XXV. IKHLAS TANPAMU (Part 1)
Marah? Ya.
Cemburu? Pasti.
Sakit hati? Sudah tentu.
Merasa terkhianati? Yo’i.
Kecewa?
“ANJING!!!!”
Aku memaki dalam hati.
Tak ada air mata.
Tak perlu bermuram durja.
Tak perlu lagi memaki.
Tak perlu berteriak marah.
Tak perlu melayangkan tampar.
Tak perlu mengayunkan tinju.
Tiba-tiba tubuhku menjadi kaku.
Hatiku menjadi dangkal.
Rasaku hambar.
Cintaku beku.
Sayangku sirna.
Mimpi dan harapku terbang.
Aku
SENJA
Bersumpah:
AKU TAK PERCAYA LAGI CINTA.
Cukup! Semuanya sudah cukup! Aku tak perlu marah kepada dua manusia di saung sana, sumpahku kepada semesta sudah mewakili semua rasa dan adaku saat ini. Biarkan aku berjalan di sisa umurku; ijinkan aku menjalankan wasiat kakek; perkenankan aku membangun Sawer ini. Semua akan kulakukan dengan ragaku, tak perlu lagi cinta yang menyukma di dalamnya.
Kukepalkan tanganku.
Kutelan geramku.
Kurekatkan gigiku.
Kurapatkan hatiku.
Kucibirkan bibirku.
Kututup nadi cintaku
Kukejangkan urat muka.
Kukibaskan semua rasaku.
FIUUUUUUH. SENJA KAMU BISA!
Kubuang semua gejolak di balik dadaku dengan nafas yang begitu panjang; paru-paruku terasa kosong menuntut oksigen, perutku mengempis bersama semua rasa yang telah kutepis.
Aku telah berbuat lebih dari Sae di belakangnya, aku tak punya hak mengekangnya. Semua sudah berakhir. Yang kumiliki kini hanya sebuah senyuman, senyum tanpa sukma karena aku sudah tak ingin lagi memilikinya. Biarlah tubuhku menjadi tanda adaku, tapi bukan simbol dari hadirnya hati dan jiwa di balik dadaku.
“Ehem…”
Aku melangkah mendekati saung. Aku tak peduli dengan peranjat kaget tubuh mereka, wajah panik mereka, kaku dan tegang ekpresi mereka.
“Hai Sa… Woi nyet… Yang lain belum datang?”
Kutaruh plastik oleh-oleh di atas bale-bale. Kuulurkan tanganku untuk menyalami Sae, yang hanya disambut kaku dengan wajah takutnya. Kutinju dada Jaka tanpa peduli sikap memelasnya. Kedua bajingan ini tak bersuara, peduli setan.
“Bentar ya, aku bikin kopi dulu.” Aku ngeloyor ke dalam dapur rumah Ega dan kuseduh kopi hitam kental kesukaanku. Tak perlu Sae atau Ratna untuk membuatnya, aku bisa sendiri melakukannya. Aku punya tubuh dan indera ini, aku tak butuh siapapun
Kudengar Sae menghambur masuk dan mengambil air di dalam gentong. Tanpa menyapaku ia bergegas keluar dan mencuci muka. Aku kembali ke saung dengan tenang melewati Sae yang sedang menggosok wajahnya.
"Kamu kenapaa, sa?" Tak ada jawaban. Ya sudah. Aku melangkah ke saung sambil menyuruput kopiku. Sialan kau, Sa. Bermesraan dengan Jaka sambil mengenakan selendang pemberianku.
Jaka masih terduduk kaku, mulutnya tiba-tiba seperti gagu.
“Woooiiii… bengong aja, nyet.” Aku menggeplak kepalanya membuat Jaka terperanjat.
Drrrt. Drrtt. Drrrttt. Hape di kantong celanaku bergetar berkali-kali. Wow... disini bisa mengkap sinyal rupanya.
Kukeluarkan DJ-ku dan kuhisap dalam-dalam. Tak lama kemudian Sae kembali muncul dengan muka menunduk.
“Udah kalian tenang saja, aku gak akan marah.” Aku mencoba menenangkan mereka dan mencairkan suasana. Aku tak perlu emosi, karena semua rasaku telah mati. Ketika hati terlampau luka dan sakit, maka tak ada lagi tangis sedih dan luapan marah. Semuanya sudah membeku.
“Kamu datang kemarin atau pagi ini?” Jaka berusaha mengontrol diri.
“Kemarin sore. Maunya langsung tidur, tapi si kampret Ega dan Ardan malah datang dan begadang sampai tengah malam. Makanya masih ngantuk banget nih.”
Kami berbasa-basi-kaku sebentar.
“Ardan ke mana?” Tanyaku.
“Gak tau.. tadi kami ke sini sudah tidak ada. Mungkin lagi nyabit rumput,” Jaka menjawab. Ia masih salah tingkah.
“Ni saung memang sepi terus ya. Gak ada lagi warga yang ngumpul?”
“Ya ada. Cuma sudah dua hari ini mereka mulai sibuk di sawah masing-masing.”
“Oooh.” Singkatku.
Aku menarik nafas panjang dan berdehem.
“Sae.. Jaka.. kita sudah sama-sama dewasa, dan tadi aku sudah melihat apa yang kalian berdua lakukan. Kita bicarakan baik-baik. Sekarang silakan kalian cerita.” Aku bersandar di tiang saung sambil menyelonjorkan kaki.
“…” Tak ada jawaban.
“Ka?” Dia diam.
“Sa?” Hanya menunduk sambil meremas kedua telapak tangannya.
Ngomong anjing! Laki-laki harus punya nyali dan berani bertanggung jawab. Kalau sayang bilang sayang, kalau tidak bilang tidak. Aku memaki Jaka, tapi hanya dalam hati.
“Baiklah.. kalau kalian tidak mau cerita aku tak keberatan. Hanya tolong jawab pertanyaanku dengan jujur…” Aku menarik nafas panjang sambil menatap mereka bergantian.
“Jaka, kamu menyayangi Sae?”
“…”
“Jawaaab!!!” Aku mulai tidak sabar.
“I… iya, Ja. Ma.. maa…”
“Cukup!! Aku hanya ingin tahu perasaanmu ke Sae.”
“Kalau kamu, Sa?”
“…” Juga diam. Airmatanya meleleh dan badannya teguncang.
“Sa, aku tak keberatan kalau selama ini kamu mendiamkan aku, walau aku sendiri tak tahu alasannya. Tapi aku mohon untuk yang satu ini kamu jawab dengan jujur.”
“…”
“Sa, kamu menyayangi Jaka?” Aku menatapnya tajam.
Sae hanya mengangguk dan tangisnya pecah.
Aku menarik nafas panjang.
Cukup bagiku, semuanya sudah jelas.
“Tolong kamu jaga Sae baik-baik, Ka. Jangan pernah kamu mengecewakan dan menyia-nyiakan dia.” Aku menatap Jaka dan hanya dijawab dengan tatapan kakunya.
“Sa, terima kasih atas kesempatan yang pernah kauberikan padaku. Tolong cintai Jaka apa adanya.” Aku menatap Sae. Namun ia hanya mengeraskan tangisannya.
“Apa kalian terganggu dengan kehadiranku? Kalau merasa terganggu aku akan pergi, sampai yang lain datang.”
Tak ada jawaban. Ya sudahlah…
Kukeluarkan hapeku, ternyata benar di sini ada sinyal. Grup WA “Kopi Sawaka” sudah penuh dengan pesan. Ada juga pesan SMS dan WA dari Sore dengan isi yang sama. Beberapa misscall dari bu haji juga tertera di layar. Aku melirik Jaka dengan sudut mataku, dan merasa geli sendiri. Kalau dalam keadaan normal pasti ia sudah heboh melihatku memiliki hape. Kukirim pesan singkat ke grup yang memberitahukan bahwa di sini susah sinyal.
“Aku masuk dulu.” Untuk pertama kalinya aku mendengar suara Sae di sela tangisnya. Tanpa menunggu jawaban dari kami, Sae bergegas ke dalam rumah.
Aku asik dengan hapeku dan kutulis pesan di grup:
To: Kopi Sawaka
Aku memutuskan untuk mempercepat keberangkatanku ke Bandung, dan berharap bisa berangkat bersama kalian setelah perkawinan Ardan. Mohon Ilham membantuku untuk mencarikan kosan.
Tak perlu menunggu lama, balasan bermunculan. Semuanya bernada heran dan berisi pertanyaan. Tapi hanya kubalas singkat:
To: Kopi Sawaka
Nanti aku jelaskan.
Tak lama kemudian muncul panggilan di layar:
Yayang Kedua is calling…
Klik. Ku- reject
Yayang Kedua is calling…
Klik. Ku-reject
Yayang Kedua is calling…
Klik. Ku-reject
Tiga kali kutolak panggilannya, segera kutulis pesan.
To: Yayang Kedua
Nanti kujelaskan.
From: Yayang Kedua
Kamu kenapa, sayang?
To: Yayang Kedua
Nanti saja. Ritual sesuai rencana.
Yayang Kedua is calling… Klik. Ku- reject
kembali.
Sore is calling…
Klik. Ku- reject
Mae is calling…
Klik. Ku- reject
Ilham is calling…
Klik. Juga ku-reject
“Ja..” akhirnya Jaka bersuara.
Hmmm…”
“Aku.. aku.. minta maaf.. aku..”
“Sudahlah, Ka. Gak usah minta maaf. Kuharap kamu bisa menjaga Sae. Kalau tidak, mungkin saat itulah aku tak akan bisa memaafkanmu.”
Sore is calling…
Klik. Ku-reject
juga panggilan keduanya ini.
Sementara grup semakin ramai, tapi aku hanya membacanya tanpa kubalas. Kuseruput kopiku tanpa mengalihkan pandangan dari layar hapeku. Untunglah ‘krik krik moment’ ini segera berlalu dengan kedatangan Ratna sehingga aku jadi punya teman mengobrol. Aku pun berbasa-basi sebentar sambil saling menanya kabar. Sementara Jaka sudah mulai santai kembali walau masih banyak diam dan tak ada lagi sikap tengilnya.
“Teh Sae belum datang?” Ratna bertanya. Sambil merapatkan duduknya ke tubuhku untuk melihat hape yang sedang kumainkan.
“Uda. Ada di dalam, kamu temani gih.” Aku menyuruhnya. Risih juga melihat sikapnya yang mepet-mepet begini.
“Ya udah, aku temui Teh Sae dulu ya.”
“Hmmm..” Tanpa mengalihkan pandanganku kepadanya.
“Hallo onyet-onyet.” Suara renyah Ardan menyapa kami. Wajahnya berkeringat dan bunga-bunga ilalang menempel di bajunya pertanda ia baru pulang menyabit rumput.
“Wooiii…” Singkatku.
Ardan tiba-tiba heboh duduk di sebelahku dan merebut hape yang sedang kumainkan.
“Ini punyaku.. tuh kamu pake yang satunya,” protesku. Tapi Ardan tidak peduli. Kehadirannya membuat suasana cair dan ramai. Tak lama kemudian Ega juga datang. Fokus mereka lebih pada hape, sehingga tidak menyadari adanya kejanggalan antara aku dan Jaka.
Mataku melotot, memberi kode ke Jaka supaya tidak kaku dan bersikap seperti biasa. Jaka nampak mengerti dan mulai sibuk memainkan hape bersama Ega dan Ardan. Sikap kikuknya masih terlihat, tapi setidaknya ia tidak membuat suasana saung menjadi kaku.
Tak lama kemudian Ratna keluar rumah sambil membawa tiga gelas kopi untuk ketiga sahabatku, Sae menyusul di belakangnya. Matanya nampak bengkak dan rambutnya kusut. Segera kupindahkan plastik oleh-oleh ke samping kiriku begitu tahu Ratna mau duduk di sampingku. Tubuh kami menjadi berjarak, terhalang plastik yang kutempatkan. Sementara Sae duduk di tepi bale-bale memunggungi kami semua.
“Udah.. udah.. siniin hapeku. Kalian pake yang satunya aja, itu milik bersama.” Aku merebut hapeku dari tangan Jaka. Kukirim pesan ke Ilham:
To: Ilham
Sekarang telpon ke hape Nukieu. Tapi ingat jangan pernah menyinggung tentang rencanaku. Aku sendiri yang akan menjelaskannya kepada mereka dan kepada kalian nanti.
Tiba-tiba hape yang sedang Ardan mainkan berdering, membuatnya melonjak kaget dan hape di tangannya terlempar.
“Hahaha… dasar kampungan,” aku tergelak.
Klik. Kutekan tombol 'accept' dan ku-load speaker. Makian dan cercaan segera terdengar antara Ilham dan ketiga sahabatku. Suasana jadi riuh. Sae mulai lebih cair dan ikut mendengarkan obrolan kami. Sekali-kali ia bersuara untuk sekedar menyapa Ilham dan menjawab pertanyaannya. Untung Ilham tidak menyinggung sedikitpun tentang hubungan kami, ia lebih sibuk ngobrol dengan Ega, Jaka dan Ardan. Aku hanya sekali-kali saja menyahut.
Obrolan kemudian mengarah ke Ardan. Ilham menanyakan perihal rencana perkawinannya dan memberi kabar kalau ia akan datang bersama Raka, Mae, Irma, dan Sore. Kabar baik ini tentu saja membuat suasana makin heboh. Tapi aku lebih banyak diam sambil memainkan hapeku sendiri dan berbalas pesan dengan bu haji dan Sore.
Hampir sejam Ilham menelpon. Sebetulnya ia sudah beberapa kali mau menutup telpon sejak setengah jam lalu, tapi selalu urung karena Ega dan Ardan sangat antusias bercerita dan juga kepo tentang hubungannya dengan Irma. Suasana gembira melingkupi saung, Ega dan Ardan tak menyadari ada yang hambar di antara aku, Jaka dan Sae. Sementara Ratna yang mungkin sudah tahu dari Sae di dalam rumah tadi, kini lebih banyak menjaga sikap.
“Potongin, Sa.” Aku menyodorkan brownies kukus kepada Sae. Ia hanya mengangguk sambil menerimanya, lalu memotong-motongnya pakai pisau. Kami pun larut dalam cerita sambil menikmati kopi pahit dan brownies yang kubawa. Kali ini aku yang menjadi pusat karena aku dicecar berbagai pertanyaan tentang perjalananku ke Bandung. Meski Ega dan Ardan sudah banyak mendengar, aku menceritakan kembali kisah perjalanan tiga hariku.
Tak lupa aku pun membagikan oleh-oleh yang kubawa.
Kaos bola untuk Jaka.
Kemeja untuk Ega.
Kaos couple pesanan Ratna.
MP3 Player untuk Sae; yang sebelumnya sudah diisi lagu-lagu oleh Irma.
Dan…
Cincin untuk Ardan.
Sambil menyerahkan cincin aku menjelaskan bahwa kedua orangtua Ardan telah setuju dan merestui perkawinan mereka. Tak kujelaskan prosesnya, karena aku memberi pengertian kepada kedua orangtua Ardan atas bantuan Sawaka sehingga aku bisa membaca pikiran mereka.
Ardan yang sejak tadi paling heboh kini menjadi diam. Matanya berkaca-kaca.
“Udah mau jadi ayah tapi masih tetap cengeng,” ledekku. Tapi Ardan hanya diam.
“Seperti yang sudah kubilang, biaya pembelian cincin semuanya pake uang kas,” lanjutku dan semua mengangguk setuju. Ardan sudah tidak bisa ngomong lagi, tampak ia berusaha mengendalikan diri dari rasa harunya.
Dan yang paling penting… Aku diam sejenak supaya semua mendengarkan lebih serius. Kuundang Sae untuk duduk melingkar dan saling berhadapan. Lalu aku menjelaskan semua rencana usaha kopi yang telah kususun bersama Raka dengan melibatkan bu haji, Mae, Irma dan Sore. Kujelaskan sedetail mungkin dan kutegaskan kembali peran masing-masing seperti yang pernah kusampaikan pada waktu aku marah tempo hari sebelum pergumulanku dengan Sawaka. Kini aku berbicara sebagai Senja yang berbeda, yang tegas tak bisa dibantah. Meski begitu semua nampak setuju dan menarik nafas lega.
“Ja, kamu sendiri kok…”
“Aku belum selesai,” kupotong Ega yang hendak bertanya; sehingga membuatnya diam dan urung melanjutkan pertanyaannya.
“Setelah pernikahan Ardan, aku akan merantau ke Bandung.”
“Yank…?” Spontan Sae mengucapkan kata yang pernah selalu kurindukan. Entah apa maksudnya. Yang jelas ia nampak kaget dan segera menutup mulutnya. Mukanya pucat.
Ega, Ratna dan Jaka tak kalah terkejut. Jaka menundukkan wajahnya, Ega dan Ratna hanya saling pandang. Sementara Ardan hanya bisa melongo menatapku. Aku lebih fokus pada semua rencanaku, daripada ekspresi mereka.
“Jadi kalian harus menjadi tulang punggung dalam menjalankan usaha kita di kampung,” lanjutku. “Sementara aku yang akan membantu menjalankannya di Bandung sambil mencari kakakku. Jangan tanya kapan aku pulang. Tapi…”
Aku menarik nafas sebentar.
“Kalau Ega dan Ratna menikah, atau Jaka dan Sae, aku pasti akan datang.” Aku menatap mereka bergantian. Semua diam dan menunduk. Sae mengusap airmata dengan selendang pemberianku.
“Sekarang kita sudah ada hape, jadi kita bisa berkomunikasi kapanpun. Ingat kita adalah tim dan sahabat sejak kecil, jadi kalau ada apa-apa jangan ada yang disembunyikan.”
“Ja, aku memang pernah memintamu untuk pergi, bukan hanya aku, tapi yang lain juga mengharapkanmu pergi mencari kakakmu. Itu semua demi kebaikanmu. Tapi mengapa harus secepat ini dan sangat mendadak?” Ega nampaknya sudah tak bisa menguasai diri lagi. Nadanya cukup tinggi.
“Aku ngerti, Ga. Tapi aku tak mau menjadi batu sandungan buat Sawer dan hubungan kalian.” Jaka menunduk karena merasa tersindir, sementara Sae membuang muka untuk menyembunyikan tangisnya.
“Maka aku sudah memutuskan untuk segera pergi. Lagipula aku tidak tahu mau sampai kapan dan harus ke mana aku mencari kakakku. Belum tentu juga ia ada di Bandung.”
“Anjing!!!”
Ardan tiba-tiba memaki. Tapi lain ucap - lain tindak. Ia segera menubruk dan memelukku. Tubuhnya bergetar menahan isak. Aku kini hanya fokus ke Ardan tanpa memperhatikan yang lain.
“Maafkan aku, Ar.” Aku mencoba menenangkannya dengan tegar.
“Ini semua demi kebaikan kita. Kamu jaga sahabat-sahabat kita, usaha kita, dan yang penting lagi jaga istri dan anakmu nantinya.” Ardan meledak.
Tubuhku didorong hingga terhempas. Caci dan maki mengalir dari mulutnya bersama air mata yang tak bisa lagi ia bendung. Seketika semua menjadi haru, dan aku baru sadar kalau Sae sudah tidak ada lagi di antara kami.
Setelah Ardan mulai tenang, aku menatap Ega. “Ga, semua mimpiku aku titipkan kepadamu. Jaga semua yang sudah kita mulai ini, dan jadilah sesepuh untuk kelompok kita, meski usiamu masih muda. Nanti aku pasti akan banyak menghubungimu.”
“Dan kamu, Rat, temani Ega. Jangan pernah mengecewakannya, dampingi Ega dalam menjalan semua usaha kita.” Aku menatap Ratna yang terisak.
“Jaka..” Aku memandang tubuh kaku dan salah tingkahnya. “Tua itu pasti, tapi dewasa adalah pilihan. Semoga sepeninggalanku kamu makin dewasa dan bertanggungjawab. Jangan ada lagi yang dikecewakan.” Jaka hanya mengangguk, sementara yang lain nampak terkejut tapi kuabaikan.
Mungkin aku jahat juga ya. Kegembiaraan yang tadi kami rayakan, kini berubah sendu dengan rencana dan pesan-pesanku. Tapi aku harus menyampaikannya, meski harus kuakui jika keputusan ini sangat mendadak kubuat; bahkan kedua orangtuaku belum kuberitahu.
“Sudahlah gak usah sedih begini. Lagian masih banyak waktu. Yang penting sekarang kita menyiapkan perkawinan Ardan.” Aku mencoba menetralkan suasana.
Minus Sae, akhirnya kami membahas persiapan lamaran dan perkawinan Ardan. Suasana tetap sendu, tapi kami sama-sama sepakat untuk membahas apa yang sudah di depan mata. Bagi-bagi tugas kami lakukan, dan semua keperluan kami daftar. Khusus pembicaraan anggaran kami tunda karena Sae tidak mau keluar dari dalam rumah Ega.
Kami terus bercengkrama hingga senja. Ratna sampai membuatkan kopi cangkir kedua, sementara Sae entah kenapa, ia hanya berdiam dan tak mau keluar. Kuberi kode kepada Jaka supaya menemuinya, tapi ia enggan dengan pura-pura bengong.
Jam enam kami bubar. Ega mengantar Ratna pulang. Ardan masih enggan pergi, tapi kupaksa untuk mandi dan menemui calon istrinya, menyampaikan kabar baik pernikahan mereka nanti. Jaka kusuruh minggat untuk menemui Sae yang nampaknya belum ada tanda-tanda mau keluar dan pulang. Aku? Aku masih ingin menyendiri sambil menghabiskan kopi.
Kukeluarkan hapeku, dan kutekan ‘Yayang Kedua.’ “Hallo,” jawabnya di sana. Kami saling berbicara cukup lama, terutama untuk membahas ritual lima hari ke depan; saat purnama membulat sempurna. Ada ciuman sayang di akhir obrolan dari ujung sana, tapi hanya kujawab dengan sepatah kata: terima kasih. Klik. Panggilan kumatikan.
Aku beranjak untuk pulang. Kumasukkan kedua tangan di kantong celana.
Deg. Kalung ini... kubulatkan tekat untuk tidak memberikannya. Kuraih dan.. kubuang ke jarian (tempat pembuangan sampah). Aku melangkah menyusuri temaram menuju rumah Bu Rohmah.
Kupeluk tubuhnya yang mematung di balik pintu. Tanpa kata, tiada air mata. Tanpa tawa, namun juga tanpa senyum gembira. Kasih keibuannya membalas pelukku dalam diam. Tangannya mengelus rambut dan punggungku bergantian. Sepuluh menit kami saling memeluk-bisu, sampai akhirnya aku merasa sangat tenang.
Kuberikan kain batik dan daster pembelianku untuknya; juga sekotak brownies untuk menemani kopi dalam kesendiriannya. Aku selalu mengingat jasanya, mengenang wajah keibuannya, menyimpan semua kenangan bersamanya. Kini, ia juga adalah ibuku.
Kurebahkan kepalaku di pangkuannya, dan kubaringkan tubuh lelah ini di atas bale-bale rumahnya. Mulutku bercerita tentang semua perjumpaan dan perjalananku dengan bu haji. Ada senyum bahagia di balik keterkejutannya. Tak lupa aku juga menyampaikan rencana ritual sebagai tujuan utama kedatanganku malam ini. Ia mengerti. Ia tahu apa yang harus ia siapkan. Tiba-tiba matanya berkaca dan air mata mengalir di pipinya. Tangis bahagia kini terpampang di balik wajahnya.
Kubangkit dan kupeluk kembali tubuh yang pernah menjadi milikku ini. Kukabarkan perasaan syukur dan terima kasihku. Semalaman kami berpelukan dalam lelap di ruang tengah rumahnya.
0 Komentar