JENDELA KENANGAN PART 9

 


 ( Roman Picisan )






Perlahan aku mulai lupakan semua hal-hal yang menyakitkan, aku coba nikmati kesendirianku, hhmmm gak sendiri juga sih tapi bersama mahkluk sebangsa lelembut. Aku fokuskan pikiranku pada pekerjaanku, dan setelah pulang aku sibukan diriku menemani Shina nonton film. Jika liburanpun aku coba jalan-jalan bersama Shina walaupun dalam radius tak terlalu jauh dari tempat jasadnya terbaring. Tapi jika berjalan dengannya aku harus menghindari keramaian, mencari tempat-tempat yang sepi, yang jauh dari pandangan orang. Bukan untuk mojok layaknya pemuda yang tak kuat menahan nafsu, tapi menghindari dari tatapan aneh orang yang menatapku.




Walaupun begitu tetap saja pasti orang-orang berfikir heran, ngapain coba seorang diri pergi ketempat sepi. Mungkin sebagian berfikir jika aku sedang ingin bertapa. Benar-benar membuatku terlihat gila.




Seishin apa kamu gak bosen sehari-hari kegiatannya begini mulu ? tanyaku saat sedang menemaninya nonton TV.




Maksudnya begini mulu ? tanyanya balik




Nonton TV, ke atap rumah, keluyuran gak jelas Cuma ngeliatin tetangga ngobrol ucapku.




Sebenernya bosen sih, tapi pas kamu pulang kerja jadi gak bosen jadi malu nih




Kenapa ? tanyaku sedikit terbata.




Kamu pikir enak apa sendirian, sepi walaupun di tengah keramaian. Untung ada kamu yang bisa ngerasain keberadaan aku. Sendirian itu lebih menyakitkan dibanding dengan mendapatkan luka separah apapun. Manusia gak akan pernah bisa menang dari rasa kesepian. Dan sekarang ada yang menemaniku setiap hari, Tuhan memang menjawab doaku dengan caraNya sendiri. Terima kasih sudah mau nemenin aku Sam, kamu adalah seseorang yang menyelamatkanku dari neraka yang bernama kesepian ucapnya terdengar sedikit lirih, mendengarnya berkata begitu, seperti ada sesuatu yang hangat menjalar ke hatiku. Aku juga gak tau bagaimana rasanya selama 2 tahun berdiam diri tanpa ada yang menemaninya.




Aku juga terima kasih untukmu seishin, sejak kedua orang tuaku meninggal pada sebuah kecelakaan 4 tahun yang lalu aku merasa sepi, tapi untunglah tak lama setelah kepergian orang tuaku, aku mengenal Via dan dia selalu menemani hari-hariku. Dan setelah hubungan kami kandas, aku seolah kehilangan satu-satunya harapanku untuk menemani sepiku ucapku, sejenak kuhela nafas panjang.




Tapi saat aku mulai putus asa, aku bertemu denganmu. Walaupun awal-awal sempet takut juga sih, takutnya ilang ganti jadi jengkel wajahnya terlihat kesal mendengar ucapanku.




Lalu buat apa kamu berterima kasih ? tanyanya sewot




Paling gak, sekarang ada sesuatu yang bisa aku tertawakan keningnya mengkerut heran.




Apa maksudmu Sammmm ucapnya setengah mengerang, sorot matanya seperti ingin mengeluarkan api.




Aku hanya tersenyum menatapnya, tatapan bengisnya perlahan berubah menjadi sayu namun tajam. Dapat jelas kulihat bayanganku terpantul di pupil matanya yang nampak berbinar. Perlahan wajah kami mendekat, pipinya terlihat merona, dapat kurasakan deru nafasnya walaupun masih ragu arwah bisa bernafas.








Tatap matamu bagai busur panah


Yg engkau lepaskan ke jantung hatiku


Meski kau simpan cintamu masih


Dekap nafasmu wangi hiasi suasana


Saat ku kecup manis bibirmu​








Tanpa kusadari bibirku telah bertemu dengan bibirnya, lembut, hangat. Shina mulai memejamkan matanya, dapat kurasakan jemarinya mencengkram lenganku, semakin lama semakin keras. Seperti ada sesuatu yang mengalir dari tiap-tiap sentuhannya, mengalir menuju satu muara di hatiku.








Aku berdansa di ujung gelisah


Diiringi syahdu lembut lakumu


Kau sebar benih anggun jiwamu


Namun kau tiada menuai buah cintaku


Yg ada hanya sekuntum rindu​








Persetan dengan rasa bersalah, persetan dengan keadaannya dan persetan dengan statusnya. Yang jelas tergambar kini adalah seorang wanita yang selalu membuat gaduh rumahku setiap malam. Yang membuatku bangun 1 jam lebih awal dari biasanya, yang membuatku terlihat gila di depan orang banyak.








Malam-malamku bagai malam seribu bintang


Yang terbentang di angkasa bila kau disini


tuk sekedar menemani, tuk melintasi wangi


Yang slalu tersaji di satu sisi hati​








Kuraih tangan yang mencengkram lenganku, kurentangkan jari-jariku dan jemarinya mulai mengisi sela-sela jariku. Aku genggam erat jemarinya, seraya menikmati lembutnya desiran bibir manis yang mengalun lebut di bibirku. Hingga aku tersadar dan melepaskan kecupan kami dan juga genggaman tangan kami, kulihat Shina tertunduk dengan mata masih terpejam.




Maaf.. belum sempat aku meneruskan kata-kataku, telapak tangan Shina menyentuh wajahku pelan, sangat lembut, seolah member isyarat agar aku tak berkata apapun.




Kupandangi wajahnya yang tertunduk, masih dengan mata terpejam. Terlihat jelas rona merah di kedua pipinya, kami terdiam untuk beberapa saat. Sampai ketika ia mengangkat wajahnya dan tersenyum manis dihadapanku.




Aku gak tau harus ngomong apa Sam ucapnya setelah beberapa saat terdiam




Sudahlah lupakan apa yang baru terjadi ucapku, aku mulai tersadar dengan statusnya yang sudah bertunangan, pastilah mereka saling mencintai. Walaupun hati kecilku mulai menginginkannya untuk tetap seperti ini.




Sam panggilnya seraya mencondongkan tubuhnya, yang kujawab dengan kedua jariku menyentuh keningnya. Aku pergi ke kamar tanpa memperdulikan apa yang kini ia pikirkan, aku harus melupakan kejadian barusan dan kembali seperti sebelumnya.




Kucoba pejamkan mataku tapi selalu terbayang betapa lembutnya bibir Shina. Hatiku seperti dihujami rintik-rintik air yang jatuh dari atas tebing, rasanya begitu menyiksa, terselip keinginanku untuk mengakui bahwa aku mulai mencintainya. Tapi aku sangat takut, aku takut gagal lagi, hanya ada dua pilihan untuk Shina, mati atau sadar. Dan keduanya gak ada yang berpihak padaku, jika dia mati pastilah aku sangat kehilangan dan bila ia sadar sudah pasti ia akan menikah dengan tunangannya.




Kedua hal itu pasti membuatku kehilangan dirinya, aku coba tahan gejolak yang meluap-luap dihatiku, aku coba lupakan peristiwa tadi. Tanpa sadar keringatku bercucuran deras, nafasku menjadi berat. Bayang-bayang wajahnya berputar-putar di kepalaku, ingin sekali aku lepas otakku dan menghapus bayangannya, atau aku hancurkan saja otakku.




Sudahlah ungkapkan saja perasaanku, toh masalah perasaannya itu bukan urusanku. Terserah dia mau mencintaiku atau tidak, tapi apa gak nyesek kalo bertepuk sebelah tangan. Ah sepertinya gak bertepuk sebelah tangan deh, kalo bener pasti tangannya sudah membekas merah di pipiku alias di gaplok. Toh nyatanya dia malah ikut menikmati percumbuan kami. Yakin dia ikut menikmati, dia kan arwah mana bisa ngerasain sesuatu di tubuhnya. Bisa kok tapi hanya sentuhanku saja yang dapat ia rasakan, buktinya dia hanya bisa menyentuhku bukan.




Oke bisa aku asumsikan kalo dia juga mulai memiliki rasa kepadaku, tapi yang jadi masalah dia itu udah punya tunangan. Bagaimana perasaanku bila nanti datang kepesta pernikahan, waktu pernikahan Via hampir saja aku hancur, untung ada Shina yang menghibur, nah kalo pernikahan Shina, siapa yang mau menghiburku ketika menghadirinya, masa aku harus nyari roh gentayangan lagi untuk menghiburku.




Siapa tau mereka gak jadi nikah, siapa tau dia berani memutuskan pertunangannya. Toh aku juga gak tau takdir berkata apa jika kami berdua ternyata saling mencintai. Tapi satu yang jelas, aku gak bisa menerima kenyataan pahit bila mereka berdua nikah.




Eh tunggu, bukankah Shina pernah bilang, seandainya dia mati dan rohnya ditarik ke langit, dia akan menganggap aku orang yang paling disayangi untuk mengucapkan salam perpisahan, tapi dia mengucapkannya dalam keadaan mata terpejam sambil membayangkan orang yang sangat disayangi, bukan aku. Pasti tadi saat menciumku dia sedang membayangi tunangannya, karna matanya terpejam dan tidak membiarkanku berkata-kata untuk beberapa waktu. Ah sudah pasti itu, berarti dia tidak mencintaiku, aku hanya terlalu pede saja. Oke saatnya tidur dan saat mataku terbuka aku sudah melupakan kejadian yang aku alami tadi dan semua perasaanku terhadap Shina.






*********************************************






Sabtu pagi yang cerah






Lagi pain Sam ? Tanya Shina yang melihatku sedang memperhatikan tukang bangunan di atap rumah. Tak aku jawab hanya kuberi isyarat untuk melihat kearah tukang bangunan bekerja.




Ohh, biar apa ? tanyanya kembali, tapi aku hanya diam tak mau menjawab.




Ayo masuk deh kalo gitu ucap Shina seraya menarikku masuk ke dalam rumah.




Apa-apain seishin omelku kesal




Sekarang jawab, kan udah gak ada yang liat kamu ngomong sendiri kalo disini ucapnya bertolak pinggang, matanya melotot tajam.




Biar enak aja klo kita duduk disana ucapku.




Baik banget sih ucap Shina gemas mencubit kedua pipiku. Aku hanya berusaha melepaskan cubitannya.




Sepertinya dia telah lupa dengan kejadian beberapa waktu yang lalu, apa dia hanya berpura-pura lupa. Sepertinya gak deh, pasti sudah lupa dia. Walaupun aku berusaha keras melupakannya tapi kelembutan bibirnya masih terasa jelas di bibirku. Genggaman erat tangannya masih membekas di sela jemariku.




Entah apa yang membuatku tak bosan melakukan aktifitas yang sama setiap hari bersama Shina. Aku rasa Shina juga gak bosen dengan hal-hal seperti itu, bisa aku lihat dari ekspresinya setiap menjalani aktifitas-aktifitas tersebut bersamaku.




Mending kamu buat dua lantai aja, terus di lantai 2 ada koridor gitu, kan enak tuh kalo nongkrong disana ucapnya.




Ngomong sih enak ucapku kesal, dia hanya tersenyum kecut.




Jalan-jalan yuk Sam ajaknya.




Kemana ?




Kaprina, nonton bola




Oke aku ikuti apa maunya, sekalian aku olahraga, aku pakai sepatu ket yang lama tak kupakai. Berlari bersama Shina menuju kaprina, sebuah lapangan sepak bola. Setengah jam aku berlari dan sampailah pada tempat tujuan, huh lelahnya sudah lama sekali aku tidak lari pagi. Tapi arwah pecicilan itu sama sekali gak nunjukin kelelahannya, keringatpun gak ada yang netes, tapi kenapa air mata malah bisa keluar ya.




Ramai sekali tempat ini, ya memang tempat ini di jadikan base camp untuk orang-orang sekitar berolah raga. Banyak tukang dagangan berjejer di sekitar pinggir lapangan. Dan nampaknya pertandingan sepak bola sudah di mulai sedari tadi.




Sam, itu ada tukang masker Sam aku hanya meliriknya sebentar dan kembali fokus ke pertandingan yang kutonton.




Kamu beli lah satu, buat nutupin mulut kamu, jadi orang gak ada yang tau kalo kamu lagi ngomong sama aku. Bete nih gak ada temen ngobrol ada aja nih akalnya gadis bayangan. Dari pada aku diteror oleh tingkah pecicilannya yang bisa membuatku celaka, aku beli masker lalu kututupi mulutku dengan itu.




Nah sekarang kamu mau ngobrol apa ? tanyaku sedikit ketus.




Bentar ya, belum ada topik, aku juga lagi serius nih nonton bola ucapnya enteng, seolah gak punya beban sama sekali. Bener-bener bikin jengkel nih, musti make jimat nih ngadepin mahkluk gentayangan seperti ini.




Sam, kamu dukung tim yang mana ? tanya Shina setelah beberapa saat fokus menonton, aku pikir sejenak melihat kedua tim yang bertanding.




Yang kostum putih ucapku, sambil duduk di pinggir lapangan.




Oke aku hitam ucapnya, peduli amat dia mau dukung siapa.




Taruhan yuk ucapnya




Emang apa yang kamu punya ? ledekku.




Kalo aku kalah aku bayarnya pas aku sadar ucapnya enteng.




Kalo kamu menang ? tanyanya.




Kamu malam ini harus bergadang nemenin aku nonton film




Kalo aku yang menang ?




Mau kamu apa ?




Jangan tinggalin aku jawabku pelan. Maksudku eeee kamu beri aku tiket konsermu gratis saat kamu sadar ucapku meralat jawabanku barusan.




Sejenak Shina menatapku tajam, sorot matanya mengingatkanku saat sebelum kami berciuman, sebelum ia memejamkan matanya saat itu. Oke jawabnya singkat.




Yang spesial ya ucapku. Shina hanya mengangguk.




Dasar arwah pecicilan, gak nonton film, gak nonton bola tetep aja berdiri pecicilan di sampingku. Apa lagi kalo ada satu peluang terbuang percuma dari team yang didukungnya, pasti deh teriak-teriak gak jelas. Untunglah yang bisa melihatnya hanya aku, hhhmmm aku jadi berfikir bagaimana kelakuannya selama ini sebelum rohnya keluar ya. Apa sama pecicilannya dengan saat ini, aku rasa gak deh, pasti dia sangat menjaga penampilannya di depan umum.




Tembaaaaakkkk teriak Shina seraya kakinya mengayun mengarah ke kepalaku, untung saja reflekku sangat cepat langsung menunduk menghindari sepakkannya. Kebanyakan gocek sih, ****** bener dah maki Shina, aku hanya memicingkan alis menatapnya heran.




Sori bro, gak kena kan ucap Shina ketika melihat ekspresi gak sukaku dengan tingkahnya.




Dan pertandinganpun berakhir untuk keunggulan team berkosum hitam, sepertinya malam minggu harus kuhabiskan dengan wanita astral ini. Aku sudah membayangkan berbagai macam hal yang gak ngenakin yang bakal terjadi nanti malam, pasti mataku bakal di colok saat mulai menutup, atau menerima segala bentuk pukulan dan tendangannya saat film action. Sepertinya aku musti pasang kawat berduri untuk memisahkan tempat duduk kami nanti malam, tapi percuma juga sih pasti menembus.

Posting Komentar

0 Komentar