JENDELA KENANGAN PART 7

 


 ( Biasa Aja )








Di sebuah kamar hotel, aku sedang asik memandang kamar hotel dengan cahaya remang. Setelah hampir satu jam bergemuruh dalam desah bersama Ica. Sedangkan Ica sudah sibuk dengan mimpi manisnya setelah bermandi peluh. Tubuh kami masih bugil, AC dengan tempratur 16 C tak cukup memberi kesegaran bagi kami yang baru bermain dengan api birahi, ditambah musim kemarau panjang.




Pikiranku menerawang jauh kedepan membayangkan baik-buruknya hal yang kini aku lakukan dengan Ica. Walaupun sebentar lagi dia akan bercerai, dan tak dapat kupungkiri, perlahan memori-memori masa laluku bersamanya kini terus berdatangan. Rasa yang dulu tertinggal kini seperti kembali lagi, untuk kembali mengukir cerita kami selanjutnya.




Tapi apa ini baik untukku, apa ini juga baik untuknya. Jujur saja walaupun aku yakin mulai mencintainya kembali dan begitu pula dengannya, tapi aku masih berfikir kalau semua ini hanyalah sebuah pelampiasan semata. Masih ada sedikit keraguan di hatiku jika yang kami jalani saat ini adalah sebuah ketulusan, aku merasa ada yang hilang dari kami yang dulu. Kami yang sekarang setiap memiliki waktu untuk bersama selalu diakhiri dengan pergumulan nafsu.




Walaupun sex adalah bagian dari cinta, tapi cinta tak melulu harus diakhiri dengan sex. Apa aku hanya dijadikan sebuah pelarian hasrat olehnya, dan apakah Ica hanya aku jadikan peliarian cinta. Sejak sidang pertama percerain Ica dengan suaminya, Ica memilih pisah rumah dan menyewa sebuah rumah di daerah kalisari, tak begitu jauh dari kediamanku di cibubur. Dengan begitu kami jadi banyak memiliki waktu untuk bersama. Kami bebas bertemu kapanpun kami mau, karna secara agama mereka sudah bercerai, tinggal menunggu pengesahan dari pihak pengadilan saja.




Sudah dua bulan aku dan Ica merangkai kembali memori masa lalu, walaupun dengan sedikit keraguan di hatiku, tak pernah aku ungkapkan keraguanku ini kepadanya. Aku takut menyinggung perasaannya. Dan tinggal satu kali lagi mereka menjalani persidangan, untuk memutuskan perceraian mereka dan apa-apa saja yang musti diselesaikan dalam perceraian mereka.






" Jumat sidang terakhirku, minggu kita ketemu di sini ya kak " ucapnya ketika aku hendak menurunkannya di depan sebuah mall di daerah cijantung.


" Ya, semoga lancar ya sidangnya " ucapku. Setelah memberi sebuah kecupan mesra di pipi, Ica hendak membuka pintu mobilku... 


" tunggu Ca " ucapku sebelum Ica membuka pintu mobilku.


" Iya, kenapa ? " tanyanya menoleh kearahku.


" Kamu yakin dengan apa yang kamu jalani saat ini ? " tanyaku. Tatapan matanya menunjukan jika dia terkejut dengan pertanyaanku. Diurungkan niatnya untuk membuka pintu mobilku, disandarkannya kembali tubuhnya di jok mobil.


" Kenapa kakak nanya begitu ?


" Kamu kan selalu bilang, sebenarnya suamimu adalah pria yang baik. Hanya dia tidak bisa menerima keadaannya. Bukankah katamu, kalian sebenarnya saling mencintai walaupun akhirnya harus seperti ini " ucapku, sangat berlawanan dengan perasaanku tapi sangat sejalan dengan keraguanku. Aku hendak memastikan apa yang masih aku ragukan. Ica hanya tertunduk sejenak meresapi perkataanku barusan.


" Ya memang, tapi aku gak bisa seperti ini terus. Apa kakak tega kalau apa terus menerus disiksa seperti ini " ucapnya terdengar lirih.


" Apa gak ada pembicaraan yang menuju perdamaian " ucapku, lagi-lagi berlawanan dengan perasaanku yang sebenarnya tidak ingin dia berdamai dengan suaminya. Ya hanya untuk menjawab keraguanku akan perasaannya, setelah aku yakin, aku juga akan meyakinkan perasaanku bahwa semua ini bukanlah sebuah pelarian untuk kami berdua.


" Dia selalu menginginkan opsi perdamaian, tapi aku sudah terlanjur sakit, dan aku sudah terlanjur bertemu kembali dengan kakak "


" Jadi bila kita gak bertemu, masih ada kesempatan bagi suamimu ? "


" Entahlah, aku gak bisa jawab apa yang gak tertulis oleh takdir kak "






Sejenak aku berfikir, menatap lalu lalang orang disamping mobilku " Apa yang kamu rasakan saat bersamaku ? " tanyaku.






" Senang, aku merasa seperti 8 tahun lebih muda " jawabnya.


" Kakak sih dulu abis lulus langsung ngilang aja, gak ada kabar, gak pernah main ke sekolah, padahal sering lho alumni-alumni seangkatan kakak main kesekolah. Aku selalu berharap kakak datang tapi gak pernah sekalipun kakak datang. Yang namanya kehidupan pasti berjalan terus, perlahan aku lupa dengan kakak dan bertemu dengan suamiku yang sekarang " sambungnya.


" Lalu ? " tanyaku


" Seandainya kita gak lost contact, mungkin aku gak akan menikah dengannya dan gak akan tersiksa seperti ini " ucapnya.


" Katamu, kamu gak bisa jawab apa yang gak tertulis oleh takdir ? " tanyaku kembali.


" Hehehe, iya ya " Ica menyengir bingung


" Jadi seandainya kita gak lost contact, kita juga gak tau nasib kita sekarang seperti apa kan " ucapku dan di jawab hanya dengan senyuman.


" Ya udah ya, jangan lupa hari minggu, daah " ucap Ica mengakhiri pembicaraan kami dan keluar dari mobilku.






**************************************






" Hai seishin " sapaku saat aku masuk ke rumah, seperti biasa Shina sedang asik dengan layar kaca di hadapannya.


" Eh udah pulang, jalanan lancar " ucap Shina tanpa menoleh kearahku.


" Lancar lah, hari minggu " ucapku, lalu duduk di sampingnya.


" Gimana perkembangan kalian ? " tanyanya dengan gaya seorang detektif, ibu jari dan telunjuknya ditempelkan kebahu.


" Hari jumat mereka sidang terakhir dan minggu kami akan bertemu di tempat biasa " jawabku.


" Lalu ? " masih dengan gayanya.


" Itu aja "


" Masa itu aja "


" Terus mau apa lagi "


" Kenapa kamu masih terlihat bingung gitu, bukannya sebentar lagi kalian bisa bersatu ? " tanyanya.


" Aku bingung jika kami bersatu dan menikah, pasti dia juga tinggal disini, lalu bagaimana dengan kamu " ucapku tidak serius, sedikit menyindirnya.


" Oh iya ya, mending kalian menikahnya setelah aku sadar aja " ucapnya. Aku kernyitkan dahi menatapnya penuh keheranan.


" Kapan kamu sadarnya ? "


" Hanya ada dua pilihan, sadar atau mati. Tapi yang pasti keduanya membuat rohku pergi dari hidupmu. Tinggal tunggu saja salah satunya " ucapnya, kali ini terdengar lirih.


" Kamu gak senang kalau kamu sadar ? " tanyaku memandang wajahnya yang tiba-tiba lesu.


" Kalau sadar sih seneng, tapi kalau mati dan belum sempat aku mengucapkan kata perpisahan kepada orang-orang yang aku sayangi ? " ucapnya, matanya mulai sendu.


" Pasti bisa lah, kamu harus yakin "


" Sudah berapa bulan kita bertemu ? " tanyanya.


" Sekitar 3 bulan " jawabku.


" Dan sudah berapa percobaan yang kita lakukan Sam ? "


" Aku tidak menghitungnya "


" Apa hasilnya ? "


" Hanya dapat menyentuhku saja "


" Semua hasilnya nol Sam, percobaan aneh yang kita lakukan, dari yang tengah malam aku berjalan mengelilingi hutan cibubur, masuk kamar mayat, hingga membuat lingkaran setan sekalipun semua itu Cuma hoax. Lagian kamu percaya aja sih sama semua itu, kamu kira aku gak takut apa ngelakuin semua percobaan anehmu itu " ucapnya sedikit emosi


" Apa yang membuatmu takut ? " tanyaku


" Kamu kira aku gak takut apa malam-malam pergi kehutan sendirian, masuk kamar mayat, hendak dipertemukan dengan raja iblis. Aku ini perempuan, kalau aku ketemu setan gimana"


" Kamu kan roh, masa takut sih, kamu kan sejenis " mendadak heran.


" Apa maksudmu dengan sejenis " omelnya.


" Jujur aja sih, sebenarnya aku gak yakin dengan semua yang kita lakukan. Itu hanya kepercayaan-kepercayaan kuno yang gak terbukti kebenarannya, dan gak masuk akal buatku. Aku Cuma coba memberimu harapan aja " ucapku. Shina melotot tajam.


" Jadi selama ini ? " ucapnya sedikit terbata.


" Bisa melihat dan menyentuhmu adalah hal yang gak masuk akal buatku. Dan menurutku apa salahnya mencoba hal yang gak masuk akal kepadamu, karna sama-sama gak masuk akal. Bukannya minus kali minus sama dengan plus " ucapku.


" Jadi, apa masih ada harapan buatku ? " tanyanya lirih.


" Terus terang aku gak yakin " jawabku pelan.


" Berarti aku harus menunggu dua kemungkinan itu saja tanpa ada harapan lainnya ? "


" Sepertinya begitu "






Shina tertunduk lesu, matanya semakin berkaca-kaca sepertinya sebentar lagi akan tumpah air matanya. Aku tidak tega tatapan matanya yang nanar. Entah apa yang mendorongku hingga aku tarik bahu Shina dan merangkulnya, aku sandarkan kepalanya di bahuku. Terdengar isak tangisnya, tubuhnya sedikit bergetar.






" Jadi sebentar lagi aku akan kembali kesepian seperti sebelum bertemu denganmu " ucapnya semakin lirih. Entah menagapa mendengar ucapnya hatiku berdenyut lirih, tak sampai hati untuk membiarkannya kembali kerumah sakit dan duduk berdiam diri di sebelah jasadnya.


" Gak secepat itu kali, akan ada tahapan-tahapan yang musti aku lalui jika Ica resmi bercerai. Lagi pula aku masih ragu dengan hatinya dan juga hatiku. Aku masih gak tau apakah ini hanya merupakan pelarian kami berdua saja " ucapku.


" Berapa lama ? " tanyanya.


" Sampai kamu sadar atau ..... " aku tidak sampai hati untuk mengucapkan kata 'mati' pasti dia juga sudah tau.


" Hmmm yakin nih " Shina bangkit dari bahuku lalu menatapku penuh harapan. Aku hanya mengangguk yakin.






Aku tersenyum lalu memegang kepalanya " Seandainya kamu mati dan belum sempat memberi salam perpisahan dengan kerabatmu, suatu saat kalian juga pasti bertemu, semua orang pasti mati seishin " ucapku




" Iya juga sih, gini aja deh " Shina menarik tanganku yang ada di ujung kepalanya lalu menggenggamnya. " Aku anggap kamu orang yang paling aku sayangin dan bila aku mati aku akan mengucapkan salam perpisahan padamu saja " ucapnya. Sumpah aku sangat terkejut mendengar ucapannya, diiringi dengan senyum yang sangat manis membuat hatiku bergetar hebat.






Aku tak bisa berkata apapun, menatap indah binar matanya. Kata-katanya yang baru saja ia ucapkan bagai angin kutub yang dapat membekukan apapun yang dilewatinya. Tubuhku terasa dingin dan kaku, bahkan aku tak bisa merasakan denyut nadiku.






" Kok malah bengong ? " ucapnya, melepas genggaman tangannya. " Jangan pede dulu lah, saat rohku ditarik ke langit, aku akan mengucapkan salam perpisahan dengan mata terpejam, dan membayangkan seolah-olah aku mengucapkannya pada orang yang aku sayangi, bukan kamu " sambungnya.


" Baka " cibirku pelan.


" Hei Sam, kamu belum ngantuk kan ? " tanyanya, aku jawab dengan menggelengkan kepala.


" Ke atap rumah yuk, filmnya gak ada yang bagus " ajaknya.


" Hei, kamu tau ini baru jam berapa, masih banyak tetanggaku yang seliweran di depan rumah. Apa jadinya kalau mereka melihatku di atap rumah " ucapku menolak ajakannya.


" Kalo gitu main piano aja yuk " ajaknya kembali


" Emang kamu udah bisa nyentuh piano ? "


" Kamu lah yang main "


" Aku Cuma bisa satu lagu yang waktu itu aku mainkan saja "


" Gak papa, aku suka kok lagunya, kan waktu itu kamu belum selesai mainnya " ucapnya dengan senyum menyeringai.


" Via aja gak suka tuh lagu, dia Cuma ngajarin aja setelah itu dia gak pernah mau dengerin aku mainin lagu itu "


"Itu kan Via, bukan aku " ucapnya kembali.


" Mau ngejek pasti nih " ucapku penuh kecurigaan.


" Enggak kok, serius deh " ucapnya mengacungkan kedua jari telunjuk dan tengah membentuk V. aku Cuma terdiam memperhatikan raut wajahnya, menebak-nebak apa yang sedang ia pikirkan. Kualihkan pandanganku kearah TV menghindari permintaannya, tapi dia tetap saja ngotot.


" Ayolah Sam, aku gak akan mengejekmu, suer, sumpah. Aku sangat penasaran sama lagu yang kamu mainkan waktu itu..... " kedua jariku menyentuh keningnya, seketika itu ocehannyapun berhenti.

Posting Komentar

0 Komentar