Siapa aku?
Aku sendiri tak tau siapa aku. Atau tepatnya, aku adalah seseorang yang tak terlalu tahu tentang masa laluku.
Namaku Lucky. Lengkapnya Lucky Mansario. Nama belakangku diambil dari nama ayahku, Mansario Hadie. Tapi lebih sering dipanggil sebagai Lucky Mansar tanpa imbuhan 'Rio' agar lebih mudah saja dalam penyebutan.
Sepertinya demikian, namun aku tidak yakin pada penjelasanku sendiri. Yang aku ingat, samar-samar wajah orangtuaku tertinggal dibenak meski tak terlalu jelas, lalu mereka meninggalkanku saat aku bahkan belum menginjak TK. Setelahnya aku hanya tinggal bersama nenek Lastri, ibu dari mamaku, tanpa ada sanak saudara lagi hingga aku sebesar ini sekarang.
Nenek Lastri punya usaha pabrik tempe di samping rumah. Meski tidak berskala besar, tapi produksinya sudah mampu menghidupi 10 karyawan yang ikut nenek sudah belasan tahun, bahkan ada yang 20 tahun lebih mengabdi. Sejak bujang hingga sekarang beranak pinak, mereka tetap setia bekerja pada Nenekku yang ramah, sabar, penyayang, namun punya kedisiplinan tinggi.
Mamaku katanya adalah anak tunggal. Sedangkan kakekku sudah meninggal satu tahun sejak aku lahir. Maka bisa dibilang, akulah satu-satunya keturunan dan keluarga nenek yang tersisa.
Lalu papaku, Papaku adalah orang perantauan. Asli papa katanya adalah dari luar pulau dan tak jelas juntrungan keluarganya. Papa merantau ke pulau jawa dan kemudian berhasil meraih karir cukup gemilang di sebuah perusahaan dimana mamaku juga bekerja disana. Mereka berkenalan di kantor, saling cinta, menikah, dan lahirlah aku.
Umurku 25 tahun. Berbekal ijasah terakhir SMA aku mengadu nasib di kota buaya. Tinggal disebuah kosan ditemani sebuah kipas angin duduk yang kubawa dari rumah nenek. Nenek tinggal di sebuah kota kecil, sekitar 3 jam dari kota Surabaya tempatku mengais rizki. Di kota besar itu pula dulu papa dan mama bekerja.
Aku memang sengaja tak membantu pabrik nenek di kota asalku. Alasannya sepele, aku ingin merantau dan berjuang seperti papa. Tak mau berpangku tangan mengandalkan hasil bisnis keluarga. Mungkin darah kegigihan papa mengalir terlalu banyak dalam tubuhku dan mempengaruhi karakterku. Ahh, whatever-lah, yang pasti aku benci telah dicampakkan seperti ini oleh papa mama ku.
Nenek hanya menjawab 'mereka pergi' setiap aku bertanya dimana papa dan mama berada, hingga lama-lama aku bosan untuk bertanya dan memilih menjalani hidup dengan apa yang ada sekarang.
Di kota besar ini aku hidup sendiri. Mengandalkan gaji dari pekerjaan sebagai kurir ekpedisi untuk menopang hidupku satu bulan ke depan dan juga membayar sewa kos bulanan.
Gaji yang pas dan nge-pres hampir tak ada sisa untuk bisa aku kirim ke nenek. Aku ingin sekali menyenangkan nenek dan membanggakan beliau, tapi penghasilanku belum mampu mencukupinya. Meski sebenarnya nenek selalu wanti-wanti, tidak usah berpikir untuk mengiriminya uang. Hasil tempe sudah sangat jauh mencukupi untuk memenuhi kebutuhan bulanan nenek, atau bahkan masih sangat cukup untuk menghidupi dua puluh Lucky sekaligus.
Hingga pada suatu saat aku mampu mendapatkan celah untuk menggeliat lebih leluasa. Berbekal pengalaman nakalku selama remaja, ditambah kemampuan beladiri yang kupelajari sejak kecil dari kakek Kemis, membuatku cukup yakin untuk melangkah di pekerjaan baru tersebut. Kakek Kemis adalah tetangga sebelah rumah nenek Lastri dan sudah seperti keluarga bagi kami.
Pekerjaanku ini lain daripada yang lain. Meski bekerja sebagai kurir tetap reguler ku jalani, namun di waktu tertentu aku melayani job pesanan. Pesanan apa??
Pesanan untuk melakukan job terselubung. Aku membuka jasa untuk pengawalan/bodyguard, pembebasan, pengintaian, dan sejenisnya. Mudahnya, aku menawarkan diri sebagai polisi swasta yang bisa disewa untuk membantu urusan tertentu. Hahaha..bisa juga seperti batman gadungan, superhero amatir ala nusantara.
Namun tidak semua job lantas aku terima. Aku tetap menolak jika job yang ditawarkan bertentangan dengan nuraniku. Aku tidak akan bersedia jika ditugaskan untuk menculik, membunuh, atau tindakan keji lainnya.
Dalam setiap tugas, aku selalu menggunakan topeng perak sebagai pelindung identitas. Nama panggilanku untuk pekerjaan ini adalah Lucky Sikat. Kata 'Sikat' diberikan oleh para klienku yang merasa puas dengan aksi 'Sikat' ku. Lambat laun kata 'Sikat' menjadi embel-embel yang secara tak langsung menempel di belakang Lucky.
Berawal sulit karena perlu membangun kepercayaan, lama-lama pundi-pundi rupiah seperti berdatangan tiada henti seiring semakin dikenalnya aku secara lebih luas. Aku cukup tersenyum senang melihat tabunganku kian menumpuk. Terbayang wajah teduh nek Lastri yang akan gembira melihatku berhasil dalam perjuangan.
0 Komentar