Sudah 3 tahun aku membantu di usahanya Pak Karim, sesuai dengan amanah kakek bahwa aku harus bertanggung jawab, bekerja keras, dapat dipercaya dan jujur, maka kemajuan dari usaha pak karim berkembang pesat. Tugas pak karimpun terasa ringan karena ada pengganti aku kadang juga aku dikirim untuk menagih tagihan uang atau mengecek pengiriman barang ke luar kota atau pulau aku laksanakan dengan baik.
Awalnya meubel yang hampir bangkrut sekarang berjaya kembali. Pemasaran semakin aku gencarkan mulai mengikuti proyek di perkantoran untuk menservice perabotan semacam kursi, sofa, meja dan lain-lain.
Toko juga tidak mengalami perubahan, stagnan tapi tidak mengalami penurunan. Semenjak aku tinggalkan, Yunita mampu menggantikan peranku cuman kelemahannya dia tidak berani mengambil resiko dengan berinovasi untuk menggenjot pertumbuhan toko. Pada akhirnya, toko stagnan tapi juga tidak menurun performanya. Pernah ada inovasi-inovasi yang di terapkan bu juleha, tapi inovasi belum mampu meningkatkan performa toko secara drastis.
Soal Bu Vika, aku sudah menjauhinya sedikit demi sedikit. Akhirnya sekarang kita sudah jarang hampir tidak pernah berkomunikasi. Aku galau pada awalnya memutuskan menjauhinya. Bu vika seperti mangsa yang bisa di terkam setiap saat, tapi aku takut akan ketagihan apalagi bermain dengan janda pasti banyak resiko-resiko yang bisa merugikan aku. Apalagi bu juleha sempet curiga aku setiap malam telpon-telponan. Karena aku tidak mau mengecewakan bu juleha akhirnya aku menjauhi Bu Vika. Sedangkan aku sama Yunita pun tidak intens berhubungan sepeeti dulu, yanita yang akan mau nikah ketambahan calon suaminya yang sudah sekota dengan dia jadi tidak ada waktu untuk berduaan dan bermesraan. Jadi otomatis sekarang hanya Bu Juleha wanita yang selalu memuaskan aku.
Setiap hari aku menyibukkan untuk membuat sistem di meubel seperti di toko, tapi kendala atau masalah-masalah sering aku hadapi. Usaha meubel tidak seperti usaha toko, jadi sistem yang akan aku gunakan tidak serta merta bisa di gunakan di meubel. Aku terus berpikir dan berusaha biar pak karim tidak kesulitan mengontrol usahanya itu. Aku merasa waktuku di kota , waktuku dengan pak karim, waktuku dengan Bu Juleha hanya tinggal hitungan jari. Entah firasat apa ini, tapi aku gak mau terlalu memikirkan ke depannya. Pak Karim sempet memintaku untuk sekolah lagi alias kuliah, karena pedomanku aku sudah gak mau merepotkan Pak Karim. Aku pun menyanggupinya dengan syarat biaya kuliah aku yang nanggung dengan gajiku perbulan itu. Rencanaku 2 bulan lagi aku mendaftar kuliah karena pendaftaran di buka sekitar 2 bulan kemudian.
Pada hari Jumat pagi-pagi sekali ketika aku mau berangkat ke gudang pengerjaan meubel tiba-tiba ada tetanggaku yang bernama Mas Hamid naik sepeda motor datang ke rumah pak karim. Setelah bertegur sapa dan menyakan maksud datang kesiini, Mas Hamid bercerita kalau kakekku jatuh sakit.
DEGH
“Apakah ini firasat yang selama ini menganggu pikiranku? Ujarku dalam hati.
Memang sudah lama aku tidak ke desa, karena kalau aku sering pulang ke desa maka kakek memarahiku. Saat aku tanya kenapa?, kakek pun enggan menjawab Cuma dia bilang aku di suruh fokus di kota saja jangan sering-sering ke kota. Sejak saat itu, aku jarang ke desa. Di samping takit kakek marah, aku juga sibuk dengan pekerjaan karena di meubel ini gak ada istilah hari libur. Hari minggu pekerja tetep masuk, hari besar nasional (tanggal merah) pekerja tetep masuk. Gila memang sistem yang di terapkan Pak Karim, ketika aku mencoba memberi saran pak karim menolak mentah-mentah dengan alasan pekerja sendiri yang meminta masuk karena kebutuhan hidup semakin mahal jadi kehilangan 1 hari rasanya pekerja enggan. Jadi mau gak mau aku juga tetep masuk untuk mengontrol para pekerja akhirnya tidak ada waktu untuk menjenguk kakek ke desa.
“Sudah 3 hari Mbah Parjo sakit mas, tadi pagi saya meminjam arit untuk mencari pakan ternak, eh aku melihat beliau tergeletak lemah sendirian” kata Mas Hamid
Aku yang mendengar itu tak mampu membendung air mata yang keluar. Setelah mas hamid pamit pulang, aku segera menemui Pak Karim yang pada saat itu lagi sarapan dengan bu juleha. Setelah mengabarkan bahwa kakek jatuh sakit pak karim tak hentinya istighfar sedangkan bu juleha juga mengeluarkan air mata mendengar kabar tersebut. akhirnya aku pamit ijin beberapa hari untuk merawat kakek. Pak Karim mengijinkan malah suruh bawa salah satu mobil untuk aku bawa ke desa dengan alasan untuk mempermudah kalau kakek diharuskan kerumah sakit. Dan Pak Karim berjanji untuk besok akan datang ke desaku menjenguk kakek. Akupun mengiyakan dan segera packing baju-bajuku.
Setelah pamit kepada Pak karim dan Bu Juleha, aku membawa mobil untuk menuju desaku, tak henti-hentinya air mata ini keluar memikirkan kondisi kakek. Entah mengapa firasat ini seperti aku mau di tinggal oleh ibuku, tapi segera kutepis firasat itu sambil berdoa semoga kakek umur panjang karena aku kepengen kakek melihat aku sukses terlebih dahulu untuk membahagiakan kakek. Setelah aku memasuki gapura desa selang 100meter dari gapura ada makam desa terlihat sepi, aku jadi lega ternyata firasatku salah. Akupun sudah sampai rumah disitu ada beberapa tetangga yang membantu merawat kakek.
“Assalamualaikum wr wb” aku mengucapkan salam setelah memarkirkan mobil
“Waalaikum salam wr wb. Ntung tambah besar aja ntung bawa mobil lagi, pasti udah sukses” gurauan tetangga melihatku bawa mobil dengan tersenyum aku menjawab.
“Enggak pak, bu itu mobil bos saya, sengaja disuruh membawa mobil agar mudah membawa kakek kalau butuh ke rumah sakit, kakek mana pak bu? Beliau sakit apa?” tanyaku kepada tetanggaku yang rutin membantu kalau kakek butuh bantuan.
“Biasa sakit tua ntung. Tahu sendiri kakekmu umurnya sudah 80 tahun, kamu juga kok sepertinya jarang pulang nengok Mbah Parjo?” tanya tetanggaku
“Lagi sibuk aku pak bu tambahan kerja banyak, jadi belum sempet menjenguk kakek didesa. Aku juga sebenernya kangen dan berharap kakek ke kota untuk menjengukku seperti bulan-bulan kemarin” aku menjawan secara diplomatis.
“Iya ntung kakekmu 1 bulan ini sakit-sakitan. Sakit sehari sembuh sakit lagi sembuh, tapi sakitnya gak lama kok paling maksimal dua hari udah sembuh. Waktu aku tanyai kakekmu kok gak ke kota nengok untung, jawaban kakekmu udah gak kuat ke kota beliau juga berharap kamu yang ke desa” seketika itu air mataku turun dari mata menyesal aku seakan lupa kepada kakekku memang karena pekerjaan aku jadi lupa keadaan kakek.
“Sudah-sudah jangan nangis namanya sibuk mau bagaimana lagi yang penting sekarang temui kakekmu sepertinya sudah bangun” tambah tetanggaku. Akupun beranjak masuk ke dalam kamar kakek dan bener kakek sudah bangun dan beliau tersenyum melihat cucunya sudah datang.
“Assalamualaikum kek, kakek sakit kok gak ngabarin untung. Tadi pagi mas hamid ngabarin untung bahwa kakek sakit, aku langsung pamit ke pak karim untuk ijin tidak bekerja” cerocosku sambil memeluk kakek.
“Waalaikum salam cucuku, iyaa kakek selama beberapa hari kemarin baru sakit kok cu, jadi gak usah terlalu mengkhawatirkan kakek cu” ucap kakek sambil melepas pelukan dan membelai rambutku.
“Maaf ya kek, untung juga beberapa bulan ini belum sempet nengok kakek, beban kerja di bisnisnya pak karim berat kek, jadi aku sering luar kota untuk membantu pak karim menghandle kerjaannya sampai tadi pagi tiba-tiba ada mas hamid mengabari kalau kakek sakit.” Tak terasa air mataku turun lagi.
“Udah cu Kakek gak apa-apa paling besok juga sembuh, biasa penyakit tua sering datang dan pergi, udah jangan nangis jagoan kakek kok cengeng” canda kakek kepadaku setelah melihat air mata ini keluar.
“Hehe. Iya kek yang penting kakek sembuh dulu. Aku juga udah ijin pak karim untuk sementara merawat kakek dulu sampai sembuh baru aku balik kota” imbuhku kepada kakek kemudian kita saling ngobrol dan ajaib sepertinya kakek langsung sembuh setelah kedatanganku. Terbukti kakek sudah bisa makan sendiri padahal kemarin disuapi tetanggaku. Dan banyak lagi makannya gak seperti biasanya.
Setelah melihat kondisi kakek yang sepertinya udah sehat tetangga yang biasanya membantu kakek berpamitan pulang. Sekarang di rumah hanya tinggal aku dan kakek. Kangen kondisi seperti saat-saat ini sebelum aku di bawa pak karim merantau kekota untuk melanjutkan hidup. Aku dan kakek ngobrol seperti biasa sampai malam. Di sela-sela ngobrol kakek juga memberikan petuah-petuah dan wasiat yang harus aku penuhi.
“Cu kakek ini sudah tua, bisa besok minggu depan bulan depan tahun depan sewaktu-waktu kakek di panggil Yang Maha Kuasa kamu jangan menangisi kepergian kakek, nangis boleh tapi jangan sampai berhari-hari nanti kakek malah gak tenang waktu di panggil Yang Maha Kuasa” tiba-tiba kakek berkata seperti itu.
DEGH!!!
“Kenapa kakek tiba-tiba bicara seperti itu kek?” tanyaku dengan wajah bingung.
“Hahahaha. Ya gak apa-apa cu, kan kakek sudah tua dan kakek merasa siap untuk di panggil menghadap-Nya. Jadi aku titip wasiat rumah ini aku berikan kepadamu cu, gak ada lagi penerus kakek selain kamu, terserah mau kamu jual atau kamu tempati tapi lebih baik kamu tempati dulu. Tapi ketika kamu lebih nyaman hidup dikota yang bisa buat kamu lebih sukses y kamu jual aja rumah ini dan satu lagi aku kepengen kamu suatu saat nanti sukses tidak seperti kakek yang kondisinya berada di garis kemiskinan, kamu harus jadi kaya cu setidaknya digolongan menegah ke atas yang terakhir ingat kata-kata kakek selalu tanggung jawab, bekerja keras, jujur dan dapat dipercaya selalu kamu pegang teguh ya cu, itu bekal hidupmu di masa mendatang”. Ceramah kakek sambil mengeluarkan air mata bukan air mata kesedihan tapi air mata kebahagiaan karena terlihat wajahnya selalu tersenyum.
“Iya kek, pasti aku melaksanakan semua petuah-petuah dari kakek. Dan aku berjanji untuk jadi orang sukses seperti yang kakek inginkan” kataku menenangkan kakek sambil rambutku dielus-elus kakek.
Tak terasa udah jam 9 malam. Kemudian kakek menyuruhku untuk tidur, waktu aku mengucapkan keinginan kakek untuk tidur bersama tapi kakek melarangku. “udah jadi jagoan kok masih manja ke kakek” katanya saat itu. Akhirnya aku bersih-bersih kemudian memasuki kamar sedangkan kakek sudah menutup pintu kamarnya untuk tidur. Aku berbaring sambil mengecek WA atau sms barangkali ada, setelah aku cek ternyata bu juleha menanyakan kondisi kakek kemudian aku menjawab kakek sudah sembuh jadi tidak perlu ke rumah sakit dan aku juga ijin untuk berada didesa 2 harian lagi untuk memastikan kakek sudah bener-bener sembuh. Setelah membalas pesan bu juleha aku mulai memejamkan mata dan terlelap.
Terdengar sayup-sayup suara adzan subuh berkumandang, aku lalu bangun dan kekamar mandi mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban. Sebelum ke kamar mandi aku sempatkan mengintip kamar kakek terlihat kakek masih terlelap tidur. Aku membiarkan saja kakek tidur kemudian aku pergi ke kamar mandi. Setelah melaksanakan kewajiban aku membuat dua buah kopi di cangkir kemudian aku di teras menghirup udara pagi sambil ngopi dan mainan hp. Satu cangkir kopi habis aku mulai merasa aneh kok kakek gak bangun-bangun gak biasanya jam segini belum bangun, aku lihat jam di hp menandakan jam 06.30 artinya gak terasa sudah setengah tujuh kakek masih tidur dan matahari juga sudah mulai menampakkan batang hidungnya. Akupun beranjak dari teras menuju kekamar kakek berniat membangunkan kakek karena matahari sudah muncul. Ketiak memasuki kamar terlihat kakek tidur terlentang sambil tangannya mendekap di atas perut.
“Kek bangun kek, sudah siang kek sudah setengah 7.” Tapi kakek tidak bergerak sama sekali matanya masih merem. Kemudian aku cek tangannya sudah dingin.
DEGH!!
Hatiku sudah kalut, kemudian aku cek hidung kakek untuk merasakan nafas yang keluar dari hidungnya. Gak terasa hembusan nafasnya. Aku mulai meneteskan air mata kemudian aku semtuh dadnya aku cek denyut nadinya. Gak ada denyut nadi yang kurasakan.
“INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UN.. KAKEEEEKKKKKKKKKKK... HUUUUUAAAAAA” aku memeluk kakek sambil menangis tersedu-sedu.
“Ntungg,, kenapa teriak-teriak?” terdengar beberapa tetanggaku datang mendengar aku menjerit memanggil nama kakek kemudian mulai memasuki kamar kakek. Setelah aku beritahu bahwa kakek meninggal dunia tetanggaku iku menangisi kepergian kakek. Akhirnya banyak warga desa datang. Dan tak lama kemudian kakek di kebumikan di makam desaku itu.
Aku pun ijin kepada pak karim untuk tetap berada di desa karena sesuai tradisi dan syariat agama yang aku anut akan diadakan pengajian setiap malam untuk mendoakan sang kakek. Bahkan aku juga dibantu Pak karim berupa uang untuk prosesi acara pengajian itu. Tidak semuanya, tapi sangat membantu meringankan beban biaya selama pengajian itu.
Sudah selesai pengajian 7 harinya kakek, tapi aku masih enggan untuk kembali ke kota. Aku dilema, rumah ini satu-satunya peninggalan kakek bahkan peninggalan keluargaku. Seperti tidak rela aku kalau meninggalkan rumah ini dan kembali ke kota. Tapi kalau hidup di desa aku kerja apa, aku sudah berada di zona ternyaman di kota. Aku pun memutuskan untuk tinggal beberapa hari lagi di desa dan akan memutuskan aku kembali ke kota selamanya atau tetep di desa.
0 Komentar