hingga memberikannya sedikit perhatian.
“Cape ya, Mas? Baru pulang kerja atau habis dari mana?” tanyaku yang memulai perbincangan. Sebenarnya ini hal yang sangat biasa, para terapis memang dituntut pintar berkomunikasi.
“Iyaa, saya baru pulang kerja, Mbak. Aduhh... Iyaa! Iyaa! Pijet di pinggang situ Mbak.
Aduuhh, pegel banget pinggang saya duduk terus berjam-jam,” jawabnya yang terlihat begitu menikmati pijatan dariku.
“Waduh, Masnya kerjanya duduk terus? Hati-hati bisa sembelit dan ambeien. Masnya kerja kantoran yaa? Biasanya yang kerja kantoran memang begitu, sakitnya di bagian pinggang atau
pantat,” kataku yang
berusaha
perbincangan kami mengalir.
“Aduuh... Duhh... Duhh... Ini saya di punggung juga sakit, punggung sampai pinggang. Tadi seharian di kantor pinggang sama punggung saya sakit. Sepulang kerja saya diajak ke sini, katanya dia pernah ngalamin hal yang
membuat
sama. Dan sembuh setelah ke sini.”
Aku yang
perkataannya,
mengajaknya
dengan sedikit lebih berani. “Waduh? Sembuhnya habis dipijet atau habis olahraga malam tuh, Mas? Berarti Masnya mau olahraga malam juga sama saya?”
mendengar mencoba bercanda
“Hah? Olahraga malam? Ini kan tempat pijet, kenapa bisa jadi ada olahraga malam? Dan kenapa bisa kamu diajak olahraga malam? Kamu kurang olahraga juga emangnya?” tanya Andra yang langsung membuatku paham.
Orang ini, baru pertama kali datang ke panti pijat seperti ini. Karena biasanya yang
sudah terbiasa, langsung nyambung sama perkataanku barusan. Tapi Andra justru seperti kebingungan, sepertinya dia datang ke sini karena memang butuh dipijat.
Aku yang melihat dia kebingungan, hanya bisa menahan tawa melihat wajah polosnya. “Enggak, gak apa- apa kok. Udah gak perlu dipikirin banget perkataan
saya, hahaha. Saya mah emang gitu, suka banget gak jelas perkataannya.”
“Iyaa tapi kalo kamu menyarankan olahraga, aku sama sekali gak masalah sih. Mungkin memang aku kurang olahraga, hahaha maaf yaa. Kayanya aku nih yang miss komunikasi,” jawabnya yang malah
menyalahkan dirinya sendiri atas ketidakpahamannya.
Setelah selesai pijat, karena memang sudah sesuai prosedur. Aku langsung membuka kaos dan celana panjangku, “Masnya sudah siap belum? Mau lanjut pijat atau mau langsung main sama saya?”
Andra yang melihat aku hanya menggunakan
underwear, dia terlihat panik dan agak takut. “Ma— Maksudnya gimana? Jangan- jangan, aku salah masuk tempat pijet nih? Tapi, badanku memang agak enakan kok setelah dipijat di sini.”
Dari raut wajah Andra, dia terlihat tidak menerima service tambahan ini. Aku kembali menggunakan
pakaianku, lalu tersenyum manis kepada Andra. Aku memberikan kartu nama dan nomor handphoneku, sangat jarang aku melakukan ini kepada customer.
“Seperti inilah pekerjaanku di sini. Maaf yaa, kalo aku membuat kamu gak nyaman. Namaku Danilla, kalo kamu ada apa-apa. Butuh temen ngobrol atau jalan, kamu bisa
hubungin aku,” ungkapku yang menyodorkan kartu nama yang dibuat oleh pihak panti.
Andra dengan wajah sedikit ketakutan, dia menerima kartu namaku. “I-Iyaa Mbak, kalo begitu aku keluar dulu yaa. Ba—Bayarnya sama Mbaknya atau di receptionist? Ma— Maaf aku baru pertama kali, hahahaha.”
... ... ...
Andra pergi begitu saja, namun dia memberikan aku uang sebesar 100 ribu. Karena aku memang sedang kesulitan ekonomi, aku menerimanya dan
memasukkannya ke dompet. Aku menghela nafas panjang, lalu melenyapkan harapanku kepadanya.
“Haaahhh... Danilla, kamu ini bodoh! Mana mungkin cowo kerja kantoran dan cowo baik-baik kaya dia mau sama kamu! AAAHH! Kamu ini malah melakukan hal yang memalukan saja!” ucapku
sambil memukul kepalaku sendiri dengan sangat keras.
Aku merasa begitu malu, ini pertama kalinya pengalamanku kerja di sini. Ada seorang pria yang menolak menggunakan jasaku, tapi sudah jelas dia menolak malah aku berikan kartu nama. Mana mungkin dia akan menghubungiku lagi!
Seharusnya yang aku beri kartu nama adalah pria hidung belang! Jelas pastinya aku akan laku keras! Kenapa aku sama sekali gak bisa menerima realita hidup, bahwa aku adalah cewe kelam! Sudah puluhan pria yang pernah menikmati tubuhku!
Dan 10 menit kemudian, ada pria yang sudah sangat aku
kenali masuk ke ruang praktekku. Dia merupakan pria yang sudah sering menjadi pelangganku. “Hahaha, kayanya temen saya tadi masih malu-malu yaa? Dia emang begitu, masih polos orangnya.”
“I-Iyaa, wajar banget sih. Lagipula kamu juga aneh, kenapa nyaranin orang yang sakit pinggang ke tempat ini?
Untung saja aku beneran ngerti cara pijat nyeri syaraf. Cowo itu cuma butuh istirahat saja,” jawabku yang menegur pria bernama Galih itu.
Galih hanya tertawa lepas, dia pelangganku yang sudah bolak balik ke sini sebanyak 10 kali. Dan sudah 10 kali pula, aku melakukan hubungan suami istri
dengannya. Galih sebenarnya sangat menyukaiku, dia beberapa kali mengajakku berkencan dan meminta nomor kontakku.
Namun aku tidak pernah memberikannya, aku tidak mempercayai Galih. Lebih tepatnya, aku memang tidak menyukai pria seperti dia. Aku hanya ingin menjalin hubungan terapis dengan
pelanggan bersama Galih. Aku tidak ingin hubungan kami lebih dari ini.
“Aaahh... Seperti biasa, aku mengagumi wajah cantikmu. Serta permainanmu yang begitu luar biasa. Sudah belasan kali aku melihat tubuh indahmu, namun tetap saja aku begitu mengaguminya,” ujar Galih yang baru saja selesai
melakukan hubungan seksual denganku.
Aku memilih untuk tidak menanggapi perkataannya, dan lebih fokus ke pekerjaanku. “Terima kasih sudah datang ke sini, terima kasih banyak sudah menjadi pelanggan setiaku. Silahkan datang lagi jika tubuhmu cape dan butuh pijat.”
0 Komentar