Silent Rose part 18

 

Bab 18






Kamar hotel tempat disekapnya Ian






Tiga hari pasca konferensi pers.






Ian tampak terduduk lemah di atas kursi, tangannya masih terbogol rapat, borgol itu sendiri telah meninggalkan garis samar di kulit pergelangan tangannya. Wajah Ian tampak lebam di beberapa tempat, hasil interogasi Rio dan Dean yang makin lama makin keras. Dalam hati Ian tertawa kecil. Dia paham betul, saat interogasi semakin dekat dengan aksi kekerasan, itu artinya para polisi mulai menemui jalan buntu. Kini tinggal menunggu waktu sampai dia bisa dinyatakan tidak bersalah.




Pandangan Rio tampak tajam ke arah pemuda di depannya, satu-satunya tersangka dalam kasus kali ini. Berkali-kali dalam benaknya Rio mencoba mengingat sosok yang menabraknya tujuh tahun lalu, namun keadaan malam yang gelap berhasil menghalanginya mengingat. Rio menarik pistolnya saat mendengar suara pintu terbuka, berhadapan dengan Silent Rose menaikkan tingkat kesiagaannya, dia tidak ingin ada celah sedikitpun.






"Tonight rose will silent forever." Terdengar suara Dean dari arah pintu.






Rio menurunkan senjatanya dengan lega, Dia dan Dean menggunakan sebuah sandi untuk mengenali satu sama lain. Siapapun yang masuk harus mengucapkan sandi tersebut. Jadi meskipun Rio mendengar suara Dean, namun Dean tidak menyebutkan sandi, saat itu Rio harus curiga, bisa saja seseorang menodong Dean dan masuk bersamanya ke dalam kamar.




"Kemarilah, Rio."




Rio melayangkan pandangannya sekali lagi ke arah Ian, memastikan tersangka satu-satunya tetap terikat dan tak berdaya. Setelah memastikan, Rio beranjak ke ruang tengah, menemui Dean yang tampak kusut. Kedua tangan Dean bertumpu pada meja sambil memegangi kepalanya sendiri.






"Apa ada kabar terbaru?" tanya Rio.




Dean mengangkat wajahnya. "Ya, tim penyelidik berhasil mengidentifikasi gadis bernama Cathy itu."




Rio bergegas duduk di sebelah Dean dan membakar sebatang rokok. "Lalu?, apa gadis itu berhasil ditangkap?."


"Gadis itu berada dalam ancaman" tukas Dean sambil melongokkan kepalanya ke arah dapur, tempat Ian disekap. "Seseorang mengancam gadis itu melalui telepon, mengirim beberapa lembar foto pribadinya dan menyuruhnya mengikuti instruksi."


"Kau sudah bertemu dengan gadis itu?"


"Ya" Dean mengangguk. "Setelah ini kau bisa menemuinya di kantor kalau kau mau, mungkin kau ingin menginterogasinya sendiri."




Rio menggeleng. "Tidak perlu, dari awal aku sudah menduga gadis itu cuma alat. Dan kecil kemungkinan Silent Rose menemui langsung gadis itu kan?"


"Tepat sekali!" Dean menjentikkan jarinya. "Gadis itu hanya menerima ancaman, instruksi dan uang tunai sebesar empat puluh juta. Lalu siapapun yang mengancam gadis itu, dia melakukannya via telepon."


"Sudah kau periksa ponsel gadis itu?"


"Itu hal pertama yang kulakukan Hasilnya negatif, orang itu menelepon dari nomor yang tidak terdaftar di operator manapun."


"Wow", Rio menggeleng. "itu hal yang belum pernah terjadi di Indonesia sebelumnya, itu pasti terkait dengan teknologi. Kau sudah mencoba mensinkronisasikan cerita gadis itu dengan apa yang disampaikan tersangka kita?."


"Ya" Dean menjawab pelan. "Semuanya cocok ada beberapa bagian yang tidak sama, namun setelah aku desak, akhirnya gadis itu menceritakan sebenarnya, dan kali ini semuanya cocok."






Keduanya terdiam untuk sesaat, mereka berpikir, ditemukannya Cathy yang merupakan tokoh penting dari kasus kali ini bukannya memberi keuntungan justru makin mengaburkan investigasi. Ian kini semakin jauh dari status terdakwa.




Dering ponsel memecah keheningan, Dean mengangkat ponselnya, setelah membaca nama yang tertulis di layar ponsel, dia menerima panggilan itu.




Rio melayangkan pandangannya ke dapur, naluri detektifnya belum mempercayai kenyataan bahwa mereka semakin jauh dari Silent Rose. Bahwa pemuda yang kini mereka sekap sebagai tersangka benar-benar tidak bersalah. Kemungkinan bahwa Ian bukanlah Silent Rose memang semakin besar. Tapi bagaimana kalau itu ternyata trik?, itu hanya permainan rencana yang dimaui oleh Silent Rose. Mungkin saja Silent Rose menonton kala mereka mengadakan konferensi pers dan tertawa dalam hati. Membayangkan sosok Silent Rose dengan senyum lebarnya saat menyaksikan mereka bermain sesuai rencana membuat Rio merasa muak. Rasanya, kini mereka tak ubahnya sebuah bidak dalam sebuah papan catur berdarah.




Rio menangkap kecemasan dan ketidak-percayaan muncul di wajah Dean setelah Dean menutup panggilan.






"Siapa yang menelepon?" tanya Rio pada Dean.


"Kapolri kita" Dean diam sejenak, tidak segera menyelesaikan ucapannya." Ini buruk" ujarnya kemudian. Rio memandang Dean dalam kebingungan.


"Ada apa Dean?"


"Wijatmoko salah seorang tersangka kasus daging impor yang masuk dalam daftar nama pada surat ancaman Silent Rose" Dean diam lagi. "Dia terbunuh dengan tembakan jarak jauh. Silent Rose membunuhnya" Ucap detektif itu getir.






*_*_*​






Hawa ruangan kerja Kapolri Barat Pradapa terasa sangat tidak enak, Kapolri berkumis tebal itu tampak memegangi kepala dengan kedua tangannya, keresahan tampak jelas terpancar dari seluruh gerak tubuh Kapolri tersebut. Bagaimana tidak, baru beberapa hari yang lalu dia mengumumkan pada media massa keberhasilannya menangkap tersangka pembunuhan berencana yang disebut Silent Rose. Dan saat ini satu nama dari daftar ancaman terbunuh, membuat polisi terpaksa menelan ludahnya sendiri.




Jenderal (pol) Barat Pradapa mengangkat wajahnya saat pintu terbuka dan dua detektif terbaiknya; Inspektur (pol) Dean dan detektif Rio memasuki ruangannya. Setelah menutup pintu kedua detektif itu duduk di kursi tepat di seberang meja kerja Kapolri. Keduanya tidak berani mengucapkan sepatah katapun.






"Bangsat!!" Kapolri Barat Pradapa mengutuk keras sambil membanting beberapa koran ke atas meja kerjanya. Koran-koran itu penuh menjadikan kegagalan polisi sebagai headline beritanya, dirangkai dengan judul-judul yang memojokkan kepolisian seperti Kegagalan Polisi, Pernyataan palsu Kapolri, Bagaimana kita bisa percaya pada polisi atau Polisi menipu semua, dan beberapa judul yang jelas-jelas menghina kepolisian.


"Bagaimana kalian akan menjawab semua ini!!" kemarahan terdengar jelas dari bibir Kapolri. "Seharusnya aku tidak menuruti keinginan kalian untuk mengadakan konferensi pers!" Pria berkumis itu tampak sangat geram, tangannya terkepal.


"Konferensi itu tetap harus dilaksanakan, Jenderal" Dean menjawab dengan tenang. Kemarahan Kapolri bukanlah hal yang tidak diprediksikan olehnya, detektif kawakan ini menunjukkan kualitasnya untuk tetap terlihat tenang dan sopan dalam keadaan apapun. Bagaimanapun, konferensi pers itu tetap membawa kemajuan bagi investigasi kami.


"Dan menambah jatuhnya korban lagi?!!" Kapolri tampak makin geram dengan jawaban Dean. "Membuat kepolisian kehilangan muka?!, itu yang kalian sebut sebagai kemajuan?!!"


"Kami tidak meminta agar perlindungan khusus pada korban-korban terancam untuk dicabut kan?" kali ini Rio membantah, seperti biasa, Rio masih mudah terpancing emosinya. Meskipun pernyataan mengenai tertangkapnya tersangka Silent Rose diumumkan tidak seharusnya penjagaan dan perlindungan terhadap korban terancam dilonggarkan hingga kasus ini benar-benar tertutup!






Dean menepuk pundak Rio, meminta detektif bawahannya itu untuk tetap menggunakan kepala dingin. Tepukan itu membuat Rio tidak melanjutkan argumennya. Kapolri Barat Pradapa terdiam sejenak, memang benar seharusnya pihak kepolisian tidak lengah dan tetap menjaga ketat para korban yang tercantum dalam daftar ancaman Silent Rose. Jika saja pihak kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan para korban terancam tidak lalai, mungkin korban bisa diselamatkan. Meski nama baik kepolisian akan tetap tercemar.




Sebenarnya, Jenderal Dean membuka kembali pembicaraan yang sempat terhenti, nada diplomasinya terdengar penuh kehati-hatian namun meyakinkan. Konferensi pers itu akan menjadi tantangan bagi Silent Rose untuk kembali bergerak. Kami menangkap seorang tersangka, dan untuk memperkuat keyakinan kami, kami harus mengirimkan sebuah umpan. Seandainya tersangka yang kami tangkap adalah Silent Rose, maka tidak akan terjadi apa-apa.




"Jadi tersangka yang kalian tangkap itu positif bukan Silent Rose?" Kapolri Barat Pradapa menegaskan.


"belum tentu Pak" Rio menyanggah kesimpulan yang diambil oleh Kapolri. "Selama ini tidak ada tanda-tanda bahwa Silent Rose selalu bergerak sendirian. Bisa saja ada orang di luar sana yang membantu Silent Rose."


"Maksudmu Silent Rose bukan satu orang saja?" pria berkumis tebal itu bertanya, mencoba menarik kesimpulan dari apa yang disampaikan detektif muda berbakat di hadapannya.


"Ada kemungkinan untuk itu" Dean menjawab singkat. "Aksi terakhir menunjukkan kemungkinan adanya tersangka lain."


"Bagaimana dengan tersangka yang kalian sekap? Apa bisa dinaikkan menjadi terdakwa?"






Pertanyaan yang baru saja diluncurkan oleh Kapolri Barat Pradapa membuat dua detektif di depannya mendadak diam. Dengan malas Dean menggeleng.






"Penyelidikan menunjukkan kemungkinan tidak bersalahnya tersangka" Dean menjawab.


"tapi kami akan menemukan bukti" Rio menyahut. "Aku yakin sekali dia turut ambil bagian dalam kasus kali ini."


"Keyakinan saja tidak cukup detektif Rio!" Nada suara Kapolri Barat Pradapa kembali meninggi. "Kalian hanya berjalan di tempat dengan keyakinan naif kalian!. Aku ingin bukti nyata!, dan untuk itu kau akan dikeluarkan dari kasus ini."






Kalimat terakhir yang diucapkan Kapolri membuat Dean maupun Rio tersentak kaget.






"Maksud Bapak?" Rio tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.


"Sutan Abdila, Kepala Polisi Malasyia semalam menghubungiku, dan dia memberiku saran untuk menangani kasus ini. Aku memutuskan untuk meminta bantuan pihak luar yang lebih ahli dalam kasus pembunuhan berantai disertai surat ancaman seperti kali ini."


"Pihak luar?, maksud Bapak detektif swasta?" Dean mengernyitkan alisnya, sejauh yang dia tahu tidak ada lembaga swasta di Indonesia yang memiliki detektif lebih baik dari Rio dan dirinya.


"Bukan swasta juga, bisa dibilang aku telah melakukan kerjasama antar negara. Aku mengajukan permohonan ke pihak asing dan mereka mengirimkan salah satu agen terbaik mereka yang pernah membantu beberapa kasus terkait pembunuhan berantai di Asia. Dia telah membantu menangkap pembunuh berantai di prefektur Yamaguchi Jepang, Juli 2013 lalu. Dan dia melakukan dengan sangat baik."


"Anda meminta kami untuk bekerja sama dengan pihak asing itu?" Rio menegaskan.


"Dean, bukan kau" Kapolri tampak yakin dengan keputusannya. Seperti yang kubilang, "kau dikeluarkan dari kasus yang terkait dengan Silent Rose."






Ekspresi Rio berubah seketika, dia benar-benar tidak percaya, setelah bertahun-tahun dia berusaha meningkatkan daya analisa, ketelitian, dan berbagai kemampuan lainnya hanya untuk mengejar seorang Silent Rose. Dan kini dia disingkirkan begitu saja?, tangan Rio mengepal membayangkan pintu pengejarannya terhadap sosok yang membunuh Komang Mahendra ditutup begitu saja tepat di depan matanya sendiri.






"Dengan segala hormat,Bapak Kapolri," Dean mencoba memberi komentar, dipandangnya Rio dan Kapolri bergantian sebelum melanjutkan ucapannya. Selama ini Rio telah memberi banyak kemajuan dalam penyelidikan kepolisian dengan analisanya yang tajam. Jujur saya rasa saya tidak bisa melakukan investigasi dengan baik tanpa kehadiran detektif Rio.




Kapolri terdiam sejenak, memandangi Dean dengan seksama. 


"Jadi kau keberatan jika Detektif Rio ditarik dari kasus ini, Inspektor Dean?"


"Tepat sekali, Jenderal" Dean menganggukkan kepalanya. Selama ini Rio selalu berhasil melihat apa yang tidak saya lihat. Rio dan saya telah mengikuti jejak Silent Rose ini sejak awal dia beraksi. Menurut saya, dengan tambahan tenaga ahli akan menjadi pembelajaran yang baik bagi kami sekaligus meningkatkan pencapaian dalam kasus ini.




Jenderal (pol) Barat Pradapa mengangguk-angguk setuju. Baiklah kalau begitu, ujarnya kemudian.




Pembicaraan terhenti sesaat ketika pintu ruangan diketuk, seorang petugas berseragam membuka pintu ruangan Kapolri.






"Bapak, Mr. Christ Oakland telah tiba dan ingin menemui anda" Ujar petugas itu sopan.




Kapolri Barat Pradapa mengangguk. "Panggil dia kemari, aku ingin sekaligus mengenalkannya pada Inspektor Dean dan Detektif Rio."


"Orang asing?" Tanya Rio pada Kapolri. Aku pikir dia orang Jepang atau setidaknya Asia. Wajahnya menunjukkan ketidak-sukaan. Rio memang kurang suka dengan orang barat.


"Dia salah satu warga Amerika" Kapolri menjelaskan "salah satu agen terbaik, aku sudah membaca resumenya, dia spesialis dalam penyelidikan dan mata-mata.






Pintu terbuka, seorang pria asing berkulit putih mengenakan setelan jas hitam yang rapi masuk ke dalam ruangan. Rambut pria itu berwarna pirang, dengan potongan emo yang cukup rapi. Bola mata pria itu berwarna biru, lesung pipit terlihat di pipi kanan-nya ketika dia maju dan bersalaman dengan Kapolri.






"Selamat datang di Indonesia tuan Christian Oakland" Sambut Kapolri Barat Pradapa.


"Christ Oakland bukan Christian, Jenderal Pradap". Christ mengoreksi ucapan Kapolri.






Kapolri beranjak dari kursinya, memperkenalkan Dean dan Rio pada Christ. Christ menjabat tangan keduanya.






"Aku tidak menyangka bahasa Indonesiamu cukup bagus. Ini Inspektor Dean, kepala penyelidikan dalam kasus Silent Rose ini" kapolri mengarahkan pandangannya pada Dean. Dean tersenyum dan menyambut jabatan tangan pria asing tersebut. Dan ini Kapolri mengerling pada Rio. Detektif Rio, detektif terbaik yang kami miliki saat ini.




Rio menatap tajam pada mata biru pria asing di depannya, lalu menerima jabatan tangan Christ.






"Mohon bantuannya Agen Christ..."


"C-O" ucap pria asing itu sambil tersenyum.


"Maaf?" Dean dan Rio menyahut hampir bersamaan.


"Jika kalian hendak memanggilku sebagai Agen, biar kuperkenalkan diriku. Aku Agen C.O, itu nama lapangan yang diberikan bagiku" owl FBI. Ucap pria itu dengan nada yang cukup datar.


"Burung hantu, itu sebutan bagi mata-mata terlatih bukan?" Rio bertanya.


"Kau tahu cukup banyak, Detektif." Senyum ramah kembali muncul di wajah Clever Owl. 


"Aku memang spesialis investigasi dan mata-mata dari FBI." Clever Owl mengambil kursi tepat di samping Rio. "Jadi, apa yang kita dapatkan dalam kasus ini?"


"Tidak disini" Dean menyahut.


"Kita akan membahas kasus ini di tempat khusus, jika anda tidak keberatan Pak Kepala?"


"tentu saja!" Kapolri Barat Pradapa menjawab permintaan Dean. "Lebih baik kalau kalian membahas kasus ini di tempat yang lebih aman dari kantor polisi. Kebocoran bisa terjadi dimanapun." Dalam hati Kapolri merasa sedikit bingung, bahkan sampai saat ini dia tidak tahu siapa dan dimana tersangka itu disimpan oleh Dean, dia hanya dapat memberikan kepercayaan penuh pada Dean.






Dean mohon diri dari ruangan tersebut. Diikuti oleh Rio dan partner baru mereka Clever Owl dari FBI. Sekilas Rio dapat melihat bahwa Clever Owl adalah agen terlatih yang benar-benar memiliki intelegensi tinggi. Ada kemungkinan dia dapat membantu menyelesaikan dan mengungkap siapa sebenarnya Silent Rose.






"Hanya tinggal satu nama dalam daftar ancaman yang tersisa". Ujar Dean dalam mobil di sela-sela perjalanan mereka meninggalkan Mabespolri. Ahmadi Fahsa. Silent Rose gagal mengeksekusinya beberapa minggu yang lalu.


"Gagal?" Clever Owl mencoba memperjelas apa yang diucapkan Dean.


"Tembakannya meleset, saat itu tanpa disengaja Ahmadi Fahsa menunduk mengambil catatan yang terjatuh dari sakunya, dan itulah yang membuat tembakan Silent Rose meleset."


"Tapi dia tidak pernah meleset sebelumnya, kan?" Agen FBI itu kembali bertanya.


"Tidak" Rio berkomentar. "Baru kali ini dia meleset, tidak di semua kasus Silent Rose menggunakan tembakan jarak jauhnya, seringkali dia menggunakan semacam trik untuk menghabisi targetnya. Dan baru kali ini juga dia menggunakan semacam surat ancaman."


"Seolah meminta kepolisian untuk menghentikan aksinya" Komentar Clever Owl. Jika terlalu banyak ketidakmiripan dengan kasus-kasus sebelumnya, kenapa kalian yakin pelakunya Silent Rose? Bisa saja seseorang mengirim surat palsu menggunakan nama Silent Rose?


" datang mobilnya, mengambil sebuah benda yang terbungkus kantong plastik transparan dan menunjukkannya pada Clever Owl. Clever Owl menerima bungkusan itu dan memandangnya dengan heran.


"Itu ciri khas Silent Ros", Rio berkata. "Dia selalu meninggalkan puntung rokok dengan logo mawar sebagai ciri khasnya. Dan kami telah menyelidiki, puntung rokok yang tertinggal di TKP adalah benda yang dibuat oleh pabrik yang sama."


"Jadi Silent Rose itu semacam sales rokok?" Clever Owl mencoba berkelakar, tidak satupun tertawa. Dean dan Rio telah banyak memutar otak untuk memecahkan kasus ini.


"Bagaimana kita bisa mendekati Silent Rose dengan seputung rokok tanpa jejak saliva atau sidik jari seperti ini?" Clever Owl kembali serius.


"Saat tembakannya meleset, aku dan Dean berhasil menemukan lokasi penembakan, dan kami menangkap satu tersangka."


"Oh! Itu satu kemajuan pesat! Jadi kalian menangkap Silent Rose?"


"Mungkin" Dean menjawab dengan nada datar. "Atau mungkin kami hanya menangkap pemuda tak beruntung yang masuk dalam perangkap Silent Rose."


"Kau akan tahu saat menemui tersangka". Kami ingin tahu pendapatmu mengenai dia.


"Jadi saat untuk sementara pembunuhan itu berhenti, kalian berpikir telah menangkap Silent Rose?. Padahal itu mungkin hanya trik untuk mengalihkan perhatian kalian semua."






Tidak satupun dari kedua detektif kita menanggapi kesimpulan yang diambil oleh Clever Owl, seorang agen rahasia dari FBI. Rio memandang ekspresi pria asing itu dari spion mobilnya, harus diakui, pria asing ini cukup cerdas karena mampu membaca apa yang terjadi dalam waktu sangat singkat.






"Kita lihat saja", ucap Clever Owl kemudian. "Sepertinya kita bisa membalik keadaan dan menciptakan perangkap untuk pembunuh yang kalian sebut sebagai Silent Rose ini" Tambahnya dengan penuh percaya diri.






Sesuatu muncul di benak Clever Owl, agen rahasia FBI yang kini menjadi ancaman bagi Silent Rose. Sesuatu yang dapat menjadi perangkap bagi Silent Rose. Apakah Silent Rose dapat lolos dari cengkeraman dua detektif terbaik dan satu agen FBI ini?.






The Rose Will End Soon if He dont move faster​








BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar