KETIKA SENJA PART 13

 

Aku duduk di depan tungku rumahku, sambil menggodok ramuan dari Bu Rohmah. Malam ini ada hajatan di kampung Ewer dan ada pertunjukkan wayang golek semalam suntuk. Banyak warga sini yang pergi kondangan sambil nonton pertunjukkan. Kedua orangtua dan adikku juga berangkat ke sana. Aku dan ketiga sahabatku biasanya tak pernah melewatkan kesempatan seperti ini, kami selalu berangkat bersama. Hanya kali ini cuma Ega yang berangkat, menemani ibunya. Karena ayahnya sedang tidak enak badan. Senja? Tahu sendiri, sejak ada Sae ia jarang mau bepergian. Kampret kan.. kami jadi kena efeknya. Ardan? Entahlah tadi siang pas ditanya cuma cengengesan. Yakin sarebu persen pasti ia mau memanfaatkan kepergian mang Oyeh.




Aku sendiri males pergi kalau tidak bersama mereka mah. Lagian nih otak ruwet banget memikirkan cara bagaimana Bu Inah bisa meminum ramuan. Aku sudah nekad, malam ini aku mau menyelinap ke dalam rumahnya. Menurut ibuku, ia tidak berangkat kondangan, hanya suaminya saja yang berangkat. Semoga ada air teh yang bisa kuganti isinya. Kalaupun tidak ada, aku sudah merencanakan sebuah cara, yang kalau Senja tahu pasti ia akan murka. Ah sabodo teuing




Kuangkat ramuan dalam panci dan kutuangkan ke dalam mug besar berwarna batik hijau. Kubiarkan terbuka biar cepat dingin; dan aku pun duduk kembali sambil ngelamun.




"Sampuran. Ka, ada dirumah?.” suara seseorang mengucapkan salam. Ganggu aja nih orang. "Rampes" aku pun beranjak ke arah pintu.




Kubuka pintu. Jreeeng.. ada sosok wanita berdiri sambil membawa piring seng yang ditutupi daun pisang. Tubuhnya yang hanya setinggi hidungku dibungkus kebaya dan kain panjang. Di lehernya melingkar kain batik untuk menutupi leher dan bagian atas dadanya. Mungkin untuk nutupi belahan susunya kali ya. Kakinya beralaskan sendal jepit. Sejenak aku bengong. Sangat tidak menyangka.




“Bu…?”


“Yeeeiii malah bengong.. kayak lihat hantu saja.” Katanya sambil nyelonong sambil menyenggol bahuku supaya menyingkir. “Kamu sudah makan belum? Nih ibu bawakan nasi dan pepes ikan… Bu Raras (ibuku) menitipkanmu sebelum berangkat. Katanya kamu pasti gak akan masak nasi.” Ia nyerocos sambil mengambil piring bersih di baskom dan memindahkan nasi dan pepes ke dalamnya.


“Saya kan bisa makan di rumah Ardan atau Senja, bu. Kok malah ngerepotin?” Aku menjawab sopan. Sebagai warga kampung kami sudah biasa berbagi satu sama lain; aku kira juga ia mengantar makanan bukan karena perhatian atau karena ibu menitipkanku tapi karena ia bikin pepes ikan aja. Cuma karena ia tahu hanya aku yang ada di rumah maka ia hanya ngasih seperlunya. Lagian ia dan ibuku juga cukup dekat dan akrab.




"Halah kamu itu.. palingan cuma ngopi dan ngudud kalau di rumah mereka mah. Lagian mereka juga pasti nggak masak, kan orang tuanya kondangan. Sanah makan dulu. Ibu mau… eh ini apa, Ka?” Ia yang sudah menenteng piring kosong dan mau melangkah pulang, urung pamit dan bertanya kepadaku. Matanya tertuju pada ramuan di dalam mug. Memang cerewet nih orang.


“Eh anu bu… itu air teh…” Aku gugup.


“Kok warnanya aneh gini? Eh..ini mah kayak bau jahe dan… dan apa ya? Baunya kayak enak.”


“I.. iya bu.. itu teh campur jahe dan daun sereh…” Jawabku sekenanya sambil garuk-garuk kepala. Padahal aku juga tidak tahu bahannya apa saja.


“Untuk obat masuk angin.” Lanjutku.


“Ibu nyoba ya.. kayak enak…” Tanpa minta persetujuanku ia mengambil cangkir dan menuangkannya sedikit.




Pucuk dicinta, ulam tiba. Setelah bisa menguasai diri aku menyeringai. Yups… dia adalah Bu Inah, alias bu RT, alias ibunya Ratna, alias mangsaku, alias objek ngocokku selama ini. Jago.. sebentar lagi kamu sekolah.




Ia menyeruput isinya.




“Enak, Ka.” Tanpa permisi ia menuang lagi sampai setengah cangkir.


“Hayu atuh minum bareng.” Lanjutnya sambil duduk di jojodog


“Mangga bu.. ibu aja… saya mah nanti nunggu dingin.” Aku beralibi sambil tetap berdiri.


“Hayolah.. temenin ibu.. enakan masih anget juga da .. hebat kamu mah. Bisaan bikinnya.”




Gawat! Gawat! Gawat!




Aku pun terpaksa menuang isi mug ke dalam cangkir dan akhirnya minum bareng sambil membicarakan hal yang tidak penting.




“Kok ibu gak nonton wayang?” Aku mulai beraksi.


"Ibu sih mau, tapi da gimana lagi besok ada ibu ibu yang mau ngarambet di sawah (istilah untuk membersihkan rumput di sawah; biasanya antara dua atau tiga bulan setelah padi ditanam).”


“Biarlah bapaknya saja ama si Ratna.” Tambahnya sambil menenggak minuman terakhirnya.


Jagoo.. rumahnya kosong.




Tanpa permisi ia menambah lagi minumannya, aku hanya tersenyum menang. Mungkin karena enak, dan memang aku merasakan cukup enak di tenggorokan. Tapi apa ini.. tubuhku sudah mulai bereaksi duluan. Fiuuuh… gerah. Si jago gatel dan cenat-cenut.




Bu Inah tetap berdiri sambil menghabiskan minumannya, aku mengambil alih jojodog dan duduk. 




Krik…krik…krik…


Kami saling diam.




Glek. Akhirnya Bu Inah menghabiskan isi cangkirnya lalu pamit pulang. Tidak ada reaksi mencurigakan. Wajahnya biasa saja dan pulang tanpa tergesa.




“Hatur nuhun, bu.” Aku mengantar kepergiannya.




Kututup pintu dan kembali duduk.




!!!?%##??! Goblok… kenapa aku biarkan pulang. Hadeuh. Jago malam ini kamu bolos sekolah.




Eh gawat.. jangan-jangan nih minuman hanya berfungsi untuk lelaki. Sumpah gerah banget, seluruh tubuhku rasanya menjadi sensitif. Senjaaaa… sia anjing, kampret, monyet. Aku mengutuki diri sendiri sambil memaki si Senja. Kutegak secangkir air putih untuk menetralkan tubuhku. Tidak ada reaksi sama sekali, yang ada malah tubuhku makin birahi. Aing butuh bikang.




Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Aku udah kayak kambing jantan yang birahi bikang. Si Jago lagih.. malah maen ayunan di dalam sarung. Sumpah.. kalau ketemu Senja sudah kukawinkan tuh anak ama kambing bikangnya. Bisa-bisanya dia ngerjain aing.




Eh… ntar dulu. Anak soleh memang selalu diberi jalan menuju kemenangan, eh menuju kenikmatan. Bu Inah lupa membawa pulang piringnya; tadi ia letakkan di atas meja gara-gara tergoda minuman yang kuseduh. Aku bergegas mencucinya dan meluncur ke arah rumahnya. Aku sudah gelap mata karena reaksi yang ada dalam tubuhku. Kalau ternyata obat ini tidak bereaksi pada Bu Inah, dan hanya kepadaku, aku udah nekad untuk menggagahinya sambil mengikat tangan dan kakinya pake kain yang ia pakai.




Aku menyusuri jalan setapak menuju rumahnya, sementara hari sudah mulai gelap dan kampung sangat sepi karena ditinggalkan hampir setengah penghuninya. Di depan pintu tertutup aku menarik nafas panjang beberapa kali. Kulap dulu keringat di jidat dan leherku.




"Sam…"


“Aaaaaah…”




Belum juga aku menyelesaikan salam, aku mendengar suara mendesah dari dalam. Sedikit akal sehatku mulai bekerja. Kutampar pipiku sendiri tiga kali untuk mengontrol diri. Obat itu mungkin sudah berfungsi juga di tubuhnya. Anjrit makin ngaceng aja si jago.




Kuketok pintu sambil mengucapkan salam. Coba kudorong tapi terkunci. Kuketok lagi beberapa kali. “ Sakedap (sebentar).” Bu Inah menjawab dari dalam. Aku menunggu dengan tak sabar.




Ceklek. Kreeek… pintu terbuka perlahan. Aku cuma terbengong melihat sosoknya. Rambutnya awut-awutan, mungkin lupa membereskan karena terburu-buru. Mukanya yang licin berkeringat kelihatan merah padam dan nafasnya sedikit tersengal. Bawahannya masih mengenakan kain yang sama waktu ke rumahku, hanya bagian atasnya sudah dililit dan dibelit kain menutupi seluruh tubuhnya.




“Ini bu, tadi piringnya ketinggalan.” Aku menyodorkan piring.


“Makasih, Ka. I..ibu.. tadi malah lupa.” Jawabnya seraya menerima piring. Ia seakan menghendaku segera pergi. Jago, kita siaga satu. Sedikit otak warasku cepat memberi perintah, kuraih pergelangan tangannya sambil bertanya, “Ibu kenapa? Kok seperti sakit?”




Reaksinya di luar dugaan, dan memang itu yang kuharapkan. Tubuhnya sedikit bergetar dan wajahnya tegang seperti menahan sesak. Sengaja tak kulepaskan peganganku, aku menatapnya tanpa dosa sambil bertanya hal yang sama.




“Ib.. ib.. ibu… gak apa-apa, Ka.” Ia panik.




Dahi dan bawah matanya mulai keringat.


Tak salah. Seribu persen bener. Tak diragukan. Ini saatnya…


Aku girang, si jago mengacung-ngacung senang.




Aku merangsek melewati ambang pintu tanpa melepaskan genggamanku. Ia mundur dua langkah untuk menghindar. Aku mengikutinya, lalu dengan satu kakiku kudorong pintu hingga tertutup.




Hmmmfff… kucengkram erat tubuhnya. Langsung kuciumi pundaknya. Nafasku mendengus-dengus. “Arrrgghhh…” Bi Inah mengerang. Tak ada penolakan, tangannya mencengkram punggunggku. Pengaruh ramuan Bu Rohmah rupanya sudah mengusai dirinya, tak ada lagi akal sehat, yang ada hanya kebutuhan ingin terpuaskan. Apalagi aku.. udah lebih dulu bernafsu. Sudah nyampe ubun-ubun.




Jangan memberikan daging segar pada macan liar karena ia bisa ganas. Aku mengganas merangsek tubuh Bu Inah. Kujilat seluruh wajahnya…. Kucaplok bibirnya… telampau ganas… kukenyot dan kuhisap sampai-sampai Bu Inah meronta. Ku tak lagi peduli… Aaarrrrgh… kain sialan… kutarik paksa… kampret…




“Heeeeeek. Aaaarrrg Ka.. pelaaan…” Bu Inah kesakitan. Shiiit… dia kecekik.




Kurenggangkan tubuhku dan kucari ujung kainnya dan kutarik cepat. Hooop… breeeet… anjrit… cuma pake BH. Kuremas bagian luar BHnya membuat bagian atasnya menggelembung. Birahiku makin hebat.




Kulumat bibirnya… kami berbalas… Lidah kami sudah saling membelit dan melilit… Klik kulepas kaitan BH nya… Aku menggeram… kupencet putingnya…




Ploppp. Bibir kami terlepas. “Aaaarggh,” pekiknya.




Buuuk… Lututnya menyundul si jago.




“Hhhhmmmmf… Aaaaarrrrghh…Assss…uuu…” Aku ngejen gilu… tubuhku terhuyung sambil memegang selangkanganku. Mataku berair.


“Jangan kasar!! Ibu gak suka!!” Bu Inah mendengus antara kesal dan birahi.




Aku masih terhuyung… Aaaargggh…




“Ma..af.., ibu gak ada mak..sud… uuuuh…” Ia meraih tubuhku dan memeluk bahuku. Aku lupa pada tubuh setengah telanjangnya, anjriiit sakit banget. Kuusap-usap pangkal si jago.




Hash..hash.. aku berusaha mengatur nafas.




Kuangkat wajahku… dan kusandarkan di bahunya. Nafas kami masih ngos-ngosan. Bedanya dia menahan birahi yang tertunda, aku menahan ngilu yang amat sangat.




“Ka, to.. tolong.. puaskan ibu.. hiks..hiks… tapi jangan kasar.” Tangisnya pecah.




Kurenggangkan tubuhku.




Kuusap kedua pipinya dan kubersihkan air mata yang mengalir. Lalu kuraih kedua payudaranya kiri-kanan… dan kutangkup dengan telapak tanganku.




“Maaf bu.. hash hash.. huuh… maaf.. aku keburu nafsu.”




Senyumnya mulai terlukis kembali, dan kami saling berpelukan kembali.




“Maafkan ibu juga.. abisnya puting ibu sakit banget kamu pencet… Kasian kanjutmu.. ngilu ya?” Ia mau merabanya tapi segera kutepis.


“Sakit banget bu.. gila.. pelerku seperti mau bucat .”


“Abisnya kamu nafsuan banget.. ibu kayak mau diperkosa. Ibu mau kok.. gak usah kasar… Kok bisa nafsu lihat ibu?” Cerewetnya. Perempuan memang punya dua mulut, makanya cerewet.


“Karena ibu punya salah…huh..huuh…haaah…”


“Hah?? Salah apa, Ka? Maafkan ibu kalau selama ini telah bersalah sama kamu. Hiks.. hiks…”


“Salah ibu adalah… ibu cantik. Montok. Susu ibu besar. Kulit ibu putih. Bokong ibu besar. Kalau jalan pantatnya menggeol. Bibir ibu seksi. Aaah… pokoknya banyak.”


“Iiih… dasar cabul.” Cubitan kecil mendarat di lenganku. “Kamu ke kamar dulu gih.. ibu ambil minum dulu.” Muaach.. Cuuup. Lalu kami saling melepaskan pelukan; ia ngeloyor ke dapur tanpa menutupi kedua susunya yang berayun. Aku menuju ke kamar sambil terhuyung… ada kebaya yang tergeletak di lantai, dan kasur sudah acak-acakan. Pasti tadi dia sedang coli. Kutelanjangi diriku.. dan berbaring bugil. Si jago setengah tertidur.




Bu Inah masuk sambil membawa segelas air putih dan handuk basah. Kami sama-sama melongo. Aku terkesima pada kedua payudaranya yang menjuntai di atas perutnya yang rata. Dia terkesima melihat jagoanku yang berbaring di atas pahaku. Ia masih cenut-cenutan.




Pantesan si kampret Senja pernah bilang, “Indahnya bercinta itu ketika kita bisa memandang kematangan tubuh wanita, lalu saling menikmati tanpa menyakiti.” Dasar pujangga kelamin.




Muka Bu Inah memerah sambil menghampiriku, kedua payudaranya berayun. Alamaaak… aku tersengal dibuatnya. Kuraih air minum yang ia sodorkan dan kutenggak sampai habis. Bi Inah duduk ditepi kasur.. cleeep… telapak tangannya menyentuh si jago. Aku cuma bisa meringis.




Ia melirikku, mukanya masih memerah, “Masih sakit?” Aku hanya mengangguk.




Dengan telaten ia mengelap kantong si jago dengan lap hangat. Sumpah deg deg seer… Aku hanya bisa mendesah karena ngilu dan nikmat. Aku mengamati tubuh bu Inah sambil menggigit bibir. Rambut hitam dan tebalnya acak-acakan, sebagian menjuntai sampai ke tepi atas susunya yang menggantung kayak pepaya mengkal.




"Geulis(cantik),” tanpa sadar aku bergumam.




Kami saling pandang…




“Beneran?”


“Pake pisan, sayang.” Aku mulai menggombal, ia hanya menggigit ujung bibirnya.


“Gombal!”


“Nggak bu Inah sayang beneran… Cantik pake pisan…”


“Kalo bener sayang kok kasar?”


“Aku sudah bernafsu sejak di rumahku tadi, bu. Cuma aku takut… Aku udah pengen meluk ibu. Ingin ngentot ibu. Makanya aku gak bisa nahan diri lagi. Maaf Bu Inahku.. sayangku…” Aku menggombal-bohong. Padahal gara-gara ramuan sialan itu.




Dia hanya diam. Tapi aku bisa melihat senyum senang.




“Bu?”


“Hmmm…”


“Tadi lagi coli ya?”


“Iiih… kamu jorok banget sih ngomongnya.” Aku cuma mengerling.




Sebuah anggukan malu ada di sana.




“Emang kenapa, bu?”


“Gak tahu, Ka. Tadi pas di jalan, badan ibu tiba-tiba merasa panas, kulit ibu jadi sensitif dan ibu terangsang. Sampai sekarang, Ka, ibu sudah basah banget. Kamu sih malah bikin nanggung.”


“Apanya yang basah?”


“Ih.. ya itu.”


“Apa?”


“Kemaluan ibu.”


"Heunceut sayang, bukan kemaluan.”


“Iyah heunceut ibu baseuh,eeeh… (Iya, memekku basah)” Bu Inah kaget sendiri dengan omongannya.




Aku merintih. Kini tangan bu Inah sudah tidak mengelap lagi, tapi mengelus si jago dengan sangat lembut. Jempolnya mengelus ujung si jago. Ia pun menggeliat bangun. Rasa ngilu sudah mulai hilang.




“Gede banget, Ka.”


“Apanya bu?”


“Ini.”


“Apa?


“Penis kamu.”


"Kok penis?”


“lalu?”


“Kon-tol..”


“Iiih… kamu jorok melulu.”


“Hayo bu?”


“Apanya?”


“Bilang.”


“Bilang apa?”


“Kontol.”


"Iyah…”


“Iyah apa?”


“K..k..kon..tol.”


“Gak jelas.”


“Kontol, Jaka, kontol.” Ia gemas.




Aku segera bangkit hendak menariknya. Mendengar bu Inah bilang ‘kontol’ membuat birahiku memuncak. Namun sebelum berhasil memeluknya, ia mendorong dadaku sampai terjengkang kembali ke atas kasur.




“Tidur dulu. Ibu mau menghukum kamu.”




Ia berdiri menghadapku. Sambil menggigit bibir bawahnya ia menggulung rambutnya ke belakang, menampakkan lehernya yang indah dan memperlihatkan tiga lipatan yang membuatnya tampak sangat dewasa dan menggairahkan. Mengkilat-berkeringat. Puting susunya yang kecoklatan mengacung tegang di tengah bulatan hitam. Ketiaknya yang tidak terlalu lebat memberi warna kontras pada kulit putihnya.




Aku sudah gak sabar dan siap bangkit menubruknya.




“Ingat, Ka. Indahnya bercinta itu ketika kita bisa memandang kematangan tubuh wanita, lalu saling menikmati tanpa menyakiti.”




Anjjjjiiiing… si kampret lagi. Aku memaki dalam hati. Jurig nih orang.




Aku terhempas sambil terengah-engah menahan birahi. Sambil mengusap perutnya, Bu Inah membuka lipatan kainnya perlahan, matanya tidak lagi memandangku, tapi terpaku pada si jago yang mendongak-dongak. Go.. tenang go.. jangan muncrat dulu.. hash..hassh… Aing era (aku malu) mun maneh utah mah (kalau kamu muntah).




Lalu lilitan itu mulai diputar pelan… putaran pertama menampakkan paha kanannya yang putih. Tepi celana dalam berwarna krem tercetak di pinggangnya dan pinggulnya.




“Bu… jangan siksa aku bu.. mending ngewe daripada kayak gini mah.” Aku tersengal. Mendengar omonganku, birahi kian terpancar dari wajahnya. Grrrghhh.. aku sangat tersiksa…




Lamban…terlalu lamban ia membuka lilitan terakhirnya. Si Jago berkedut kencang.. ada bintik bening di ujung lubangnya. Ajriiit… mulutku menganga. Sreeeet… Preeet… Kainnya merosot terumpyuk di lantai. Bikang binal kini sedang telanjang menantang di hadapanku.




Pahanya putih-merangsang, pangkalnya menggelembung. Sialan.. kenapa ia harus pake mendesis segala. Ada bayangan hitam di balik gundukan celana dalamnya. Nampak lembaran bulu-bulu halus keluar di pinggirannya. Tangan bu Inah turun ke selangkangannya. Bangkeee… ia menyewir-nyewir bulu heuncrut1nya sehingga keluar dari pinggiran kain krem itu. Di puncak gundukan memeknya mulai tampak rembesan basah… awalnya hanya membentuk titik tapi kemudian merembes makin lebar.




Aku sudah tak kuasa lagi. Segera aku bangkit. “Ingat, Ka. Indahnya bercinta itu..” Diem bangsaaaat!!!!




Aku meraih tubuh Bu Inah dan menariknya. Aku kembali terjengkang di atas kasur bersama pekik mulutnya. Ia ambruk di atas tubuhku dan payudaranya terurai melebar karena lekatnya himpitan.




“Inah…” Hmmmmffff. Kami berciuman panas. Mulut kami saling menyosor. Menjilat. Mencecap. Kuremas bokongnya, dijambaknya rambutku. Kubalikan tubuhnya tanpa melepaskan ciuman kami dan kutindih selangkangannya. Si jago sudah menempel di atas celana dalam basah. Sambil meremas payudara kanannya, kuhisap-hisap telinga kirinya.




“Aaaarrrrghhh”. Ia mendesah.


“Inaaah…” Aku menggeram di telinganya.


“Iyah sayang.. hash..hash… aaaargggh…”




Kujilati seluruh mukanya, kedua telinganya. Bibirnya kulumat sebentar lalu, kujilat lehernya. Asin keringat sudah tak kupedulikan lagi. Aku terus menjilat. Haaaaap… akhirnya kujilat putingnya… kuemut dan kukecrot dengan lidah dan bibirku…




“Aaaarrrggg… i..iyah.. sayang… uuuh…. mmmhhhh… enaaaak…. aiiingg… duh…” Bu Inah meracau. Sementara aku hanya mendengus-dengus. Kedua payudaranya sudah basah karena keringat dan ludahku. Kulitnya memerah.




Kuturunkan jilatanku ke perutnya sambil meremas payudaranya… kujilat… kusedot.. kucupang… Kumainkan lidahku di udel (pusar) sambil kupindahkan tanganku ke pahanya. Aku benar-benar mandi keringat, semua anggota tubuhku bekerja. “Duuuh.. ampun gustiii… gatel… aaarrh.. uuuh.. shhhss…” Ia meracau.




Tubuhnya sudah sangat gelisah dan sekali-kali melenting dengan mengangkat pinggulnya. Aku masih dendam… inilah pembalasanku atas siksaan syahwat yang ia lakukan.




Tak sabar kutarik celana dalamnya ke bawah dibantu angkatan bokongnya, lalu kedua kakinya diangkat bergantian. Sesak dadaku melihat gundukan basahnya… Aku masih dendam. Biarkan saja henceut nya meleleh.




Kujilat kedua lututnya bergantian tanganku naik meremas bagian bawah pahanya.


Tubuhnya kian menggelinjang dan mendesah…




“Hassssh…hasssh… Sayang… aduh… aampuuun… enak… ibu enak… huh huh..haaah.”




Kuhentikan sejenak jilatanku. Aku mendongak dengan keringat bercucuran.




“Jangan pake ibu. Inah saja.” Perintahku tegas. Lalu kulanjutkan menciumi dan mengenyot kedua pahanya.


“Haaaasssh… du.. duuuh… iyah… Inah… duh… Inah enak… aaarghhh. Jaka Inah gataaal… uuuh… ”


“Innaaaaah…” Aku menggeram. Jilatanku semakin ke atas sampai hidungku menyentuh bulu heunceut nya. Anjrrriiit… bau hangseur (pesing) bercampur bau asing yang menggairahkan.




Kutarik-tarik bulu kelaminnya gemas.. membuatnya menjerit. Lalu kusibakkan bulu-bulunya dan kutarik kedua bibir nikmatnya… Memeknya menggelambir hitam bagian luarnya, dan merah basah bagian dalamnya. Kucolek-colek dengan ujung jariku… “Aaaaau…” Lalu penasaran kucolek itilnya yang menyempil. “Aaaaarrrrhhhh… sayang… Inah gak kuaaat… ampuuunnn…”




Aku makin semangat menoel-noel itilnya dan kugosok-gosok. Ingin kujilat, tapi aku pusing mencium baunya. Kucolok lubang heunceutnya tanpa melepaskan gosokan pada itilnya.




“Jakaaaa… ampuuun sayang… aaa heunceut aing aaah… aaah… duh.. itil bucat.. ampuun… Inah bucaaat…” Srrrrrr cairan kental mengalir membasahi jari dan tanganku. Kucolek dan kuusap-usap di tepian memeknya. Rambutku dijambak dan ditarik ke atas.




Kulihat wajahnya licin karena keringat. Tubuhnya ngejen-kejang dan bergetar-getar; bola matanya putih mendelik. Nafasnya ngos-ngosan. Aku malah bengong melihatnya… kayak gini kalo awewe bucat, pikirku. Ia menarik kepalaku dan kami berciuman sesaat. Lalu saling berpandangan.




Kuusap-usapnya keringatnya dan beristirahat beberapa saat.




“Inah puas…?” Aku bertanya dungu.




Ia menjawab dengan ciuman panas. Lalu tubuhku didorong sehingga kini ia yang menindihku.




Kedua putingku dikenyotnya dan si jago dielus, remas, elus, remas, kocok.




“Uuuh… Nah, enaaak. Hash…hash…. Inaaaah… uuuh binal… aaarghhh..” Aku menggeram. Membuatnya makin bersemangat.




Tak lama kemudian ia bangkit dan mengangkangi si jago. Gila bokongnya lebar banget dan memeknya terbuka merah. Aku pegang pinggangnya…. Dan ia menggenggam si jago. Clup… si jago mencucuk daging-kenyal-basah. “Sssshhhh…”, desah kami bersamaan.




Kepala si jago menerobos lubang beceknya.. Uuuh… ngilu dan cedutan…. Kuraih dan kupilin puting susunya. Bu Inah kaget dibuatnya dan kehilangan keseimbangan… akibatnnya… bleeef.. cleeeep… “Anjrrrrriiiir… aaaarrhhh…”. “Aaaaaarggghhh… uuuh….” Kami bersahutan. Si jago amblas sekaligus.




Ia cenutan di dalam, batangnya diremas-remas bibir memeknya. Kami menahan nafas sesaat.




Ia kembali bertopang pada dadaku, telapakku meremas-remas susunya. Clep…clep…cleeep… Ia mulai menaik-turunkan bokongnya. Batang si jago mengkilat-basah-muncul-tenggelam.




“Aaaargggghhh… uuuh… gede sayang… uuuh… sssshhh… mmmghhhh…”


“Hash hash hassssh… apanyaa yang gede Inah… uuuhh…?”


"Mhhhmhhh.. kontol kamu. Aaahhhh mentok.. ssshhh.. duhh heuceut..Inah enak.. aaah… gateeel… memek inah digaruk… sodok… aaaah…”




Gerakan kami makin liar karena stimulus desah dan omongan kami yang makin jorok. Jangan tanya yang di dalam. Sumpah enak bangggeeeeet.




“Aaa… aing… bucaaaat… Inah gak kuaaat… ampun.” Ia berhenti naik turun, berganti dengan menggeol-mengebor… Sumpah ngilu banget. Si jago mengembang di dalam tersedak sperma yang mulai mendesak.


“kooon…toool… uuuuuh. Bucaaaat…”


“I..inah… aing… uuuh…. aaaah…. muncrat…”




Kami berteriak bersamaan.




Seeeer…. cuuur… cuuuur…. cairan basah dan hangat mengucur.




Srrrrr… Crot… crooot… croooot… Si jago muntah di dalam.




Bluuuuuphhh… hmmmmf… Ia ambruk di atas tubuhku.




Aku tak punya tenaga bahkan hanya untuk sekedar menggerakan tubuhku.




Kemudian gelap.

Posting Komentar

0 Komentar