KETIKA SENJA PART 15

 

MENUJU MALAM RITUAL

Kutambatkan ikatan si jalu, kebo bapakku, di batang pohon albasia. Ia mendengus senang mendapat rumput yang menghijau di atas lebak. Kutepuk punggungnya. Lalu aku serodotan menuruni lereng menuju ke tepi sungai. Aku duduk sejenak di tepian air mengamati sesosok mojang yang sedang duduk di atas batu ceper.




Kebaya kuning melekat serasi dengan rok batiknya; bersinar keemasan diterpa matahari pagi. Ia memainkan ujung rambutnya yang bergerai mengapit leher jenjang; tepiannya berkilauan dibelai surya yang turut mengagumi kecantikkannya. Betis putihnya bertumpangan menyelonjor di atas batu, tepi jarinya bercumbu dengan air bening yang mengalir.




Perlahan ia mengangkat wajahnya dan kami bertemu pandang. Senyumnya mengembang heran, sementara aku hanya menatapnya sambil memainkan batang-bunga-rumput di bibirku. Ada desir hangat di hatiku; pesonanya membuat aku bersyukur telah menjadi bagian dari semesta hatinya.




Ia berkedip seraya mencium ujung rambutnya. Sorot beningnya mengundangku untuk segera datang. Dan aku beranjak menyeberang. Kubasuh tanganku lalu kukeringkan di ujung bajuku. Aku mendekat, kusentuh kepalanya lembut seraya ikut selonjor di sampingnya. Ujung kaki kami bersentuhan di dalam air.




Wajahnya tak lepas mengikuti semua gerak dan tingkahku. Cuuup… kukecup mesra pipinya yang kemerahan. Wajahnya kian merona, didorongnya pipiku. Segera kuraih dan kugenggam. Jari kami saling meremas. Ada desah berat yang kudengar ketika ia bersender di bahuku. Dengan sigap kupeluk bahu kirinya dan kicium ubun-ubunnya.




“Yank…” Ia memecah diam.


“Hmmm…” Aku masih enggan menikmati kemesraan sunyi ini.


“Gimana sih rasanya?”


“Maksud kamu apa, sayang?”


“Itu… Bu Rohmah.” Wajahnya terbenam di dadaku menyembunyikan malu; peluk eratku menyangganya.


“Udah donk, yank. Kok dibahas lagi.”


“Penasaran.”


“Udah ah bahas yang lain aja. Kan aku sudah bilang itu berawal dari kecelakaan.”




Kami kembali diam.






_________






Sejam sebelumnya:






Kami duduk bersisian di dalam saung sawah milikku. Dadaku sesak karena bingung mau memulai dari mana. Tengah malam nanti adalah malam yang paling menentukan dalam menjalankan amanah kakek. Aku tak tahu persis apa sebetulnya yang akan terjadi. Ibu Rohmah yang menyiapkan semuanya.




Sudah dua malam ini aku perang batin. Ada panggilan yang mengharuskanku untuk mengikuti ritual seperti yang disebutkan Bu Rohmah, tetapi juga ada rasa salah karena telah mengkhianati cinta Sae yang dengan tulus ia titipkan kepadaku. Ada rasa perih ketika akhirnya aku memutuskan untuk jujur kepadanya. Bagiku cinta adalah keputusan dan kejujuran. Dan aku memutuskan untuk jujur. Mungkin dengan ini aku akan kehilangannya, tapi percayalah janjiku tidak akan punah meski beribu senja sekalipun. Aku Senja, siap membawa cinta dan luka tanpanya.




Keputusan inilah yang kemudian membawaku untuk menjemput Sae dan meminta ijin ke ibunya. Untunglah Bu Euis mengerti, ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke kebun dan bersedia menjaga warung.




Dengan debar kencang dan sesak di dada aku menceritakan semua kisah perselingkuhanku dengan Bu Rohmah, mulai dari kisah ‘jahe keberuntungan’ pada malam sebelum kami jadian, cerita wasiat kakek, dan pertemuan kedua dengan Bu Rohmah yang nyaris melakukan persetubuhan, sampai pada rencana ritual nanti malam. Untuk yang terakhir, aku katakan bahwa aku telah memilih untuk menjalankannya.




“Jadi gitu, Sa, ceritanya.” Aku mengakhiri kisahku. Ada rasa lega karena aku telah membuka tabir kebohonganku, sekaligus luka memikirkan aku akan kehilangannya.




Tubuhnya bergetar hebat dan tangisnya pecah. Semua kecerahan di wajahnya pagi ini, seketika menjadi mendung dalam derai air mata. Aku hanya mematung, dan tak punya keberanian untuk menyentuhnya. Ia menekuk kedua kakinya di atas bale-bale sebagai penopang wajahnya. Tangis itu membuatku begitu pilu, lukaku kini menjadi ganda. Luka karena aku telah membohonginya, dan luka karena melihatnya menderita. Aku Senja, lelaki yang paling tidak tahu diuntung, sekaligus lelaki rapuh yang tak punya daya menyaksikan orang yang paling disayang berduka-luka.




Tiga puluh menit aku membiarkannya, sambil menahan sesak mendengar rintih perih hatinya. Setelah membisu sekian lama, akhirnya dengan keberanian yang kupaksakan, getar tanganku menyentuh kepalanya. Ia mengangkat wajahnya seketika, ditegakkan duduknya, sorot matanya menyala di balik air mata yang masih berkaca-kaca.




Plak. Plak. Plak.


Pipiku ditampar tiga kali. Keras, bahkan terlampau keras.


Buuuk.


Dadaku didorong sampai aku terjengkang, dan kepala membentur tiang saung.


Hiks. Hiks. Hiiiks.


Ia kembali menangis.




Aku terengah menahan sakit di pipi dan kepalaku; tapi terutama menahan sakit di dadaku. Inilah akibat yang harus kutanggung dari sebuah kejujuran. Bukan… bukan tamparan yang menjadi tanggungan ini, melainkan rasa sakit karena melihatnya terluka.




“Kamu jahat, Ja! Jahaaaat!! Aku kecewa sama kamu. Aku kecewa sekali..!!” Sae akhirnya memuntahkan kemarahannya. “Aku telah begitu mencintaimu, dan aku juga percaya kamu tulus mencintaiku. Terlampau percaya malah. Tapi apa yang telah kamu lakukan di belakangku. Apaaa??” Pekiknya.


“Jawab!! Kenapa diam? Kamu telah membohongiku. Dan aku tidak suka dengan seorang pembohong. Kamu telah mengkhianati kepercayaanku. Sakit, Ja. Sakit.”




Hiks..hiks…




“Sa…”


“Apaaa?? Mau minta maaf? Basiii tahu!!”


Aku diam.


“Kenapa diam? Hayo ngomong!”




Bingung. Ngomong salah, diam juga salah.




Seperti inikah kalau perempuan sedang marah? Aku salah tingkah dalam rasa salah.




Aku menguatkan diri. Tak terasa mataku berkaca.




“Sa.. aku tahu kalau aku salah. Aku sekarang jujur karena aku tak kuat lagi menutupi perasaan bersalahku.”


Diam.


“A..aku.. aku merasa sakit membohongimu.”


Diam.


“Aku mencoba untuk tidak membuatmu terluka dengan tetap menyimpan perasaan salahku.”


Diam. Aku menarik nafas panjang.


"Tapi aku gak kuat. Kamu terlalu berarti bagiku.”


Diam.


“Sekarang aku melukaimu, tapi aku harap setelah ini kamu punya cara untuk menyembuhkannya. Aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu kelak. Aku gak mau terus melukaimu.”


Diam.


“Aku ikhlas kehilanganmu, Sa. Ikhlas. Kelak kamu bisa bahagia itu sudah cukup bagiku.”


Diam.


“Maafkan aku.”


Diam.


“Aku tak lagi pantas untukmu.”


Diam.


“Meski begitu aku berharap kamu masih mau berteman denganku.”


Diam.


“Kalaupun tidak, aku bisa menerima. Tapi aku harap kamu masih mau berteman dengan Ega, Jaka, dan Ardan. Dan aku mohon.. jangan meninggalkan usaha kita yang sudah dirintis. Kalau kamu terganggu karena kehadiranku, biarlah aku yang mundur. Tapi kamu jangan, Sa. Kalian lanjutkan apa yang sudah kita mulai.”


Diam.




Aku bergetar menahan segala emosiku.




Diam. Tak ada suara dari bibirnya. Dan tak ada isak tangisnya. Tak terdengar amarah yang ia luapkan. Diam dan hanya diam. Aku tahu itu menyakitkan. Kesedihan dan kemarahan tanpa air mata, adalah tanggungan batin yang paling menghimpit perasaan.




Aku tak tahan memandangnya hanya menjadi seonggok manusia tanpa daya kehidupan. Aku terlampau rapuh untuk berada di samping orang yang hatinya lumpuh; dan itu karena aku. Aku adalah sumber dari segalanya, dan aku tak lagi mampu memulihkannya.




Aku bangkit dari dudukku.




“Ayo kita pulang, aku antar kamu.” Ucapku akhirnya.




Kuraih sarung golok dan kuikatkan di pinggangku. Tak punya keberanian untuk meraihnya. Aku melangkah dan biarlah aku menunggu di luar. Aku ingin berjalan di depan, bukan karena hendak memimpin, tapi karena aku sudah tak sanggup memandang ketidakberdayaannya.




Hmmmmff.




Baru selangkah aku berjalan, terasa sebuah pelukan erat di pinggangku. Terlampau erat. Tubuhnya melekat di punggungku. Isaknya kembali kudengar.




“Kamu jahat, Ja. Jahat.. jahat.. jahaat… Hiks...hiks...”




Aku hanya bisa mematung kaku.




“Aku kecewa ama kamu.. hiks… tapi aku tak bisa membencimu. Aku tak bisa berhenti menyayangimu.”




Aku tercekat. Apakah aku salah dengar? Tidak. Suara itu datang dari gadis yang sedang memeluk punggungku. Perlahan aku membalikkan badan. Ia melonggarkan pelukannya tanpa mengangkat wajahnya. Ia kini terbenam di dadaku, dan pelukannya kembali erat. Aku meraih tubuhnya. Kami saling mengungkapkan semua emosi dalam dekap erat ini. Ini bukan dekap perpisahan yang kurasakan, tapi peluk tak mau kehilangan.




Bibirku kelu. Tak ada suara yang bisa kuucapkan meski aku berusaha mengatakan sesuatu. Bibirku bergetar. Semua pertahananku luluh, dan aku menangis. Ya, aku adalah lelaki, dan kini aku menangis. Tak ada timbangan yang bisa mengukur, seberapa besar bahagianya aku saat ini.




“Cengeng!” Ucapnya dari balik dadaku, tanpa mengangkat wajahnya.




Aku tak peduli. Aku ingin menikmati tangisku.




Entah berapa lama kami berpelukan, jika boleh bercengkerama dengan waktu, aku ingin selamanya berada dalam pelukannya. Ah sudahlah… aku bukan waktu dan bukan pengatur alam semesta.




Kami tersadar ketika ada bancet (kodok sawah) yang berkecipak di tepi sawah. Kami menggeliat dan saling merenggangkan pelukan. Untuk pertama kalinya setelah puncak luapan emosi kami masing-masing, kami berpandangan. Bibir matanya bengkak, dan pipinya lembab bekas air mata.




Sae memegang kedua pipiku dan mengelusnya.




“Sakit ya? Maaf.” Katanya. Aku hanya menggeleng.




Lalu ia mengusap sisa air mataku.




“Cengeng.” Ia mendorong dahiku dengan jarinya.


“Makasih, Sa.” Ucap tulusku.




Ia menjawab dengan pelukan erat. Tubuh kami kembali melekat, berbagi beban dan penanggungan.




“Eh…!!!”




Tiba-tiba ia menghentak dadaku, dan mendorong tubuhku. Aku kaget.




“Kenapa kamu peluk aku? Gak sopan.” Ketus.


“Heh?” Aku kaget. “Jadi.. jadi kita pu.. putus, Sa?” Bangunan hidupku kembali runtuh.


“Emang siapa yang pernah pacaran?” Tatapnya jail, membuatku bingung.


“Lalu?”


“Emang kapan kita pacaran? Nggak yaaa…” Ia menjauh dan duduk di bale-bale saung, sementara aku hanya terpaku bingung.


“Kamu ingat-ingat deh… emang kamu pernah nembak aku?” Ia tampak tak tega melihatku. Ada senyum tulus di bibirnya, sekaligus juga tatapan jail.




Sambil garuk-garuk kepala, pikiranku mengingat sejenak.








“Sa..”




Ia menoleh sebentar kemudian menunduk kembali. Kulepaskan tanganku dari genggamannya dan kuraih pundak kirinya. Kutarik biar mendekat sehingga ia tersandar di bahu kiriku. Kuusap-usap lengan atasnya. Aku lakukan semuanya itu dalam diam. Tiba-tiba tangan kanannya beralih ke belakang dan memeluk pinggangku.




“Sa, kamu mengerti kan maksudnya?”


Terasa ia mengangguk.


“Lalu? Jawabannya?”


Ia mengeratkan pelukannya di pinggangku. Tak perlu kutanya lagi… tangannya adalah tanda dari jawabannya.


“Terima kasih.” Lirihku. Hatiku berbunga-bunga… rasanya aku adalah pria yang paling beruntung saat ini.


“Kenapa?” Bisiknya, nyaris tidak terdengar.


“Heh?”


“Kenapa gak dari dulu. Aku menunggu saat ini sejak lama, Ja. Sudah lama…” Tubuhnya bergetar.








“Sayaaang….”




Aku merangkulnya, dan ia cekikikan di dadaku. Kukecup mesra kepalanya yang wangi merk sebuah shampo.




“Aaah.. kamu jail…” Aku mengucek rambutnya.


“Iiih.. kusut tahu.” Ia melepas pelukannya dan merengut.


“Kalau kamu mau jadi pacar aku, hayo tembak aku dan bilang kalau kamu sayang aku.” Ia masih jail.


“Atulah Sa. Kaaan.. aku udah…”


“Eh enak aja… kamu gak pernah nembak aku. Aku tak pernah merasa jadi pacar kamu, aku gak pernah dengar kata ‘aku sayang kamu’ dari mulutmu.”




Aku mengingat sejenak. Dan ia sepenuhnya benar.




Selama ini aku berpikir bahwa sikap dan tindakanku itu jauh melampaui kata-kata; rupanya di mata Sae aku salah.




“Kamu memaafkan aku, Sa?” Aku mencoba mengalihkan.


“Hayoooo.”


“Aku.. aku merasa tak pantas untukmu.”


“Senjaaa!!!” Matanya melotot.


“Aku.. aku…”


“Hayooo.” Ia melipat tangan di dadanya.


“Sa, bagiku itu gak penting. Hidup dan adaku sudah menjadi bukti rasa sayangku.”


“Siapa bilang gak penting? Jadi aku gak penting?”


“Bukan gitu, Sa, aku.. aku.. duh..”


“Ja, bagi perempuan itu sikap saja tidak cukup. Ia bukan hanya butuh bukti, tapi juga butuh kepastian, ia butuh keyakinan. Dan itu melalui omongan.”




Huh…huh… Aku menarik nafas.




“Baiklah, Sa.” Aku diam sejenak.


"Sae Maharani , aku sa…”




Hmmmmfff. Cuuup. Muuuuaaach. Ia melumat bibirku.




Hash..hash…




“Udah gak usah. Aku tahu kok, sayang.”


“Kamu polos banget sih. Aku sukaaa.” Lanjutnya sambil menjembel kedua pipiku.


“Ah sayaaang…”




Aku mencaplok kembali bibirnya. Dan kami berciuman lama, sebelum kembali duduk di bale-bale.




“Sa, terima kasih sayang. Hatimu tulus banget, mau menerima aku apa adanya.” Aku memecah kemesraan sambil mengelus rambutnya. Kepalanya berbaring di atas pahaku.


“Aku gak bisa tidak mencintaimu, yank. Aku sayang banget sama kamu.” Jawabnya sambil mengelus pipiku.


“Kamu berani jujur seperti itu, sudah sangat berarti bagiku. Itu membuktikan bahwa kamu sayang aku.” Lanjutnya.


“Sekarang aku minta kamu cerita sesuatu.” Ia mengarahkan wajahku supaya menatapnya.


“Heh?”


“Waktu di bubulak"


“Apa? Kan kita membicarakan usaha kopi dan kamu menjelaskan kemungkinan-kemungkinan untuk memprosesnya.”


“Bukaaan. Iiih denger dulu.”


“Waktu kita berdua, kamu beda.”


“Hah? Beda apa?”


“Aku gak tahu, makanya aku tanya. Kamu memang tidak bilang apa-apa, yank. Tapi aku merasakan kamu mengatakan sesuatu di hatimu. Jangan pikir aku tidak merasakannya, aku merasakan, meski gak tahu apa. Kamu beda waktu itu.”




Aku berpikir sejenak untuk mengingat sesuatu.






[ Aku akan selalu mencintai dan menyayangimu, Sa. Inilah janji suciku. Senja ini menjadi saksi dan semoga beribu senja ke depan akan selalu mengingatkanku akan janji ini. Biarlah ikrar ini hanya menjadi rahasia hati, supaya kelak kau tidak merasa tersakiti atau terkhianati.]






Aku tersenyum sambil memainkan rambut tipis di pelipisnya.




“Apa?”


“Nggak.. gak ada apa-apa.”


“Jangan bohong! Katanya sayang.” Ia cemberut. Duh menggemaskan sekali.


“Itu rahasia hatiku. Biar aku aja yang tahu.”


“Halah palingan kamu bilang kalau kamu sayang aku dan akan selalu menjaga aku. Iya kan?” Ia menebak.


“Heh? Sok jadi cenayang.” Aku mengelak.


“Ya sudah.. ngambek…” Ia telungkup di pahaku.




Duh. Sae aku semakin menyayangimu. Kamu peka banget sih.




Inilah janji suciku. Senja ini menjadi saksi dan semoga beribu senja ke depan akan selalu mengingatkanku akan janji ini. Biarlah ikrar ini hanya menjadi rahasia hati, supaya kelak kau tidak merasa tersakiti atau terkhianati.’ Aku mengulangi janjiku dalam hati.

Posting Komentar

0 Komentar