Aku melihat tanpa berkedip tubuh Tante Mona yang sedang berdiri telanjang dada dan pangkal pahanya tertutup celana dalam berwarna pink memperlihatkan sekumpulan bulu hitam di tengah-tengahnya.
“Dik, kalau kamu nggak mau dibayar sama uang, sama kenikmatan aja yach..? Kamu mau khan..?”
“E.. e.. eng.. bb.. boleh deh Tante..!”
Tiba-tiba kali ini aku bisa melihat Tante Mona yang setengah tertutup dan memohon kepadaku untuk melayani nasunya, kuhampiri dia sambil menutup pintu. Bentuk tubuh Tante Mona sungguh indah di mataku, kulitnya putih bersih, buah dada yang berukuran 36B berdiri dengan tegaknya seakan menantangku, lekukan paha dan kaki jenjangnya yang indah dan betisnya yang bunting padi, persis bentuk tubuhnya penyanyi Jennifer Lopez. Aku seakan tidak bisa menelan ludahku karena Tante Mona sekarang tepat berdiri di depanku.
“Dik.. Setio, layani Tante yach..! Soalnya sudah dua bulan Tante tidak dijamah Om..”
“Iya.. Tante, ta.. tapi.. kalau anak-anak Tante datang gimana..?”
“Anak-anak kalau pulang jam 5:00 sore, lagi itu kan anak-anaknya Om.”
“Ok.. deh Tante, Tante tau nggak, kalau hal ini sudah saya impikan sejak pernikahan Desi, soalnya Tante wow banget sih waktu itu.”
“Sekarang.. sudah nggak wow dong..?”
“Oh.. masih.. apa lagi sekarang, Tante kelihatan lebih wow.”
Bibir tipisnya mencumbu bibirku dengan hangat, sesekali lidahnya dimainkan di mulutku, aku pun membalasnya dengan lidahku. Tangan lembutnya mulai melepaskan dasi dan bajuku hingga kami sudah telanjang bagian atasnya. Dada bidangku mulai diciumi dengan nasunya, sementara lehernya dan pundaknya ku jelajahi. Wangi tubuhnya membuat nasuku juga meningkat, sehingga batangku mulai mengeras mendesak celana dalamku. Tangannya mengelus celanaku di bagian batangku yang sudah mengeras, sedangkan aku mulai memainkan mulutku di payudaranya yang terbungkus kulit putih bersih, putingnya yang putih kemerahan sudah jadi bulan-bulanan lidah dan gigiku, kugigit dan kusedot, sehingga Tante Mona mengelinjang dan makin keras tangannya mencengkram batangku.
Celana panjangku mulai dibuka dengan tangan kirinya, lalu celana dalamku ditarik turun sehingga batangku sudah dipegang tangan halusnya dan mulai mengocok batangku.
“Dik.. batangmu besar sekali yach..? Kalau punya Om paling setengahnya aja, berapa sih besarnya..?”
“Kalau panjangnya 15 cm, kalau diameternya 4 cm.”
“Wah.. gede banget yach.. pasti Tante puas deh.., boleh Tante isap nggak..”
Aku hanya mengangguk, Tante mona langsung jongkok di hadapanku, batangku dipegangnya lalu dimainkan lidahnya pada kepala batangku, membuatku agak gelisah keenakan. Batangku yang besar berusaha dimasukkan ke dalam mulut mungilnya, tetapi tidak bisa, akhirnya kepala batangku digigit mulut mungilnya.
Kira-kira 15 menit, dia berdiri setelah kelelahan mengulum batangku, lalu dia merebahkan dirinya di sisi tempat tidur. Kali ini aku yang jongkok tepat di sisi kedua kakinya, tangan kananku melepaskan celana dalam pinknya, saat itu juga aroma wangi langsung bertebaran di ruangan yang rupanya aroma itu adalah aroma dari liang Tante Mona yang bentuknya sangat indah ditutupi bulu-bulu halus di sekitar liang kenikmanatan itu.
“Ah.. Tante Mon.. liang Tante harum sekali, boleh saya jilatin..?”
“Ah.. jangan Dik.. kamu nggak jijik, soalnya si Om nggak pernah menjilatinya.”
“Wah.. payah si Om.. liang itu paling enak kalau dijilatin, mau yach.. Tante.. enak.. kok..!”
“Iya deh.. kalau kamu nggak jijik.”
Paha putihnya sudah kuusap lembut dengan tangan kiriku, sementara jari tengah tangan kananku mulai menjamah liang kenikmatan itu.
Kulihat Tante Mona melirik ke arahku sambil berkata, “Dik.. jilatnya yang enak yah..!”
Aku hanya mengangguk sambil mulai kutempelkan lidahku pada liang kenikmatannya yang rupanya selain wangi rasanya pun agak asin, membuatku semakin bernasu untuk menjilatinya, sementara kulirik Tante Mona sedang merasakan geli-geli keenakan.
“Ah.. ah.. ssh.. argh.. iya.. yach.. Dik.. enak deh rasanya.. wah kalau gini.. besok-besok mainnya sama Dik Setio aja deh.. sama Om.. ntar-ntar deh.. abis.. enak.. banget.. sih.. Dik Setio mau khan..? Ah.. argh..!”
Aku tidak menjawab karena lidahku sudah menemukan biji klitoris yang rasanya lebih manis lagi dari liangnya, sehingga makin cepat kujilati. Rasa nikmatnya seakan-akan tidak pernah hilang. Tante Mona semakin menggelinjang tidak karuan, sementara tangannya menekan kepalaku yang seakan dia tidak mau kalau kulepaskan lidahku dari biji klitorisnya. Hampir 10 menit klitoris manis itu kujilati ketika tiba-tiba tubuh Tante Mona mengejang-ngejang, dan dari klitoris itu mengalir deras cairan putih bersih, kental dan rasanya lebih manis dari biji klitoris, sehingga dengan cepat kutangkap dengan lidahku, lalu kutelan cairan itu sampai habis. Tante Mona pun mendesah dan langsung tubuhnya lemas.
“Argh.. argh.. agh.. ssh.. sshh.. eegh.. eegh.. Dik.. Setio.. enak.. buangget.. deh.. kamu.. pintar.. membuat.. Tante.. keluar.. yang belum pernah Tante.. keluarin dengan cara begini.. kamu.. hebat deh, agh.. agh..!”
Kuubah posisi Tante Mona, kali ini kakinya terjuntai ke bawah, lalu kuposisikan batangku tepat di liang kemaluannya yang masih agak basah. Dengan jariku, kurenggangkan liangnya, lalu dengan sedikit hentakan, batang kejantananku kudorong masuk, tapi agaknya liang itu masih agak sempit, mungkin karena batangku yang besar. Kucoba lagi hingga 5 kali tapi belum bisa masuk.
“Tante.. liang Tante.. sempit.. yach.. padahal saya sudah tekan berkali-kali..”
“Iya.. dik.. mungkin karena belum pernah melahirkan.. yach.. tapi tekan.. aja terus.. biar batang adik.. masuk.. nggak apa-apa kok.. kalau sampai liang saya robek..”
Kucoba lagi batangku kutekan ke dalam vagina Tante Mona. Akhirnya setelah 15 kali, Tante Mona menjerit keenakan, masuklah batang kejantananku yang super besar itu merobek liang kewanitaannya.
“Ooowww.. argh.. argh.. gila.. hegk.. hegk.. gede.. banget.. sich.. Dik batangmu rasanya nembus ke perut Tante nich.. tapi.. enak.. banget dech.. trus.. Dik.. trus.. tekannya.. argh.. argh..!” desahnya tidak menentu.
Kulihat Tante Mona berceracau sambil dengan perutnya berusaha menahan batangku yang masuk lubang kenikmatannya. Kutekan keluar masuk batangku pada vaginanya berkali-kali, tangannya memegang perutku berusaha menahan tekanan batangku pada liangnya. Tanganku mulai meremas-remas buah dadanya, kupelintir putingnya dengan jariku.
Hampir satu jam Tante Mona melawan permainanku. Tiba-tiba tubuh Tante mona menggelinjang dengan hebatnya, kakinya disepak-sepak seperti pemain bola dan keluarlah cairan dari liangnya yang membasahi batangku yang masih terjepit di liang senggamanya. Cairan itu terus mengalir, sehingga meluber keluar membuat pahaku dan pahanya basah, tetapi aku belum merasakan apa-apa. Yang kukagetkan adalah ketika kulirik cairan yang mambasahi paha kami ada tetesan darahnya, aku berpikir bahwa selama ini Tante Mona pasti masih perawan walau sudah berkali-kali main dengan suaminya.
0 Komentar