PERTARUNGAN SUNYI
Seminggu sudah berlalu sejak aku melepaskan dendamku. Seluruh warga desa dan semua warga kampung gempar karena peristiwa terbakarnya gudang toko Pak Ikin. Namun tak tersiar sedikit pun kabar bahwa ada korban. Pak Ikin sepertinya tidak berani melapor kepada siapapun tentang kejadian yang sebenarnya; sehingga warga menganggap peristiwa kebakaran itu sebagai kecelakaan biasa. Ia rupanya lebih memilih mengamankan dan merawat kelima suruhannya di tempat tersembunyi.
Sudah seminggu ini pula Pak RT, Bu Inah dan Ratna tinggal di desa untuk menemani keluarga Pak Ikin dan membantu membereskan gudang yang hangus terbakar. Sejak pertemuan terakhir di hari kesembuhanku, aku belum pernah bertemu Ratna sekali pun. Aku terlalu muak untuk melihat wajahnya dan mendengar kebohongannya.
Aku tak menceritakan aksi balas dendamku kepada siapapun, meski aku merasa Ega sering menyelidikku. Kini lukaku sudah mengering, walau masih terasa sangat nyeri. Beruntung jilatan Sawaka segera mengeringkannya dan menghentikan pendarahan waktu itu.
Sawaka kini selalu berjaga di perbatasan kampung supaya siapapun yang punya niat jahat tidak dapat memasuki Sawer. Tentu saja Sawaka tunduk kepadaku; ia tidak akan melukai siapa pun tanpa perintah. Ia hanya akan membuat para penjahat tak sanggup memasuki Sawer karena kelelahan; tak sanggup melanjutkan perjalanan; atau membuat mereka tertidur seperti yang terjadi pada Bara dan kawan-kawannya.
Sae? Ia tidak mau menemuiku lagi. Beberapa kali aku ke rumahnya, tapi Sae tetap tidak mau keluar kamar. Bu Euis hanya bisa menenangkanku dan meminta pengertian. Ketiga sahabatku juga sudah tahu kalau hubungan kami sedang tidak baik, meski tak ada yang kuberi tahu penyebabnya. Kusembunyikan semua sakit hatiku, dengan berusaha bersikap wajar.
Sore ini aku melangkah menuju markas. Kami sepakat untuk berkumpul dan membicarakan rencana-rencana baru. Aku meminta Ega untuk merayu Sae datang, dan aku mendapat kabar kalau ia menyanggupi. Kutarik dan kuhembuskan nafasku beberapa kali, kini aku menuju markas bukan dengan hati yang riang seperti biasanya, sebaliknya penuh beban. Kehadiran Sae membuatku tegang.
Deg. Deg. Deghhh.
“Kampreeet,” makiku dalam hati.
Di atas bale-bale saung nampak Sae dan Jaka sedang berpelukan erat. Kedua sahabatku yang lain masih belum muncul. Nafasku deras menahan marah dan cemburu. Kulihat Jaka mencium kening Sae, lalu kembali berpelukan. Amarahku bergejolak tapi kucoba redam. Sabar, Ja, sabar. Mungkin Sae sedang curhat tentang hubungannya denganku kepada Jaka dan ia sedang menumpahkan kesedihannya. Aku hanya bisa mengelus dada dan menghibur diri sendiri. Kalau kamu melihatku yang begitu, kamu pasti murka, Sa.
“Ehem,” aku mendekat sambil berdehem. Jaka dan Sae tampak sangat terkejut; pelukan mereka terlepas. Kepanikan bersemburat di wajah mereka.
“Hai Sae.. wooi ‘nyet…” Sapaku sambil tersenyum datar.
“Ega dan Ardan belum datang?” Aku naik dan duduk santai di pojok bale-bale. Di pojok ini kamu biasanya bersandar di dadaku, Sa.
“Eh.. oh.. iyah… belum… belum, Ja.” Jaka tergagap, sementara Sae hanya menunduk diam. Wajahnya kembali dingin. Kuseruput kopi milik Jaka, dan kukeluarkan DJ-ku lalu kuhisap. Sekuat hati aku menjaga sikap setenang mungkin. Untunglah tak lama kemudian, Ega dan Ardan datang dengan karung kopi di pundak mereka. Kehadiran mereka membuat suasana sedikit cair.
Mereka mendatangi kami. “Halo kawanan ‘onyet-‘onyet.” Ardan menyapa kami riang. Buuuuk. Ia meninju bahuku seperti biasanya, sebagai tanda keakraban..
“Wadaaaaaw,” aku teriak dan memegang bahuku.
“Kampreeet.” Aku memaki Ardan yang melotot bingung. Bukan hanya dia yang bingung, yang lain juga. Dari sudut mataku, aku melihat Sae sangat terkejut dan menyembunyikan sesuatu.
“Kenapa, nyet?” Ega heran.
“Ah.. uh… nggak. Gak kenapa-napa. Kaget aja.” Aku memberi alasan yang tak masuk akal.
“Kamu kenapa, Ar, tumben hari ini cerah banget?” Aku mengalihkan pembicaraan. Kami sudah duduk melingkar. Sementara Sae beranjak untuk menyeduh kopi.
“Bi Iyah, Ja. Bi Iyah sudah mulai tenang dan mulai bisa menerima kenyataan; ia sudah mau keluar kamar.” Ardan sumringah.
“Bagus kalau begitu, kamu temani saja Bi Iyah sampai ia ikhlas. Kedua orangtuamu percayakan saja padaku.” Tegasku. Ardan hanya mengangguk.
Tak lama kemudian Sae datang kembali. Ia masih tetap diam. Lalu duduk di seberangku. Sejenak aku lupa pada sakit pada pangkal lenganku, terganti sakit di hati. Kuseruput kopi buatannya. Masih sama, Sa. Kamu masih tahu selera kopiku. Takarannya sangat pas.
“Kita langsung saja, aku masih ada keperluan setelah ini.” Aku langsung memulai obrolan. Mukaku serius dan datar. Tidak seperti biasanya, aku tidak memberi kesempatan kepada sahabat-sahabatku untuk bercanda-tawa, aku langsung mengendalikan suasana dan menyampaikan ‘perintah.’ Ya perintah; kali ini aku langsung memberi keputusan tanpa memberi kesempatan untuk diskusi atau saling sanggah-menyanggah.
“Pertama, minggu ini Ega dan Ardan harus ke desa untuk membicarakan kembali kerjasama kita dengan Pak Ikin, mengingat gudangnya baru kebakaran. Pastikan apakah kerjasama kita masih dilanjutkan atau tidak. Sekalian, kalian bawa kopi ke pak haji.”
“Kedua, selama aku di Bandung seluruh usaha kita berada di bawah kendali Ega dan Sae.” Aku menarik nafas sejenak. “Aku kira, setelah aku kembali pun sebaiknya tetap begitu. Ega dan Sae menjadi pemegang kendali utama. Biar kami bertiga yang menjadi pelaksana sekaligus penggembira. Hahaha…” Aku mencoba bercanda.
“Ja..” Ega memotongku.
“Ketiga…” Aku tidak memberi kesempatan kepada Ega. “Kita semua sudah tahu rencana Ardan. Jaga semuanya ini jangan sampai jadi gosip warga sebelum saatnya tiba. Biarkan Ardan melakukan pendekatan dulu ke Bi Iyah. Kalau ada yang menentang, siapapun, bilang padaku. Jangan ada yang disembunyikan.”
“Aku akan menemui kedua orangtua Ardan sepulang dari Bandung.” Lanjutku.
“Dan nanti kalau semua rencana sudah berjalan lancar, kita semua yang harus menyiapkan perkawinan mereka. Ega yang berkoordinasi dengan Pak RT dan sesepuh kampung. Juga mengkoordinasi bapak-bapak untuk segala keperluan panggung dan lain-lain. Sae yang mengurus segala keperluan pengantin dan mengkoordinasi ibu-ibu untuk urusan dapur. Jaka yang mengurus logistik dan belanja ke pasar. Jangan lupa menyiapkan kayu bakar untuk dapur umum. Aku yang mengurus undangan, sekaligus pembantu umum untuk kalian.” Aku berbicara panjang lebar dengan tegas; tak kuhiraukan Ardan yang nampak terharu.
“Sudah begitu saja.” Aku mengakhiri. Ketiga sahabatku hanya melongo; sementara Sae menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Kuteguk kopiku sampai habis, dan beranjak keluar saung. “Udah dulu. Sampai ketemu besok; besok habis ngarit kita nongkrong lagi di sini.” Tak kutunggu jawaban mereka. Sekilas aku melihat Ardan menyusulku, tapi kupercepat langkahku. Tanpa sepengetahuan mereka, mataku berkaca menahan luka dan sakit hati. Kucium gelang pemberian Sae, sambil bergegas ke arah bubulak.
https://t.me/cerita_dewasaa
“Anjiiing…” Jaka memaki sambil meninju lantai bale-bale. Ardan sudah kembali duduk setelah gagal mengejar Senja. Tatapannya kosong dan gamang. Ega menerawang melihat langit-langit saung. Sementara Sae terguncang; tangisnya pecah.
https://t.me/cerita_dewasaa
Di waktu yang sama. Seorang wanita berusia 41 tahun bernama Wening sedang memuaskan dirinya sendiri.
POV Bu Wening:
(new comer)
“Mmmmhh…” Aku melenguh pendek sambil meremas kedua susuku. Tubuhku sudah telanjang di bawah pancuran bambu di pinggir lebak. Sudah sebulan ini nafsuku selalu meledak-ledak. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena puber kedua? Entahlah. Setiap malam aku selalu mengayuh nikmat di saung sawah dengan suamiku. Tapi sudah tiga hari ini ia pergi ke Ewer karena ada panggilan untuk membuat kusen dan pintu.
Aku harus menuntaskan nafsuku sebelum kembali ke saung, karena malam ini aku akan ditemani anakku. Malam ini aku tak mungkin bisa ngocok memek di saung. Kuremas dan kuangkat kedua susu besarku. Ujung putingnya kutempatkan di bawah kucuran pancuran. Geli-geli nikmat. Aku mendesah-desah sambil menggoyang-goyangkan paha dan pinggulku untuk membuat gesekan di memekku. Aku tengadah sambil menikmati sensasi di seluruh tubuhku.
“Aaah… ah… ayo pak. Masukin sekarang, pak. Wening sudah tidak tahan.. mmmmh…” Aku meracau sambil membayangkan kontol suamiku.
Aku sudah tak kuat lagi. Dengan tangan kiri tetap meremas-remas susuku, tangan kanan mulai turun ke bawah mengusap-usap perut dan pusarku.
“Mmmmh… ssshhhh…. uuuh….” Kuusap-usap jembut memekku. Lalu jari-jariku turun lagi mengusap bibir memek sambil menyenggol-nyenggol itilku. Aku semakin mendesah menikmati sentuhan-sentuhan jariku, aku berfantasi bahwa suamiku sendiri yang sedang menjilati dan mengobelnya.
Aku menunduk sambil membuka pahaku lebar-lebar. Kubelah bibir memekku lalu kutempatkan di bawah air pancuran. “Uuuuuh.. aaaah.. aaahhhh.. uuh.. kontol…” Memekku sangat geli.
Segera kukobel bibir memekku dan kucolek-colek kembali itilnya. Cleeeep. Jari tengahku mencucuk lubangku yang sudah sangat licin; menyusup menerobos lubang memekku yang berkedutan. “Aaaah….” Aku membayangkan kontol besar yang sedang menyodok-nyodok. Bayangan suamiku hilang karena kemudian kubayangkan kontol pemuda-pemuda kampung. Aku merasakan sensasi fantasiku sendiri ketika para pejantan muda sedang menggenjot kontol mereka di memekku.
Kumainkan jariku di dalam memek, kuputar-putar sehingga menyentuh dinding-dinding bagian dalam memekku; sambil membayangkan kontol mereka. Kugaruk-garuk lembut, lalu kukocok-kocok dengan tempo yang semakin cepat. Ibu jariku menggelitik itilku yang terasa membengkak. Rasanya makin nikmat, tidak kalah dengan nikmatnya sodokan kontol.
"Uuuuh... aaaaah....ooohhh...sssshhhh..."
Membayangkan para pemuda kampung, membuatku ingat anakku sendiri. Entah kenapa nafsuku makin tinggi ketika membayangkan kontolnya. Kumasukan juga telunjukku. Kini dua jari mencolok-colok dengan cepat, kugaruk-garuk dinding-dinding kenyal entotanku. Kucengkram jariku dengan empotan memekku. “Aaaah…” Tubuhku makin kelejotan.
Sambil membayangkan kontol anakku kupercepat semua gerakkanku sambil meracau menyebut namanya. “Aaaah… oh… terus genjot, nak. Ibu hampir sampai…” Terasa ada yang mendesak di dalam, sangat gatal dan geli. “Kontool aaaaah….” Seeer… seeeer… cruuuut… Aku bucat. Pantatku terhempas di atas batu ceper sambil menyemburkan orgasmeku.
Tubuhku terasa lemas, kusangga tubuhku dengan tangan mencengkram batu kecil di belakangku. Cur.. Cuuur… Cuuuuuurrrr… Air pancuran jatuh di atas memek dan selangkanganku. Membuatku semakin nikmat.
Aku ingin melanjutkan aksiku, tapi aku takut anakku sudah ada di saung dan curiga kalau aku mandi kelamaan. Segera kusabuni seluruh tubuhku, membuatku terangsang kembali. Tapi kutahan dan kualihkan pikiran liarku. Segera kulap tubuhku dengan kain samping lalu kuikatkan untuk membalut tubuhku.
0 Komentar