SEMUANYA BERKAT MAMIE (IBU TIRIKU) PART 8

 


Aku bukan seorang ksatria seperti dalam legenda atau mitologi yang senantiasa berjuang tanpa pamrih. Karena aku hidup di abad milenium. Abad yang membiasakan manusia berjuang dengan pamrih.




Aku memang ingin membimbing Suzan ke jalan yang bersih dari narkoba. Tapi keinginan Suzan agar dia menjadi milikku seperti dua orang kakaknya (Merry dan Gina), seolah “membangunkan harimau tidur”. Karena aku diam - diam mengagumi kecantikan dan bentuk badannya yang tinggi langsing itu. Koleksiku banyak yang chubby, namun sedikit sekali yang berperawakan tinggi semampai seperti Suzan ini.




Ketika kepala Suzan berada di atas pahaku, memang aku punya perasaan kasihan padanya. Karena menurut pengakuannya sendiri, dia hanya membutuhkan kasih sayang, agar tidak jadi pemakai narkotik lagi.




Oke. Kalau cuma itu yang diinginkannya, aku akan mengalirkan kasih sayangku padanya. Tapi kenapa keinginannya untuk menjadi milikku, membuatku seolah “pucuk dicinta ulam tiba” ?




Dan kini aku mengalaminya secara jelas. Bahwa Suzan sangat mencintaiku. Terbukti dengan tak pedulinya Suzan pada sopir yang tengah mengemudikan mobilku, berkali - kali ia mencium bibirku dengan mesranya. Berkali - kali pula ia membisiki telingaku, “Aku sudah semakin dalam mencintai Abang ... aku ingin menjadi milik Abang ... “




Lalu ia merebahkan kepalanya di atas kedua pahaku kembali. Sambil meremas - remas tanganku. Dan ketika tanganku menyelinap ke balik baju kaus tanpa lengannya, lalu memegang payudaranya yang tak berbeha ... ia menciumi lenganku. Pertanda ia suka sekali payudaranya kupegang dengan lembut. Sementara payudaranya yang berukuran sedang itu pun mulai menghangat.




Di tengah perjalanan pulang ke kotaku, kami beristirahat sambil mengisi perut di sebuah restoran yang berkaliber internasional. Di lantai dua restoran itu pun Suzan semakin memperlihatkan perasaannya padaku. Bahwa dia benar - benar mencintaiku dan bertekad untuk menjadi milikku. Dengan atau pun tanpa pernikahan yang sah.




Jujur, aku terhanyut dibuatnya. Aku merasa kejam sekali kalau mengabaikan cinta adik Merry itu.




Ketika hari mulai senja, kami pun tiba di hotelku. Suzan langsung kubawa ke kamar pribadi yang berdampingan dengan ruang kerjaku.




Begitu berada di dalam kamar pribadiku, Suzan tidak berkomentar sepatah kata pun. Maklum dia adik seorang konglomerat. Yang mungkin sudah terbiasa melihat keadaan semewah apa pun. Ia hanya berkata, “Bang ... aku mau mandi ya. “




“Iya. Di kamar mandi banyak handuk kimono baru. Nanti pakai kimono yang baru aja, “ sahutku.




“Iya. Abang gak mau nemenin aku mandi ?” tanyanya dengan sikap manja yang menggemaskan.




“Mau ditemenin ? Ayo deh ... aku juga ingin melihat sekujur tubuhmu yang sudah menjadi milikku, “ sahutku sambil melepaskan sepatu dan kaus kaki, kemudian menggandeng pinggang Suzan menuju kamar mandi.




Di dalam kamar mandi, tanpa canggung - canggung Suzan melepaskan celana jeans dan baju kaus tanpa lengannya. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Bersamaan dengan itu aku pun melepaskan segala yang melekat di tubuhku, sehingga aku sudah telanjang duluan. Lalu Suzan pun melepaskan celana dalamnya.




Sebentuk tubuh tinggi semampai berkulit putih kekuningan telah berdiri di depanku. Tubuh yang sempurna menurut ukuran manusia biasa. Tapi aku tidak terlalu memperhatikannya, agar Suzan tidak canggung.




Aku menggerakkan keran shower air hangat. Lalu shower di atas kepala kami memancarkan air hangatnya. Setelah kepala dan badan kami basah, kumatikan dulu shower itu, lalu kuambil botol sabun shower. Dan aku pun menyabuni sekujur tubuh Suzan dengan telaten, seperti sedang memandikan anakku sendiri.




“Seumur hidup, baru sekali ini aku dimandikan oleh cowok Bang, “ ucap Suzan ketika aku sedang menyabuni paha padat dan putih mulusnya, sampai ke pangkal pahanya.




“Tubuhmu mulus dan indah sekali Sayang. Mmm ... jembutnya mau dicukur ?” kataku sambil menunjuk ke arah kemaluannya yang berjembut lebat sekali.




“Terserah Abang, “ sahutnya sambil memegang batang kemaluanku yang masih “tagak tali” (belum ereksi total), “Jembut Abang juga lebat gini. Gak dicukur juga ?”




“Kalau cowok sih jarang yang suka nyukur jembutnya. Kalau cewek memang perlu dibersihkan ... biar enak jilatinnya. “




“Iiih ... memangnya Abang mau jilatin memekku ?” tanyanya sambil meremas - remas batang kemaluanku perlahan. Lalu melepaskannya




“Iya. Memekmu pernah merasakan dimasuki yang seperti ini ?” tanyaku sambil memegang batang kemaluanku yang mulai ngaceng ini.




“Belum pernah, “ Suzan menggeleng, “aku jadi pemakai narkotik juga hanya dengan teman - teman cewek Bang. Lagian aku pakai narkotik juga bukan untuk obral memek. “




“Tapi nanti kontolku ini akan dimasukin ke dalam memekmu. Gimana ?”




“Kalau sama kontol Abang sih silakan aja. Abang kan cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. “




“Umurmu sekarang sudah duapuluhdua tahun kan ?”




“Iya. “




“Memangnya belum pernah pacaran ?”




“Belum. Kehidupanku dikekang sekali Bang. Gak boleh sembarangan bergaul. Apalagi waktu suami Mbak Merry masih hidup. Ke mana - mana dikawal bodyguard, sejak kecil sampai dewasa. Bagaimana aku bisa bergaul sama cowok ?”




“Ya sudah ... bersamaku kamu aman dan nyaman Sayang, “ ucapku sambil mencium pipi Suzan.




“Iya ... aku memilih Abang karena ada dasarnya yang kuat. Bahwa Abang ini bukan hanya ganteng dan penuh kharisma, tapi juga baik hati dan bertanggungjawab. Aku akan selalu nyaman jika berdekatan dengan Abang. “




Lalu tubuh kami dibilas dengan air hangat shower, sampai bersih dari air dan busa sabun. Kemudian kuambil silet dari lemari kecil di dinding kamar mandi. Dan dengan cermat kucukur jembut Suzan sampai benar - benar bersih dari rambut keriting itu.




Setelah bersih, kemaluan Suzan kusemptor dengan air hangat, agar jangan ada potongan rambut yang nyelip ke sana - sini.




Aku pun berdiri sambil memegang sepasang bahu Suzan. “Sekarang kamu semakin cantik, karena memekmu sudah bersih sekali. Memangnya gak pernah dicukur ya ?”




“Nggak. Aku takut terkesan sering mainin memeki, “ sahutnya sambil mendekap pinggangku.




Setelah mengeringkan tubuh dengahn handuk, kupersilakan Suzan memilih sendiri kimono di lemari kaca.




“Gak usah pake celana dalam ?” tanyanya.




“Gak usah. Kan nanti juga mau telanjang lagi. “




“Abang mau buktikan keperawanan aku ya ?”




Sambil mengepit sepasang pipi Suzan dengan kedua telapak tangan, kujawab : “Aku hanya ingin melepaskan perasaan kangenku padamu selama ini. “




“Iya Bang. Aku juga ingin ngerasain bagaimana sih rasanya hubungan seks itu, “ sahut Suzan sambil memegang batang kemaluanku yang sudah lemas lagi ini. Tapi setelah dipegang oleh tangan Suzan, penisku mengembang lagi sedikit.




Setelah sama - sama mengenakan kimono, kuajak Suzan duduk di sofa bedroomku. Kuhidupkan mesin coffee makerku sambil bertanya, “Mau minum kopi ?”




“Boleh. Espresso aja, biar nggak ngantuk. “




Aku memang penggemar kopi, terutama kopi arabica. Karena itu di kantor perusahaan baruku, di private room ini dan bahkan di villa pun ada coffee maker. Supaya kalau ingin minum kopi tinggal nyalakan mesinnya, tanpa harus masak air di teko elektronik dulu.




Tak lama kemudian kuletakkan secangkir kopi untukku dan secangkir mini berisi kopi espresso buat Suzan, di atas meja kecil depan sofa yang sudah Suzan duduki.




Lalu aku pun duduk di samping kanan Suzan sambil bertanya blak - blakan. “Sudah siap untuk melakukan hubungan seks ?”




“Siap Bang. Tapi aku sama sekali belum pernah merasakannya. Jadi nanti kalau aku berbuat kesalahan, tolong betulkan aja ya. “




“Iya Sayang. Santai aja. Di sini duduknya, “ ucapku sambil menepuk pahaku sendiri.




Suzan tampak senang mendengar instruksiku untuk duduk di atas pangkuanku.




Lalu dia duduk di atas kedua pahaku. Yang kusambut dengan dekapan lengan kiriku, sementara tangan kananku langsung menyelinap ke balik kimononya. Langsung merayapi paha mulusnya sampai pangkal pahanya.




Lalu mulailah jemariku beraksi. Menggerayhangi kemaluannya yang baru dibersihkan jembutnya, membuat Suzan seperti terlena. Lalu menciumi pipi kiriku dengan hangatnya.




Terlebih setelah jemari tangan kananku mencari - cari dan menemukannya. Menemukan kelentitnya yang mulai kuelus - elus dengan ujung jariku.




Suzan pun mulai merintih erotis, “Baaang ... aaaaaah ... Baaaang ... geli Bang ... tapi enaaak Bang ... itilku ini geli banget, tapi enaaak ... aaaah ... Bang Saaam ... aku udah pengen nyobain vaginaku dimasukin penismu Baaang ... “




Mendengar keinginan Suzan itu spontan aku mengangkat badan Suzan sambil bangkit berdiri. Lalu membopongnya ke arah bed. Dan meletakkannya dengan hati - hati di situ.




“Lepasin dulu kimononya Sayang, “ ucapku lembut. Memang aku harus bersikap dan berperilaku lembut pada Suzan. Karena yang terpenting aku harus bisa membangun mentalnya menjadi prima. Hal itu penting untuk dirinya. Agar tidak mau lagi memakai narkotik untuk sekadar menenangkan hati dan pikirannya.




Sambil tersenyum manis Suzan melepaskan kimononya. Begitu pula kimonoku, cepat kutanggalkan sebelum naik ke atas bed.








Dalam keadaan seperti Adam dan Hawa waktu baru diturunkan ke permukaan bumi, adalah sesuatu yang indah tersemai di dalam hati nuraniku. Tentang menggiurkannya tubuh tinggi semampai yang sudah pasrah ini. Tentang cinta yang entah keberapa kalinya kurasakan meski tak mesti kuucapkan secara lisan. Karena belaian tanganku di rambutnya, pasti dirasakan olehnya. Bahwa belaian ini didampingi perasaanku.




Dan manakala mulutku terbenam di puting payudaranya yang sudah menegang, terdengar bisikan untuk kesekian kalinya di pendengaranku, “Bang ... aku cinta kamu Bang ... “




Lalu kujawab pernyataan itu dengan ciuman mesra di bibirnya. Dan tubuhku melorot jauh, sehingga wajahku mulai berhadapan dengan sesuatu yang paling indah di muka bumi ini. Sesuatu yang disebut kemaluan.




Feelingku tak mungkin menipuku. Bahwa gadis ini masih perawan. Meski keperawanan bukan syarat utama bagiku. Karena istri keempatku pun bukan perawan lagi ketika aku bersanding dengannya. Bahkan banyak nama perempuan yang kucatat di dalam hatiku, nama - nama yang tidak perawan lagi sebelum kugauli, namun mereka tetap kusayangi. Karena keperawanan hanya masalah jangat tipis yang disebut hymen. Yang biasa juga disebut jangat perawan.




Kenikmatan dan kepuasan bukan terletak di hymen. Buktinya aku tetap menggauli Mamie dan Merry dan Gina dan banyak lagi, meski jelas mereka bukan perawan lagi.




Maka ketika ujung lidahku mulai menari - nari di permukaan memek Suzan, hatiku tetap tidak menuntut bahwa Suzan harus masih perawan sebelum alat kejantatanku menerobos liang kewanitaannya.




Yang jelas Suzan sedang sangat membutuhkan kelembutan dan kasih sayang dari manusia yang disayangi dan dicintainya. Merry pun mengharapkan agar aku bisa membangun mental Suzan jadi kokoh dan tahan dari godaan narkotik terkutuk itu.




Dan aku senantiasa mengikuti keinginan Merry. Kenapa ? Karena aku bukan kacang yang lupa kulitnya. Kehidupanku mulai menanjak sejak Mamie mencurahkan segala kebaikannya agar aku menjadi orang sukses di kemudian hari. Lalu Merry hadir untuk membuatku bisa tancap gas. Bahkan lalu aku seperti pesawat terbang yang melesat dari bandara yang satu menuju bandara lainnya.




Maka di dalam hati aku tetap teguh memegang janjiku sendiri. Bahwa apa pun yang bisa kulakukan untuk membahagiakan Mamie atau pun Merry, akan kulaksanakan. Meski sesuatu yang sangat berat sekali pun, aku akan tetap melaksanakannya.




Lalu apa pula sulitnya untuk melindungi dan menyayangi Suzan, cewek yang cantik namun masih tampak polos ini ?




Tadi jelas benar apa yang diinginkan oleh Suzan ini. Dia bilang Bang Saaam ... aku udah pengen nyobain vaginaku dimasukin penismu Baaang....




Karena itu aku menjilati kemaluannya habis - habisan. Agar liang kemaluannya benar - benar basah dan siap dipenetrasi oleh alat kejantananku tanpa kesakitan.




Maka ketika lubang sempit yang akan kuterobos itu sudah benar benar basah, kurenggangkan sepasang paha putih mulus itu selebar mungkin. Kemudian kuletakkan moncong penisku di mulut vagina yang sudah kemerahan akibat gasakan lidah dan bibirku tadi itu.




Lalu dengan sekuat tenaga aku mendorong tongkat kejantananku. Dan ... berkat jam terbangku yang sudah tinggi, puncak penisku mulai melesak masuk ke dalam liang kewanitaan Suzan, meski baru masuk kepalanya saja. Maka alat kejantananku didorong lagi dengan sekuat tenaga. Makin jauh membenam ke dalam liang memek Suzan.




“Ooooh ... sudah masuk ya Bang ... “ ucap Suzan perlahan, nyaris tak terdengar.




“Iya Sayang ... baru sepertiganya ... sakit kah ?” tanyaku.




“Nggak ... “ sahutnya perlahan.




“Untuk yang pertama biasanya agak sakit. Tapi sakit sedikit sih tahan aja ya Sayang. “




“Iya Cinta ... lanjutkan aja ... gak sakit kok. “




Aku pun mendorong penisku lagi sampai masuk setengahnya. Dari situlah aku mulai start, untuk mengayun penisku perlahan - lahan dulu. Dalam jarak pendek - pendek pula, agar jangan sampai terlepas.




“Oooo ... oooooh Baaaang ... mu ... mulai enak Baaaang ... “ rintih Suzan sambil memeluk leherku, sambil merapatkan pipinya ke pipiku.




Penisku masih diayun terus, sementara liang kewanitaan Suzan pun mulai beradaptasi dengan ukuran penisku sedikit demi sedikit. Sehingga ayunan penisku pun mulai jauh jaraknya. Bahkan akhirnya, ketika kudorong penisku, moncongnya mentok di dasar liang memek Suzan. Berarti penisku sudah masuk semuanya. Dan aku pun bisa mulai mengentotnya dalam kecepatan normal.




Ketika aku mulai benar - benar mengentotnya, Suzan pun mulai berdesah - desah dengan mata kadang terpejam kadang terbuka.




“Aaaaa ... aaaaah .... Baaaang ... aaaaaah .... Baaaang ... aaaaaaah ... Baaaang ... aaaah ... aaa ... aaaaah ..... “






Lembaran baru pun mulai dibuka dan digoreskan.




Tentang tarian zakar di celah surgawi yang sempit namun nikmat tiada tanding. Tentang cinta seorang gadis yang pertama kalinya merasakan digauli lawan jenis.




Yang membuat sepasang mata indahnya seolah bersorot kosong.




Menatapku dengan aura cinta lugu.




Dan bibir sensualnya kadang terbuka kadang terkatup.




Kadang pula melontarkan kata cinta berulang kali.




Kadang mengandung tanya




Inikah surga dunia mahluk dewasa ?




Suzan ... Suzan ...




Aku pun merasakan aneka nikmat sentuhan tubuh kita yang tengah bersatu.




Di setiap sudut rahimmu yang nikmat tiada tara.




Di setiap geliatmu yang tanggap pada ayunan zakarku.




Dan gesekan demi gesekan menimbulkan arus indah.




Arus birahi insan dewasa.




Laksana saling kejar dalam pelukan ketat.




Hangat sekali.




Pekik lirihmu yang berirama, bak jerit burung camar mengejar ombak tiada henti.




Jangan dulu berhenti sebelum nikmat kita tiba di puncak.




Ujung paduan kesenangan yang dimanjakan.




Yang bercipratan peluh di sekujur tubuh.




Sampai tiba di pantai yang bernama kepuasan .....




Manakala entotan penisku dipergencar, alunan rintih Suzan pun ikut menyemarakkan pergelutan lorong kewanitaannya dengan alat kejantananku. “Baaaang... rasanya seperti melayang - layang gini ya Bang ... cintaku pun jadi bersayap. Ikut terbang bersama kepak sayapmu, Cinta ... pacu terus Abang Sayang ... aku sudah menjadi milikmu seutuhnya. “




Tak terhalang dengan keringat yang sudah membanjir, leher jenjangnya pun kujilati dengan penuh gairah birahi. Membuatnya makin menggeliat dan mendesah. Dengan kelopak mata kadang terkatup kadang terbuka.




“Jangan hentikan Bang ... gesek terus dinding rahimku dengan keperkasaanmu. Karena ini luar biasa nikmatnya ... geluti aku segagah mungkin ... sampai bisa merasakan indahnya ujung persetubuhan ini Bang ... aku bahagia karena telah menjadi milikmu ... dan semoga Abang pun tetap menjadi milikku ... jangan sampai tega meninggalkanku ... “




Lalu tubuh indah itu mulai menggelepar. Tanda - tandanya sudah kelihatan. Bahwa dia akan tiba di puncaknya yang paling penting buat sosok berjenis perempuan.




Aku pun tidak mau menunggu lebih lama lagi. Karena aku ingin menciptakan kesan terindah dari persetubuhan pertamaku dengannya.




Dan ... ketika tongkat kejantananku terbenam kencang sampai menyundul dasar liang kewanitaannya ... paduan kejut - kejut indah pun terjadi.




Maka berlompatanlah benih - benih manusia baru di dalam liang memek Suzan.




Lantas kami mengejut - ngejut bersama.




Croot ... crooooooottttt ... croott ... croooottt ... crooooooott ... croooooooootttttttttttttt ... !




Dan sama - sama terdampar di pantai bernama kepuasan. Ditemani rembesan keringat yang semakin membanjir.




Manakala zakarku dilepaskan, darah perawan pun tampak menciprati seprai putih.




Aku pun makin terharu. Karena di masa kini cewek berusia 22 tahun yang masih perawan, adalah sesuatu yang masih sangat langka.




Lalu kukecup bibir Suzan dengan kemesraan berbaur keharuan dan perasaan hormat. “Terima kasih Sayang. Kamu telah menyerahkan kesucianmu, sebagai milikmu yang paling berharga, “ bisikku sambil merapatkan pipiku ke pipinya yang masih basah oleh keringatnya.




Suzan memelukku erat - erat. Sambil berkata lirih, “Sekarang aku sudah jadi milik Abang. Aku hanya minta, jangan sia - siakan cintaku, ya Bang. “




“Lelaki paling bodoh di dunia kalau menyia - nyiakan cewek secantik kamu sih Sayang, “ sahutku sambil mengusap - usap perut Suzan yang masih berkeringat, “Ohya ... tadi terasa sakit nggak ?”




Suzan menjawab, “Sakit juga awalnya. Tapi lama kelamaan cuma enaknya aja yang terasa. “




“Lho ... tadi katanya nggak sakit. “




“Aku nggak mau dianggap cewek cengeng. Lagian aku ingin agar Abang tidak berkecil hati. Makanya kutahan aja sakitnya. Lagian gak sakit - sakit amat kok. Kalau Abang mau, boleh entot aku lagi sekarang. “




“Jangan dulu Sayang. Kan ada luka di dalam memekmu, akibat pecahnya jangat perawanmu. Nanti kalau lukanya sudah benar - benar sembuh, baru boleh bersetubuh lagi. “




“Iya deh. Aku sih akan nurut aja apa kata Bang Sam tercintaku. Ohya Bang ... harusnya yang jadi istri Abang itu aku. Mbak Merry dan Mbak Gina kan lebih tua dari Abang. Kalau aku lebih muda dari Abang. Idealnya aku yang jadi istri Abang kan ?“




“Hush ... jangan ngomong gitu di depan kakak - kakakmu. Nanti mereka marah. Apalagi Merry yang sudah jadi istriku yang sah. “




“Hihihihiiii ... di depan mereka tentu aja aku takkan ngomong gitu. Lagian dengan dijadikan simpanan Abang juga aku sudah bahagia kok. Nanti aku akan bersikap dan berperilaku sebagai ibu rumah tangga yang baik. Aku akan masak makanan kesukaan Abang. Akan mencuci dan menyeterika baju Abang. Akan membuatkan kopi kesukaan Abang. Banyak deh yang mau kulakukan nanti. Tapi aku mau ditempatkan di mana Bang ? Aku males tinggal di Jakarta lagi. Takut kebawa teman - teman yang masih jadi pemakai narkotik. “




“Kalau kutempatkan di villa mau gak ?”




“Sepi dong. Kalau villa kan biasanya di luar kota. “




“Hanya lima kilometer dari batas kota. Ada pembantu dua orang. Ada satpam beberapa orang, yang selalu menjaga villa itu. “




“Kalau hanya lima kilometer dari batas kota, Abang bisa tiap hari nengok aku dong. “




“Ya tergantung kesibukanku Sayang. Villa itu megah sekali kok. Dindingnya dilapisi batu pualam semua. Fasilitas di dalamnya pun luar biasa, karena tadinya kusediakan untuk seorang taipan dari Macau. Tapi sekarang dia sudah dibuatkan rumah di tengah kota. Jadi villa itu takkan dipakai lagi. “




“Ya udah ... kalau gitu terserah Abang aja deh. Karena Abang tentu tau mana yang terbaik bagiku. “




Tiba - tiba aku teringat pada gaun - gaun cheongsam yang kubeli dari Macau itu lagi. Seingatku masih ada tiga atau empat helai gaun yang tersisa di lemariku. Lalu kukeluarkan gaun - gaun itu semuanya. Dan kuserahkan pada Suzan sambil berkata, “Gaun - gaun ini kubeli dari Macau. Cobain semua deh. Kalau semuanya cocok, ambil aja semuanya buatmu Sayang. “




“Wah ... gaun - gaun ini berbahan mahal semua Bang, “ sahut Suzan sambil memeriksa gaun - gaun itu, yang jumlahnya memang 4 helai, “Mau kucobain semuanya ya. “




Keempat gaun itu ada yang berwarna biru muda, ada yang hijau tosca, ada yang orange, ada pula yang merah menyala.




Saat itu Suzan dan aku masih sama - sama telanjang. Sehingga Suzan bisa mengenakan gaun cheongsam itu secara instant. Awalnya mencoba gaun yang berwarna biru muda, lalu dicobanya yang berwarna orange.




“Wah ... yang orange itu seksi sekali Sayang, “ tanggapku sambil berdiri di belakangnya.




“Tapi belahannya ini terlalu tinggi Bang, “ sahutnya, “Coba aja seperti sekarang ... karena aku gak mengenakan beha mau pun celana dalam, memekku bisa langsung kelihatan kalau gaunnya ketiup angin Bang. “


Lewat belahan gaun itu aku malah menyelusupkan tanganku ... langsung memegang memeknya yang masih agak basah ini. “Wah ... aku jadi langsung pengen ngentot lagi nih ... “




“Kata Abang harus puasa dulu sampai luka di dalam memekku benar - benar sembuh. Tapi kalau Abang memang mau lagi, ya ayo kita ML lagi ... hihihihiii ... “




“Kamu ini punya daya pesona yang sangat cemerlang, Sayang. Sekarang ini sebenarnya kita dalam suasana bulan madu. Kalau pengantin baru, ada yang sampai lima atau enam kali bersetubuh di malam pertamanya. Bahkan ada yang sampai sepuluh kali ... “ kataku sambil menarik kain seprai yang sudah kecipratan darah perawan Suzan itu.




“Waaaaw ! Ayolah ... berapa kali pun Abang mau ngentot aku, takkan kutolak. Anggap aja kita sedang berbulan madu ya Bang. Iiiih ... aku juga jadi horny lagi nih ... “ ucap Suzan sambil melepaskan gaun cheongsam berwarna orange itu. Sementara aku sedang mengganti kain seprai putih yang kecipratan darah itu, dengan kain seprai berwarna merah. Supaya seandainya masih ada darah yang menetes nanti, takkan terlalu kentara.




Setelah telanjang kembali, Suzan naik ke atas bed. Lalu menelentang sambil mengusap - usap memeknya yang masih tampak mekar dan agak menganga. Maklum memek yang baru habis orgasme.




Ketika aku sudah naik ke atas bed, kelihatannya Suzan tahu bahwa aku akan menjilati memeknya dulu, agar penisku dipermudah penetrasinya nanti. Karena tiba - tiba Suzan turun dari bed sambil berkata, “Sebentar dulu Bang ... memeknya belum dicuci. Nggak enak ah ngasihin memek belum dicuci buat dijilatin oleh Abang Tercinta. “




Hal itu mengingatkanku bahwa penisku juga belum dicuci sdehabis ngentot Suzan tadi. Namun aku hanya membersihkan penisku dengan kertas tissue basah saja, tak usah ke kamar mandi segala.




Tak lama kemudian Suzan muncul lagi dari kamar mandi, sambil ketawa kecil. Dan melompat ke atas bed, kemudian menelentang, mengusap - usap memeknya sambil berkata, “Sekarang sih sudah bersih dan harum. Mau dijilatin berapa lama pun silakan, Cinta ... “




Aku pun merayap ke atas bed. Dan ... sepasang paha mulus itu pun merenggang ...




Ternyata memek Suzan sudah kering dan harum, karena habis dicuci dan disabuni. Membuatku semakin bersemangat untuk menjilatinya habis - habisan.




Jilatan yang membuat Suzan mulai menggeliat - geliat. Terlebih setelah aku menjilati kelentitnya disertai dengan sedotan - sedotan kuat, sehingga bagian yang hanya sebesar kacang kedelai itu tampak mulai agak mancung. Mungkin karena sedotan - sedotanku ini.




Liang memek Suzan pun sudah basah lagi, oleh air liurku bercampur dengan lendir libidonya. Dan aku siap untuk melangkah lebih jauh lagi.




Kali ini kudorong kedua paha mulus Suzan, sehingga lutut kanannya menyentuh toket kanannya pula. Sedangkan paha kirinya kudorong membuka, sehingga lututnya menyentuh kasur. Kuminta agar Suzan mempertahankan posisi ini dengan menarik lipatan lutut kanannya agar jangan lepas dari posisi itu.




Dan ... kuletakkan moncong penisku di ambang mulut vaginanya. Lalu kudorong sekuatnya. Tongkat kejantananku seolah sudah tahu jalannya, meski jalan itu sempit sekali. Mulai membenam sedikit demi sedikit, sampai lebih dari separuhnya telah melesak masuk ke dalam liang surgawi Suzan.




“Kamu siap hamil olehku Sayang ?” tanyaku sebelum mengayun penisku.




“Mauuuu ... kalau sudah punya anak, aku akan merasa semakin mantap. Dan tak mungkin menyentuh narkotik lagi.




“Bagus. Kamu layak menjadi Suzanku ... Suzan cintaku ... sayangku, kekasihku permata hatiku ..... ! ”




Suzan tersenyum manis, pertanda hatinya senang mendengar gombalan dari mulutku. Namun sebenarnya aku bukan gombal. Memiliki Suzan membuat hatiku bahagia. Membuatku seolah menemukan apa yang kucari selama ini. Bahwa Suzan adik kandung seorang konglomerat. Tapi sikapnya sederhana sekali, bahkan cenderung lugu. Wajah cantiknya pun seolah tak pernah disentuh make up. Dibiarkan seadanya. Dan aku justru suka dengan sesuatu yang alamiah begitu. Karena make up yang terlalu berlebihan seolah topeng di mat6aku. Topeng untuk menyembunyikan segala macam kekurangannya.




Lalu penisku mulai kuayun dalam gerakan perlahan dulu.




Makin lama makin kupercepat, sehingga Suzan pun mulai merintih - rintih perlahan. Makin lama suaranya makin mengeras di dalam kamar yang kedap suara ini.




Kali ini aku seolah ingin bereksperimen. Kuajari Suzan untuk mengetahui bagaimana bentuk posisi telungkup, sementara aku tetap bisa mengentot memeknya ( yang orang Sunda bilang heunceut ... tapi istilah memek juga berasal dari Jabar ... xixixixiiiii ).




Suzan bahkan kuajak melakukan posisi doggy. Ia berusaha menungging seperti yang kuminta. Lalu kuentot memek Suzan sambil menepuk - nepuk pantatnya yang ideal (terlalu gede tidak, tepos pun tidak).




Dalam posisi doggy ini pun Suzan masih bisa merintih - rintih histeris dan kedengaran erotis di telingaku, “Bang Saaaam ... oooooh ... Bang Saaaam ... sambil begini pun enak Baaaang ... entot terus Bang ... rasanya seperti melayang - layang lagi Baaang ... iyaaaaaa ... entot terus Baaaaang ... entooot teruuuussssss .... 

Posting Komentar

0 Komentar