KETIKA SENJA PART 44

 

“Sudah aku kirim, Ja.”

“Iya tapi gimana bukanya? Kan hapenya lagi dipake telpon.”

“Hihi.. kamu loud speaker aja.”

Kuturunkan hape dari telingaku lalu kuubah ke mode loud speaker, lalu kubuka aplikasi WA.

“Aku gak ngerti. Ini kok cuma barisan huruf dan angka aja, tidak seperti yang kamu ceritakan.”

“Hihi.. kamu boleh berasal dari kampung, tapi jangan kampungan juga, Ja.” Suaranya meledekku. “Kamu sentuh aja tulisannya; itu namanya link"

Aku mengikuti petunjuknya, lalu kutekan barisan huruf yang tertera di halaman chatting kami berdua:

Tiba-tiba layar berpindah ke halaman browser dan tertera sebuah tulisan.

“Sudah nih,” kataku.

“Coba kamu baca.”

“Oke.” Lalu kubaca tulisan yang tertera:

Kerinduanku sudah terurai begitu lama, abadi dalam setiap hari dan peristiwa hidupku. Lahirku dan juga lahirmu, matimu dan juga matiku menjadi satu dalam catatan takdir yang tak terhapuskan. Seperti fajar yang dilengkapi senja, seperti siang yang disempurnakan malam, kamu menyempurna dalam cintaku.

Meski senja telah memisahkan siangku dan malammu, ia selalu saja menyenangkan. Karena kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya. Namun... sampai sekarang aku masih belum bisa... Belum bisa melepas kepergianmu senja itu

Tak terasa mataku berkaca, tapi segera kukendalikan diri dan kuingat sumpahku tiga hari lalu.

“Kok diam?” Suara lembutnya menyadarkanku.

“Hehe.. gak apa-apa. Kagum aja.. siapa penulisnya?”

“Tuh ada identitasnya di sebelah kiri-atas.”

“Oooh..” Mataku membaca sebuah nama.

“Aku bisa membalasnya?” Tanyaku.

“Kamu harus sign up dulu kalau ingin membalasnya.”

“Caranya?

“Hmmm.. gini aja deh, aku buatin buat kamu. Nanti kukasih tahu ID da password -nya.”

“Oh oke deh.. makasih ya..”

“Sama-sama. Kamu jangan sedih lagi, ya Ja.”

“Nggak kok. Aku baik-baik saja. Sekali lagi terima kasih ya. Dadah..”

“Dadah Senja.. I miss you . Kamu kangen aku g..” Klik.

Kututup telpon sebelum ia menyelesaikan kalimatnya.

Kuangkat wajahku. Nampak Ardan sedang menggiling kopi dengan semangatnya. Sementara aku lebih memilih untuk rebahan di atas bale-bale saung sambil ngobrol di grup ‘Kopi Sawaka’. Ega sedang cari kayu bakar. Jaka entah ke mana. Mungkin sedang pacaran dengan Sae.

Setelah dua puluh tujuh menit berlalu, muncul sebuah pesan baru:

From: Irma

ID: Ketika Senja

Password: kukukakikirikakekkukakukakukenapakutahunlaludicipaku.

Kubuka lalu kumasukan ID dan password yang kuterima. Kumasuk ke halaman puisi dan kucari sebuah nama. Kini jariku lincah menulis di kolom komentar:

Aku Senja.. dan aku pernah menyukai senja. Meski kini telah kuabai pada setiap datangnya, tapi aku tak pernah lupa pada merah indahnya, atau hitam kelamnya. Ingin kuhentikan waktu di setiap sore, dan kulewati setiap senja dan malam-malamku, supaya hidupku hanyalah fajar dan siang. Tapi siapakah aku?

Aku tak bisa meloncati senjaku. Yang kubisa hanya menyembunyikan diri di balik bilik hatiku; lalu keluar ketika malam tiba. Aku tak pernah merindumu karena aku tak mengenalmu; tapi kisahmu adalah kisahku. Salam kenal, dari Senja dari belahan langit yang berbeda.

Kirim.

“Eh ada Senja, kirain gak ada orang di saung,” sebuah suara menyapaku.

“Bi..” Aku segera bangkit dan menyalaminya.

Bi Iyah menyambut tanganku, “Kayak dengan siapa aja, pake salaman segala.”




“Ar, istirahat dulu. Masa istrinya datang dicuekin,” aku berteriak tanpa memedulikan protes Bi Iyah. Dan sebuah cubitan mendarat di puhu lenganku.




Ardan mendekat, tidak ada saling sapa di antara mereka, tapi aku tahu mata mereka saling berbicara.




“Ini bibi bawa makan siang untuk kalian,” Bi Iyah memecah kesunyian.


“Halaaah.. bilang aja untuk Ardan, Bi, pake ‘kalian’ segala.”


“Hmmmfff… Sakit, nyet.” Aku protes kepada Ardan sambil memegang perutku, sementara Bi Iyah hanya tersipu sambil menyiapkan makanan di atas bale-bale. Nasi putih masih mengepul dibungkus daun pisang. Semerbak ikan tanjan bakar menggugah rasa lapar, ditambah aroma sambel terasi, dan lalapan segar.




Aku dan Ardan makan dengan lahap di bawah tatapan dan senyum bahagia Bi Iyah. Ada rasa iri yang menyeruak dalam hati melihat kemesraan sunyi di antara mereka.




Tak lama kemudian Sae datang, sambil menggenggam hape milik kami. Sepertinya ia sempat mengambilnya di dalam rumah Ega sebelum menghampiri saung.




“Makan, Sa.” Aku dan Ardan bersamaan.


“Hayu, Neng Sae, sekalian makan,” Bi Iyah menawari.


“Selamat makan… Makasih bi, aku sudah makan sebelum ke sini,” jawabnya.




Aku melanjutkan makan sambil menggeser dudukku, menjauh… ketika tiba-tiba Sae memilih duduk di sampingku. Kubuka obrolan tentang rencana tunangan dan perkawinan Bi Iyah dan Ardan. Ardan menyampaikan bahwa ia telah sepakat dengan kedua orangtuanya untuk melamar Bi Iyah tanggal 24 Rayagung, atau sembilan hari setelah peringatan 40 hari meninggalnya Mang Oyeh. Sedangkan pernikahan akan dilaksanakan setelah musim panen, itu berarti sekitar dua bulan lagi.




Obrolan kami terhenti sejenak ketika aku dan Ardan selesai makan. Aku dan Ardan beranjak mencuci tangan, sementara Bi Iyah dan Sae membereskan sisa dan bekas makanan dan membawanya ke dapur. Kini dapur rumah Ega sudah layaknya rumah kami sendiri.




Setelah kembali ke saung, kami menghisap rokok favorit kami dengan nikmat. Tak lama kemudian Bi Iyah dan Sae kembali, masing-masing membawa secangkir kopi untukku dan Ardan.




“Eh..” Spontan aku kaget dan menggeser dudukku ke pojokan ketika tiba-tiba Sae duduk dengan sedikit menempel ke tubuhku. Sae hanya diam sambil kembali memainkan hape.




Drrrt. Drrrt. Terasa hapeku bergetar di dalam kantong celana, tapi kuabaikan.




“Senja dan Sae, bibi mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian, termasuk Ega dan Jaka, yang begitu sangat mendukung kami.” Bi Iyah membuka kembali obrolan.


“Bibi awalnya takut.. takut menghadapi gunjingan warga, takut melukai perasaan dan nama baik Ardan beserta keluarganya.. hiks.. tapi karena ketegaran Ardan dan dukungan kalian semua.. hiks hiks.. bibi siap menghadapi semuanya.” Kemudian Bi Iyah tak bisa lagi menahan isaknya, sementara Ardan segera mematikan rokoknya dan memeluk tubuh Bi Iyah. Satu tangan melingkar di bahunya, dan satu lagi dipakai untuk mengelus perut Bi Iyah yang makin membesar.


“Bibi dan Ardan tidak tahu bagaimana membalasnya,” Bi Iyah melanjutkan di balik isak tangisnya. Wajahnya makin terbenam di dada Ardan. Aku tersenyum melihat kemesraan-haru mereka, mungkin kalau peristiwa di depan mataku ini terjadi sebelum kemarin lusa, aku akan sangat terharu dan iri dengan kisah cinta mereka. Tapi tidak kali ini.




Aku tidak menanggapi ucapan terima kasihnya. Sudah menjadi kewajibanku untuk mendukung mereka; bahkan aku akan melakukan hal yang sama ketika Ega dan Ratna, atau Jaka dan Sae, menikah kelak. Aku kembali membeberkan rencana dan persiapan yang akan kami lakukan demi menyambut hari bahagia mereka.




Dari sudut mataku, kulihat Sae sering memandangku ketika aku menyampaikan segala persiapan yang akan kami lakukan tentang perkawinan Ardan. Mungkin karena aku terlalu antusias, seolah sedang menyiapkan perkawinan keluargaku sendiri. Tapi bukankah semua sahabatku, termasuk juga Sae, sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri? Jadi tidak ada yang salah.




Sejak peristiwa sore itu, kini kami sudah mulai saling berbicara meski kadang terasa kaku; dan aku selalu menghindari ngobrol berdua. Aku harus menjaga perasaan Jaka.




Menjelang sore Ega dan Jaka datang; menyusul Ratna tak lama kemudian. Maka obrolan pun berlanjut dengan hal-hal detil yang akan kami lakukan. Kini Ardan sudah tak malu menunjukkan kemesraan di hadapan kami, dan Bi Iyah sudah tak terlihat risih lagi. Ratna pun kembali manja dengan Ega, sepertinya hubungan mereka tidak terganggu dengan peristiwa sore itu di dapur rumahku. Canda dan tawa kembali menjadi ciri saung dan markas kami, kecuali Sae yang masih sering banyak diam.




Berkali-kali hapeku terasa bergetar kembali, tapi kali ini cukup lama dan panjang. Yakin kalau itu adalah tanda panggilan telpon, segera kurogoh hapeku.




Yayang Kedua is calling…




Klik.




“Hallo..”


“…”


“Lagi ngumpul di saung.”


“…"


“Sudah.”


“…”


“Iyah.”


“…”


“Semuanya sudah ia siapkan.”


“…”


“Iya.”


“…”


“Dah.”




Klik.




Kuperhatikan layar hape dan kubukan notif yang menarik perhatianku. Pesan pertama diterima sejak sejam yang lalu, yang disusul pesan-pesan berikutnya.




From: Sawer Salawasna


Ja, aku ingin berbicara berdua.




From: Sawer Salawasna


Besok sore bisa ketemu di bubulak?




From: Sawer Salawasna


Ja, buka donk hapenya.




From: Sawer Salawasna


Ja, aku mohon kamu jawab sebelum yang lain datang.




Dan masih banyak lagi pesan dari sumber yang sama. Aku tahu ini dari siapa, karena hape sedang dipegang dia. Tanpa mengalihkan diri dari obrolan, kutulis sebuah balasan.




To: Sawer Salawasna


Aku hanya mau kalau bertiga dengan Jaka.




From: Sawer Salawasna


Tidak. Aku hanya ingin berbicara berdua.




To: Sawer Salawasna


Ok. Aku bersedia tapi tidak di bubulak. Dan ada syaratnya. Pertama harus seijin Jaka. Aku gak mau ada keributan karena salah paham di antara kalian. Kedua, aku hanya mau di saung kopi kebunku besok, jam empat sore.




From: Sawer Salawasna


Makasih.




Kisah cinta kami dimulai di saung kopi milik keluargaku pagi itu, dan aku harus mengakhirinya di saung yang sama pada sore hari besok nanti. Kuraih hape dari tangan Sae, lalu kuhapus pesan WA kami berdua.

Posting Komentar

0 Komentar