” kak Vira menekankan kata ‘ginian’ itu sambil memegang celana dalamnya.




“Nah.. mangkanya ntar kalo cari suami itu yang bisa bebasin kamu tiap hari seperti ini” sahut mama.










Ugh, mama dan anak kok sama-sama binal semua sih. Tiba-tiba aku merindukan sebuah keluarga yang normal seperti dulu. Tapi di lain sisi aku sangat menikmatinya. Mungkin keluargaku beda dengan keluarga lainnya, tapi aku suka, suka banget malah.










“Met pagi semua...” sapa Syifa yang baru keluar dari dalam kamar.




“Eh, yang.. pake apa gitu ahh.. ga malu sama mama tuh?” sergahku pada Syifa yang datang masih mengumbar auratnya. Tubuh bugilnya langsung jadi pemandangan kita bertiga.




“Eh, Aldi.. ga baik gitu itu.. kamu harus bebasin pasangan kamu supaya merasa nyaman di rumah.. “ protes mama.




“Tapi kan mam.. “




“Ehh, kamu harusnya bangga punya pacar seperti Syifa, udah cantik, badannya bagus, teteknya besar... kurang apa lagi coba?” ucap mama kemudian.




“Ya kan minimal pake celana dalam kayak mama lah.. masak pagi-pagi udah bugil aja maunya” balasku masih tak setuju.




“Lahh.. kamu sebagai pasangannya harusnya mendukung dia dong, kalo dia ga pake apa-apa.. kamu juga harus sama...”




“Maksudnya??” di tengah kebingunganku kulihat Syifa malah terkikik tanpa suara.




“Lepasin celana kamu tuh... ayo lepasin... kasihan Syifa...” tukas mama sambil memaksaku melepas satu-satunya pakaian yang melekat di tubuhku.




“Ayo dong yaang.. buktiin kalo kamu sanggup menemaniku saat suka maupun duka, hihihi...” ucap Syifa menyetujui perkataan mama.










Aku yang merasa terpojok mulai memegang pinggiran karet celana basket yang kupakai. Aku sepertinya mulai termakan ucapan-ucapan mereka. Tanpa pikir panjang aku langsung memelorotkan celana pendek yang sedari tadi menutupi pangkal pahaku.










“Tuhhh.. udah kan...” ujarku begitu celana pendek itu lepas dari tubuhku.




“Hihihi, makasih sayang.. loph yu dech.. muuaach..” Syifa mencium bibirku dengan genit. Sepertinya memang dia telah berhasil menjebakku.




“Loh, udah pada kumpul nih... sarapannya udah mateng apa?” tiba-tiba suara papa terdengar medekati kami. Sepertinya papa baru selesai mandi, tubuhnya terlihat masih sedikit basah dan hanya terbelit handuk di pinggangnya.




“Iya paah.. ayo sini.. kita mulai makannya” balas mama.










Sebenarnya setelah papa datang yang aku tunggu adalah komentarnya pada tubuhku dan Syifa yang sama-sama bugil. Mungkin saja kondisi kami berdua yang tanpa busana itu pasti jadi bahan olok-olok mereka. Namun begitu semakin lama aku tunggu ternyata papa tak kunjung mengomentarinya. Malah dia terlihat biasa saja.










Acara makan kami pagi itu seperti hari-hari lainnya. Kami ngobrol tentang keseharian kami. Mulai dari kegiatan sekolahku sampai kerjaan papa yang sedang menggarap proyek penting dari pemerintah.










“Yaang.. pangkuin dong..” bisik Syifa manja di tengah acara makan kami.




“Iya deh, sini naik..” aku menyiapkan kedua pahaku untuk diduduki Syifa.




“Wahh.. mesra banget nih anak mama sama calon istrinya..” ujar mama melihat kami dengan tatapan bangga.




“Eh, iya mam.. nanti habis mereka masuk kuliah kita lamar saja Syifa sama keluarganya..” ujar papa yang membuatku agak kaget.




“Mama setuju banget pah..”




“Tull... aku juga setuju banget” timpal kak Vira.




“Syifa, mau gak kamu jadi istrinya Aldi?” tanya mama serius. Kali ini tak kulihat wajah bercanda mama seperti biasa.




“M-mau banget tante...” balas Syifa tersipu malu.




“Deal yah.. tunggu kami melamar ke rumah kamu Syifa” ujar papa lagi.










Aku hanya terdiam mendengar percakapan meraka. Entahlah, aku tak habis pikir menghadapi kelakuan aneh keluargaku. Mestinya kan aku diarahkan, jangan keburu kawin kalo belum punya kerjaan, atau tunggu lulus kuliah dulu. Ini malah aku dipaksa suruh menikahi anaknya orang, padahal aku baru saja lulus sekolah. Syifa juga sama, maen terima saja. Mungkin beneran udah gatel memeknya.






Bau tubuh Syifa yang duduk di pangkuanku menyeruak masuk ke dalam indera penciumanku lagi. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda kadang menyapu wajahku. Meski Syifa belum mandi tapi bau tubuhnya sangat aku sukai. Bener-bener bikin aku horni lagi. Apalagi kami berdua sama-sama masih telanjang bulat.










“Ssstt.. udah bangun lagi tuh yaang, ngeganjal rasanya” bisik Syifa.




“Ah, kamu sih minta dipangku segala..” balasku tanpa berusaha menyembunyikan batang penisku yang kembali tegak mengeras di bawah pantat Syifa.




“yaudah.. masukin aja gih..” bisiknya lagi.




“Eh, tapi jangan digoyang yah.. tahan” ujarku memberi syarat padanya.










Tanpa membalas ucapanku, Syifa lalu mengangkat tubuhnya sedikit. Aku yang melihat kesempatan itu langsung membasahi ujung penisku dengan ludah lalu memposisikannya tepat di mulut vagina Syifa.










“Eehhmmmm..” desah Syifa saat penisku masuk liang senggamanya dengan tiba-tiba.




“Udah yah.. jangan digoyang, awas lu..” balasku dengan berbisik juga.










Papa, mama dan kak Vira kuperhatikan tak ada yang melihat kelakuan kami. Entah mereka benar-benar tak melihatnya atau pura-pura tak melihatanya. Aku kembali cuek saja pada pemikiran mereka. Paling mentok aku hanya akan jadi bahan olok-olokan mereka di lain waktu.






Dengan batang penis yang bersarang dalam ling kemaluan Syifa, aku terus ikut membalas obrolan keluargaku. Semuanya tampak biasa saja. Bahkan mereka tak lagi membahas ketelanjangan kami ataupun Syifa yang duduk dipangkuanku.










“Anjirr.. lu ngempot yah!?” bisikku lagi pada Syifa. Kurasakan dinding vaginanya memijit dan menyedot penisku, nikmat banget rasanya.




“Hihihi.. abisnya enak sih yang.. tapi aku gak goyang kan!?” balasnya tak mau kalah.










Aku kembali membiarkan Syifa melakukan apa yang dia mau. Bukannya aku takut sama gadis itu atau gimana, tapi rasa sayang dalam diriku mulai membesar pada Syifa. Sungguh aku sekarang jadi cinta dan sayang padanya.










“Okeee... selesai makan semuanya ke halaman belakang, acara kita mulai” ujar papa sambil tersenyum penuh semangat. Acara apasih? Aku kok belum ngerti juga.










Kak Vira dan mama kemudian membereskan alat-alat makan yang tadi dipakai lalu membawanya ke tempat cuci piring. Sedangkan papa langsung menuju ke teras belakang rumah.










“Eh, udah selesai tuh.. turun gih” ujarku meminta Syifa turun dari pangkuanku.




“Bentar yaang.. lagi enak nih..”










Syifa tanpa aba-aba mulai menggoyang pinggulnya. Jepitan vaginanya terasa sangat nikmat. Namun hanya sebentar saja tubuh gadis cantik itu bergetar dan mengejang lembut.










“Heehh... lu keluar yah? Duhh.. jadi becek nih..” protesku merasakan cairan orgasmenya meleleh keluar membasahi pangkal pahaku.




“Hihihihi... iya yaang.. emmhhh.. terlanjur enak sih”










Biasanya Syifa kalau orgasme bisa squirt, tapi kali ini hanya meleleh saja cairannya. Mungkin saja kalau aku sempat mengocoknya tadi pasti cairan orgasmenya muncrat membasahi kursi di bawah kami.










“Muuuaaachhh.. aku jadi makin cinta sama kamu yang..” ucapnya sambil melumat bibirku dengan mesra.




“Hehe.. iya, aku juga makin sayang sama kamu Syifa..” balasku lembut.




“Yaudah.. yuk kita ke belakang.. ditungguin sama papa tuh..”




“yukk...”










Syifa lalu mengangkat tubuhnya dari pangkuanku. Dia lalu berdiri sambil menungguku untuk ikut berdiri juga. Sempat kulihat cairan orgasmenya masih meleleh keluar membasahi pangkal pahanya. Ugh, tambah bikin horni saja anak ini.










***










Pukul 9 pagi, kami sekeluarga duduk di teras belakang rumah. Kak Vira duduk di samping papa, sedangkan mama duduk di depannya. Aku dan Syifa berada di sebelah mama. Sambil menikmati matahari pagi yang hangat, kami sekeluarga merencanakan sebuah acara yang sampai saat itu akupun tak mengerti acara apa.










“Oke.. sekarang sebelum papa cerita, papa minta semuanya lepas pakaian..” ujar papa, tenang dan berwibawa.










Papa kemudian berdiri lalu melepas handuk yang melingkar di pinggangnya. Mama dan kak Vira juga mulai melolosi celana dalam yang sedari tadi menutupi celah kemaluan mereka. Sedangkan aku dan Syifa hanya duduk saja karena sedari tadi kami berdua sudah tanpa busana.










“Nah.. hari ini adalah ulang tahun pernikahan papa sama mama..”




“Horee... selamat yah paa... maa...” Syifa tiba-tiba tepuk tangan. Akhirnya aku dan kak Vira juga mengikutinya.




“Makasih Syifa.. kamu memang menantu papa yang baik dan cantik..” balas papa sambil tersenyum mesum pada Syifa.




“Lalu pah? Acaranya apa?” tanya kak Vira kemudian.




“Gini.. pas papa tanya ke mama mau hadiah apa, ternyata mama kalian minta sebuah pesta...”




“Wahh... mantab tuh, pesta apa ini pah?” tanya kak Vira lagi.




“Pesta seks...hahahaa...” jawab papa tertawa sumringah.




“Hahh!??” aku tercengang pada kata-kata papa, tak percaya aku mendengarnya.




“Wahh.. waahh.. mamaa..” kak Vira juga merasa tak percaya.




“Oke.. untuk melanjutkan acaranya, mama minta papa sama Aldi yang jadi laki-lakinya..” ujar mama kemudian.




“Lhoh, bukannya aku sama papa memang laki-laki..” balasku.




“Sssshhhtt.. diam dulu napa” Syifa menghardikku.




“Iya..iya... bawel lu ahh..”










Mama kemudian berdiri dari tempat duduknya. Tubuh mama yang masih langsing itu begitu jelas terlihat di mataku. Tapi yang aku heran ternyata mama juga mencukur habis bulu kemaluannya. Aku jadi sedikit kecewa, padahal yang aku sukai dari kemaluan mama itu ya bulu lebat yang tumbuh menghiasi bibir memeknya.










“Sekarang mama putusin, Aldi berpasangan dengan mama, trus papa sama Vira”




“Oke siap...” sahut papa. Iya sih, kalo pasangan ngentot siapa yang gak suka memek kak Vira.




“Kita akan adakan lomba”




“Eh, lomba paan mah?” tanya papa kemudian. Ternyata papa juga ga tau.




“Gini pah... kita akan adain lomba tebak susu dan memek pasangannya. Mama sama Vira akan duduk di depan, trus papa sama Aldi harus cari dimana pasangannya”




“Emm.. kalo salah apa hukumannya?”




“Kalo laki-lakinya salah tebak, wanita pasangannya kena hukuman dikocok memeknya sampe keluar..”




“Ihhh... kok gitu sih mam?” protes kak Vira.




“ga ada tapi-tapian Vira.. sekarang karena ada Syifa di sini biar dia yang jadi jurinya”




“Siyaap tante.. eh, mah..” balas Syifa ikut berdiri.










Sebentar kemudian tangan mama dan kak Vira diikat di belakang tubuhnya. Mataku dan mata papa kemudian di tutup dengan selembar kain supaya tak bisa melihat pasangan kami. Aku menurut saja tanpa bisa berkata apa-apa.










“Oke.. sekarang giliran pertama adalah Aldi... ayo sayang ikut aku” kata Syifa lembut.










Aku kemudian di tuntun maju selangkah demi selangkah sampai akhirnya berhenti. Sepertinya di depanku ada mama dan kak Vira yang tengah berdiri juga.










“Ayo sayang, mulai raba susunya..” ucap Syifa.










Akupun mengikuti perintahnya. Tanganku berusaha meraba-raba tubuh di depanku sampai akhirnya aku menemukan bulatan empuk dan kenyal. Aku yakin itu payudara perempuan, tapi milik siapa? Akupun berusaha mengingat ukuran payudara kak Vira dan punya mama. Tapi kedua pasang payudara itu hampir sama ukurannya. Aku lalu kembali meraba kedua pasang buah dada itu, tapi kali ini fokus pada puting susunya. Aku ingat benar, puting susu mama lebih besar dari punya kak Vira. Karena memang puting mama telah dihisap kami berdua sewaktu bayi.










“Oke... sudah dapat” ujarku. Kemudian Syifa menyuruhku mundur selangkah.




“Nah, untuk lebih memastikan lagi, coba kamu rasain memek mereka...”










Aku yang semakin bersemangat langsung maju ke depan lagi. Kini tanganku menemukan sebuah daging empuk dan hangat. Aku yakin itu belahan vagina perempuan, entah punya mama atau kak Vira.










“Coba dijilat dong sayang..” perintah Syifa lagi.










Aku mengikuti perintahnya. Dengan samar aku mulai menjilati liang vagina di depanku. Meski mataku tertutup tapi instingku sebagai laki-laki bisa mengetahui dimana letak lobang kenikmatan itu.










“Eeuummphhh..” terdengar suara desahan kala lidahku mulai menari-nari mengusap liang vagina itu.










Agak lama aku menjilati kemaluan perempuan itu, namun aku belum bisa menyimpulkan itu milik siapa. Kemudian setelahnya Syifa menarik tubuhku lalu meggesernya ke samping. Aku temui liang vagina lagi. Kali ini rasanya sama saja seperti yang tadi, hanya saja lebih hangat. Akupun belum bisa menyimpulkan itu milik siapa. Apalagi mama dan kak Vira sama-sama mencukur bulu kemaluan mereka, jadi sekilas nampak sama. Namun begitu dari baunya aku langsung bisa menebak kalau yang terakhir tadi milik mama.










“Okeee.. sekarang gantian papa..” ujar Syifa.










Aku tak bisa melihat apa saja yang dilakukan papa. Mataku masih ditutup dengan kain. Namun dari suaranya aku bisa mendengar desahan, entah dari mama atau kak Vira.










“Oke.. cukup Om.. sekarang tebak kak Vira ada di mana?” tanya Syifa.




“yang kanan dong..”




“Oke.. sekarangAldi, mama sebelah mana?”




“Emm... sebelah kanan..” jawabku yakin.




“Baik, aku lepas dulu tutup matanya..” Syifa dengan cekatan melepas kain tutup mataku, kemudian dia melakukan hal yang sama pada papa.




“Naahhh.. sudah bisa dilihat kan siapa yang bener”




“Yesss... aku menang” ucapku gembira.




“Aahh, papa sih, masak ga tau..” rajuk kak Vira kecewa.




“Nah, kak Vira harus menerima hukumannya..”










Tangan kak Vira yang terikat di belakang tubuhnya kemudian diikatkan lagi pada sandaran kursi tempat duduknya. Dengan posisi jongkok di atas kursi membuat celah vaginanya terekspos dengan sempurna.










“Biar seru nih.. kita gunain ini aja ya Vir..” tiba-tiba mama sudah memegang sebuah dildo warna merah muda. Ukurannya sih sepertinya ukuran penis pria asia.




“Lhoh kok pake gituan mah..... aahhhh.. aahhh.. mam...” mama tak peduli rengekan kak Vira. Tangan mama terus mendorong dildo itu masuk ke dalam liang vagina kakak perempuanku.




“Siap yaaahh... Syifa nyalakan kameranya..” perintah mama. Syifa dengan cekatan mengarahkan kamera menyorot kak Vira.




“Aaaaaahhhhhh.....” jerit kak Vira setelah dildo yang menancap di memeknya mulai bergerak mengaduk-aduk liang senggamanya.




“Mantab mam..” seru papa.




“hihihi.. kapan-kapan kita bikin acara gini lagi ya pah..”




“Beresss..”










Kak Vira terus menggelinjang dengan tubuh terikat. Memeknya tengah diaduk-aduk oleh batang dildo yang bergerak memutar dan bergetar










“Aaaaahhhhhhhrrrrggggghhh....”






‘Crrr....crrrrr.....crrrrr...’






“Lahh, kok cuma sebentar aja udah keluar sih..” ucap mama.




“Aahhh...aahhh...haaahh... ampuun mam.. haahh...” kak Vira nampak terengah-engah setelah dia mencapai orgasmenya dengan batang dildo yang masih bergetar di dalam liang vaginanya.




“Waahh.. udah ga kuat ya sayang? Yaudah deh mama lepasin” mama kemudian mematikan tombol power pada dildo itu lalu mencabutnya.




“Aaaahhhhhh... adddduhhhh maaa.... haahh..enak banget sih.. ukurannya mantab” ungkap kak Vira setelah dildo yang mengobok-obok vaginanya dikeluarkan.




“kamu suka ya Vir?”




“Banget mam..”




“yaudah ntar kalo lagi butuh mama pinjemin..”




“Makasih mam..”




“Yupp... sekarang kita menuju ke permainan selanjutnya.. Aldi tolong lepasin kakak kamu dulu..”




“Eh, permainan apa lagi nih mam?” tanya papa kembali penasaran.




“Papa sama Aldi adu cepat..”




“Lari?”




“Bukaan... biar adil nih, Aldi sama Vira trus papa sama Syifa”




“lhoh kok ganti lagi??”




“Iya dong, kan berat badan mereka hampir sama... siapa cepat dia yang menang...”










Aku yang mendengar ucapan mama hanya bisa membayangkan aku berlari dengan menggendong kak Vira dari teras belakang rumah menuju tembok bagian belakang. mungkin jaraknya sekitar 8 meter. Ah, gampang kalau begitu.










“Tapi, sambil menggendong.. penis kalian harus masuk ke memek pasangan masing-masing?”




“Hahh!?” aku kembali ternganga mendengarnya.




“Aduh, kok aneh-aneh sih mama ini..” protes papa.




“Iya dong paah.. biar seru, hihi..”










Jadi, di halaman belakang rumah kami yang luas itu aku dan papa akan berlari ke arah kak Vira dan Syifa yang sudah menunggu. Lalu kami harus menggendong pasangan kami kembali ke posisi start, lalu balik lagi ke finish. Dan karena ini pesta seks, tentu bukan digendong biasa. Tapi kak Vira dan Syifa memeluk pasangannya dari depan, kemudian menggantungkan kakinya di pinggang pasangannya yang menahan beban tubuh mereka dengan tangan.










“Wah.. kalo gitu sih susah kalo sambil lari” protes papa.




“ya makanya papa ga udah lari..” balas mama mengedipkan mata.










Tak beberapa lama kemudian persiapan dimulai. Aku dan papa yang jadi peserta sebelumnya dikocok dan disepong dulu oleh para perempuan agar kontol kami kembali tegak, itung-itung biar licin juga. Lomba gak jelas ini segera dimulai. Mama mengawasi di garis start, sedangkan kak Vira dan Syifa sudah menunggu di garis finish.










“Ayooo.. semangat semuanya!” teriak mama.










Aku dan papa bersiap di garis start. Bedanya dengan lomba biasa, selain telanjang aku dan papa juga sibuk mengocok kontol kami masing-masing agar tetap tegak waktu sampai ke tempat pasangan kami.










“Siaaaap...Mulai! “










Aku dan papa lari sekencangnya menuju pasangan kami. Begitu sampai, dengan sigap Syifa langsung memeluk papa dan meloncat ke pangkuannya. Agak susah saat papa mencoba memasukkan kontolnya ke memek Syifa. Begitupula denganku. Tapi aku punya trik, kak Vira aku minta tetap berdiri sambil kaki sebelahnya aku angkat. Berhasil. Setelah penisku masuk kaki kanan kak Vira ku angkat juga. Akhirnya aku benar-benar menggendong kak Vira dengan penis menancap pada liang kemaluannya.






Papa kehilangan sedikit waktu karena usaha penetrasi pertamanya gagal. Sementara itu mama hilir mudik mengawasi kami supaya tak melakukan kecurangan.










“Ayo masukin! Itu udah tuh pah! Ayo!” teriak mama menyemangati papa.




“Aaaahhh.. masuk oommm...” lenguh Syifa saat penis papa berhasil mempenetrasi vaginanya.




“Uhhh.. iyaahh.. sempit banget memek kamu Syifa...”




“Ayo dekk mulai.. kita bisa menang nih!” seru kak Vira. Akupun mulai menggerakkan kedua kakiku untuk menuju garis start trus balik lagi.










Aku dan kak Vira memimpin, tak jauh dibelakangku papa dan Syifa semakin mempertipis jarak. Sebenarnya jarak yang ditempuh memang tak terlalu jauh, tapi karena kami tak bisa bergerak terlalu cepat maka lomba itu jadi lebih lama dari yang kami duga. Kak Vira dan Syifa terus mendesah dan sesekali menjerit, bukan hanya karena sedang menjepit kontol dengan lubang mereka, juga karena takut jatuh setiap kali pasangannya melangkah.










“Ahhahh.. ahh.. aaahhh... adekk... ahh.. iiya ayo terus!” kak Vira meracau, sementara aku berusaha keras untuk melangkah lebih cepat dari papa.










Akhirnya aku dan kak Vira mencapai garis start yang dijaga mama. Tapi tak lama setelah memutar balik, aku harus berhenti sebentar karena kurasakan dinding vagina kak Vira kontraksi menjepit dan meremas kontolku. Ugh, bisa-bisanya kak Vira orgasme lagi sih, sebel.










“Haahhhhh... ahh...ahhh...tunggu dek... aahh...” aku yang lari tapi kak Vira yang terengah-engah.




“Aduhh kaakk.. kok bisa muncrat duluan sih? kita masih lomba kaakk...” protesku.




“Aaaahh..aahh.. haduuuhh.. enak banget kontolmu Dii.. bikin aku ga tahan..”




“Udah yaa.. aku gerak lagi”










Tak lama setelah kak Vira mengambil nafas, aku mulai jalan lagi. Tapi momen itu dimanfaatkan pasangan papa dan Syifa untuk menyusul kami. Pertarungan sengit terjadi. Papa berusaha sekeras mungkin tapi tetap tertinggal di belakang.










“Uhhhhh.....”










Terdengar suara lenguhan dari mulut papa. Setelah putar balik tadi tiba-tiba papa menjatuhkan tubuh Syifa di atas rerumputan. Entah apa yang terjadi, tapi kulihat papa terngah-engah mengatur nafasnya.










“Aduhhh.. memek kamu bisa ngempot yah!? Jadi gak tahan kalo gini terus...” ujar papa.




“Hihihi.. iya Om, maap...”










Setelahnya papa hanya terus memeluk tubuh Syifa di tengah halaman belakang rumah. Sedangkan aku dan kak Vira sudah duluan sampai di garis finish. Begitu kak Vira lepas dari pelukanku, aku pun ambruk berbaring di rerumputan mengatur nafas. Kak Vira juga ambruk menyusul di sebelahku.

Posting Komentar

0 Komentar