Senja selalu membawa cerita tentang hari yang kan segera berlalu. Menghantar matahari yang merajuk sebelum menepi; dan juga menyimpul rasa sebelum tetirah melepas lelah. Senja juga adalah saat di mana manusia menepi dari segala aktivitas, dan bergerak pulang sebelum hari beranjak malam. Sebagai pengantara antara terang dan gelap, senja adalah “dunia antara” yang menyambung kehidupan manusia dari waktu yang satu ke waktu yang lain, dari dunia yang satu ke dunia yang lain.
Senja juga adalah aku, sebuah nama sebagai warisan kedua orang tuaku. Bukan! Ya.. aku bukan cewek. Aku cowok tulen, yang kadung diberi nama mirip perempuan. Mungkin perlu tahu nama lengkapku biar pembaca tidak salah paham. Rahardian Senja Prakasa (RSP) itulah nama lengkapku. Anak kampung di lereng Gunung Bentang, tanah pasundan. Aku lahir di suatu senja, 17 tahun yang lalu.
Aku adalah anak dari keluarga petani yang memiliki beberapa petak sawah dan perkebunan kopi; memiliki beberapa ekor kambing dan seekor kerbau yang kami dayakan sebagai pembajak sawah. Ayahku (44 tahun), selain mengolah sawah dan kebun sendiri, biasa bekerja dengan membajak sawah orang lain, milik tetangga. Menjelang musim tanam begini, tentu ayah sangat sibuk bekerja. Ibuku (41) tahun) seorang ibu rumah tangga biasa, dan juga petani. Sehari-hari ibu biasa mengantar makanan untuk ayah dan kemudian membantunya di sawah atau ladang. Sebetulnya aku mempunyai seorang kakak perempuan, namun ia sudah tidak bersama kami sejak kecil. Mengapa? Ah.. sudahlah ini cerita lain. Bukankah ini cerita tentangku?
Aku baru saja lulus SMA. Aku adalah salah satu dari tiga anak kampung ini yang mampu menyelesaikan sekolah sampai tingkat SMA. Bukan karena warga sini tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya, tapi karena kesadaran akan pentingnya pendidikan belum mengakar kuat di dalam pola pikir warga. Dua temanku yang baru sama-sama lulus adalah ilham (begitu lulus langsung merantau ke bandung, ikut pamannya), sae (gadis jelita di kampungku, kini membantu ibunya menjaga warung. Satu-satunya warung di kampung kami.) Kami adalah sahabat dekat, karena sejak kecil kami selalu berteman. Selain mereka, sahabat-sahabatku yang lain adalah Jaka, Ega dan Ardan. Mereka semua tinggal di kampung, tetapi mereka hanya sekolah sampai lulus SMP.
Karena sekolahku dulu berlokasi di desa (di kampung kami tidak ada sekolah), maka kami harus berangkat pagi-pagi dan pulang sudah agak sore. Butuh waktu satu jam untuk berangkat sekolah dengan turun gunung; sedangkan untuk pulang biasanya membutuhkan waktu satu setengah jam karena harus menempuh jalan yang menanjak. Tak jarang kami berangkat sekolah dengan membawa hasil kebun untuk dijual di warung Haji Sosmed langganan kami, dan pulangnya membawa belanjaan untuk keperluan sehari-hari.
Karena jarak yang jauh tersebut, selama sekolah aku jarang bisa membantu ayah di sawah, kecuali hari minggu dan hari libur. Paling-paling sepulang sekolah, aku hanya bisa membantu menyabit rumput untuk kambing dan kerbau. Setelah itu diisi dengan bermain bersama teman-temanku sebelum belajar atau mengerjakan PR.
Sedikit gambaran tentang kampungku. Kampungku hanya berisi sekitar 20 KK (19 rumah). Terletak di lereng Gunung Bentang. Lokasinya sangat terpencil karena untuk sampai ke kampung sebelah (Kampung Ewer) harus turun bukit sekitar 45 menit. Atau untuk ke kampung lain (Kampung Rujit) butuh waktu dua jam, yaitu dengan naik ke puncak bukit dan turun di lereng yang berlawanan. Oh iya, nama kampungku adalah kampung Sawer. Entah apa artinya.
Konon, asal mula warga kampung ini berasal dari kedua kampung tersebut. Awalnya ada beberapa warga yang membuka lahan dan berladang di sini. Nah, karena lokasinya jauh dari kampung mereka mulai membangun saung-saung semi permanen. Saung ini selain dipakai untuk menyimpan hasil panen, juga menjadi tempat istirahat atau memasak. Menjelang musim panen biasanya banyak binatang hutan, khususnya babi hutan, yang mencuri dan merusak tanaman. Di waktu seperti inilah mereka biasanya menjaga ladang dan sawah mereka di waktu malam. Untuk itulah mereka mendirikan saung-saung di tengah sawah. Jaraknya tentu saja saling berjauhan.
Dari sinilah cikal bakal lahirnya kampung Sawer. Lama-kelamaan mereka mulai mendirikan rumah secara permanen. Banyak warga lain yang kemudian datang dan ikut membuka ladang. Beberapa menikah dan melahirkan keturunan. Itulah asal mula kampungku. Dan aku bangga menjadi warga kampung ini.
Sampai sekarang di kampung kami belum ada listrik. Dulu kami hanya mengandalkan lampu minyak tanah atau minyak kelapa. Tapi sekarang sudah menggunakan listrik tenaga surya dananya berasal dari Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Sebagai warga tentu saja kami sangat guyub dan dekat satu sama lain. Namun karena anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan yang sepantaran, maka aku dan sahabat-sahabatku sering menghayalkan ibu-ibu yang ada di kampung kami ini. Mereka sering menjadi bahan omongan jorok kami, terutama adalah Bi iyah dan Bi Rohmah yang berbadan semok. Ssstttt… mereka tidak tahu kalau aku sering menghayalkan ibu-ibu mereka juga. Semoga mereka tidak menghayalkan ibuku. Tapi kami hanya sebatas membicarakan dan tidak berani berbuat aneh-aneh.
Banyak juga pemuda dari kampung sini yang pergi merantau mencari pekerjaan, dan biasanya mereka menemukan jodoh di sana. Setelah menikah mereka biasanya enggan pulang kampung dan lebih memilih untuk menetap di kota. Mereka biasanya mudik saat lebaran saja.
Aku adalah salah satu pemuda yang memilih menetap di kampung kebanggaanku ini, sampai akhirnya takdir mengatakan lain. Dan inilah ceritaku…
0 Komentar