Silent Rose part 17

 

Bab 17








Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta.






Dua mingggu pasca tertangkapnya Ian.






Ruang aula gedung Mabes Polri terlihat ramai malam itu, setidaknya ada tujuh baris kursi yang dipenuhi oleh para kutu berita dari berbagai media massa. Ruangan berlantai keramik berwarna dasar krem, dihiasi warna coklat sebagai warna dasar seragam kepolisian itu tampak rapi seperti biasanya. Beberapa wartawan tampak asyik berbincang, membicarakan tentang kemungkinan berita yang merupakan topik terpanas akhir-akhir ini.




Jenderal (Pol) Barat Pradapa tampak sedikit nervous, kumis tebalnya tampak naik turun setiap dia menarik nafas. Pria yang saat ini menjabat sebagai Kapolri itu duduk di kursinya tanpa perasaan nyaman sedikitpun. Duduk di seberang mejanya, dua detektif paling berprestasi yang pernah dimiliki oleh kepolisian ; Dean dan Rio.






"Kalian yakin?" suara Barat Pradapa terdengar berat namun tidak dapat menyembunyikan kekhawatiran di intonasi suaranya. Hal ini akan membawa pengaruh besar ke khalayak ramai.


"Sejauh ini kami yakin, meski bukti belum terlalu kuat" Dean mengomentari kekhawatiran yang terlihat di raut wajah Kapolri Barat Pradapa. Wajar jika Kapolri itu khawatir, tidak setiap hari kepolisian mengadakan konferensi pers, apalagi topik kali ini mengenai kriminal yang kontroversial. Pihak pemerintahan dan kepolisian sepakat bahwa Silent Rose adalah kriminal, sedang di pihak lain, ada beberapa simpatisan yang justru menganggap Silent Rose adalah keadilan yang sesungguhnya.


"kami yakin dengan tersangka yang saat ini kami amankan. Dia adalah Silent Rose" tambah Rio mencoba meyakinkan.






Akhir-akhir ini semua penuh dengan tekanan, kumis tebal Kapolri Barat Pradapa tampak bergerak samar saat dia bicara. Dengan adanya konferensi pers ini, mereka semua juga akan tahu bahwa kita tidak hanya berpangku tangan terhadap teror Silent Rose pada kasus daging impor ini. Para cicak-cicak KPK juga bisa melaksanakan tugas mereka tanpa banyak alasan.




Pria itu berdiri dari kursinya dan menarik nafas panjang. Aku akan memulai konferensi ini, kita akan menyatakan bahwa kita telah menangkap tersangka yang dipercaya sebagai Silent Rose. Dean, Rio setelah konferensi ini, aku harap kalian dapat menemukan bukti yang memberatkan, Kapolri Barat Pradapa bergegas ke arah pintu ruangannya. Sesampai di depan pintu, Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur 10 Januari 1956 ini berbalik ke arah Dean dan Rio yang hendak mengikutinya.






"Dimana Silent Rose itu sekarang?" tanyanya kemudian.




Dean tersenyum, di tempat yang aman, jawabnya diplomatis.






*_*_*​






Dengan ini kami pihak kepolisian menyatakan telah menangkap orang yang diduga kuat sebagai Silent Rose. Saat ini kami tidak dapat mengkonfirmasikan siapa dan dimana orang itu kami tahan. Hal itu untuk meminimalisir gagalnya usaha kami kali ini. Beberapa bukti telah kami dapatkan untuk memberatkan tersangka tersebut. Saat ini kami tengah berusaha mengumpulkan bukti-bukti yang lebih kuat dan otentik sehingga dalam waktu dekat, diharapkan status tersangka tersebut dapat ditetapkan sebagai terdakwa. Kapolri Barat Pradapa terlihat cukup tenang dalam menyampaikan pernyataannya, keadaan seketika menjadi cukup ramai dengan gumaman-gumaman para wartawan yang menghadiri konferensi pers tersebut.




Kami ingin melihat tersangka itu, salah seorang wartawan berseru. Perhatian semua orang dalam ruangan mendadak tertuju padanya, sebelum kembali ke Kapolri Barat Pradapa yang kini tampak bingung.




"Kalian akan melihatnya setelah status terdakwa ditetapkan. Saat ini kami butuh waktu untuk mencari bukti yang lebih kuat. Kami tidak main-main, Dean menimpali, mencoba mengobrol dengan Kapolri Barat Pradapa yang tampak bingung. Meski masih tergolong muda, hampir semua wartawan tahu kredibilitas Dean maupun Rio yang luar biasa dalam menyelesaikan beberapa kasus kriminalitas dengan tingkat akurasi yang sangat baik. Jika detektif sehebat Dean saja meminta waktu, itu artinya mereka sedang bekerja keras.






Fidya Lidwina kembali terlihat di monitor, namun belum sempat Frida membacakan beritanya, televisi sudah dimatikan. Eva menoleh ke Wise Crow yang baru saja mematikan televisi. Pria tua itu tampak dengan tenang mengambil selembar kain dan kembali menggosok gelas-gelas kacanya.






"Apa anda tidak akan melakukan sesuatu?" Eva bertanya pada Wise Crow, gadis itu jelas terlihat khawatir dengan keadaan Ian yang tanpa kabar. Meski terlihat penuh kekhawatiran, gadis muda itu masih terlihat cantik.


"Apa ada yang mengabarkan bahwa yang mereka tangkap itu adalah Ian?", Mr. Wise bertanya balik, dengan nada datar yang sulit ditebak. Bahkan tanpa menghentikan kegiatan mengelap gelasnya sekalipun.


"Tidak" Eva menggeleng. Gadis itu diam beberapa detik, memandang kosong ke arah gelas di tangan Wise Crow. Benar juga, tidak mungkin Ian tertangkap semudah itu. Jadi menurut Paman, siapapun yang mereka tangkap jelas bukan Ian?. Artinya mereka telah menangkap Silent Rose palsu itu, raut wajah Eva memperlihatkan sedikit kelegaan.


"Oh menurutku itu pasti Ian," Wise Crow meletakkan gelas di tangannya dan memandang pada Eva yang bereaksi dengan mengernyitkan alisnya. Hanya akan menambah tingkat kesulitan jika benar Silent Rose palsu tertangkap lebih dulu oleh kepolisian. Jika saja Ian tahu identitas


"brengsek itu, mungkin dia bisa menghabisinya diam-diam. Tapi Ian tidak tahu, bahkan tidak secuil informasipun."


"Polisi lebih punya informasi lebih, Eva menanggapi ucapan Mr. Wise. Jadi Ian menyerahkan diri ke mereka, agar mendapat informasi tersebut?."


"Dia memilih memainkan permainan dengan cara yang paling berbahaya" Wise Crow mengambil gelas lain untuk dibersihkan. mungkin dia membuat dirinya tertangkap dan menunggu sampai polisi mengungkap keberadaan Silent Rose palsu. Begitu Silent Rose palsu itu ditemukan, dia baru bergerak menghabisi sang target.


"Bagaimana kalau tidak?"bagaimana kalau polisi tidak pernah berhasil mengungkap identitas Silent Rose palsu itu?", Eva bertanya sekali lagi.


"Maka itu adalah musibah baginya, dia harus menemukan cara untuk meloloskan diri dari kepolisian. Dan jika dia sampai menyandang status buronan, kami harus membersihkannya."


"Membersihkannya?" Eva mencoba memperjelas apa yang didengarnya. Siapa?.


"Association" wise crow berkata pelan "direct order punya jangka waktu yang tidak banyak, jika dianggap melakukan tindakan yang membahayakan Association maka kami tidak punya pilihan lain selain melenyapkan ancaman itu.


"Tidak adakah yang bisa kau lakukan?" kali ini nada suara Eva terdengar sedikit memohon.






Wise Crow memandang tajam ke arah gadis manis itu. Sudah tiga minggu gadis itu menumpang tinggal di Green File Café. Pandangan Pak tua itu kini menyusuri lekuk pinggang gadis itu, dan terus hingga ke wajahnya.






"Kau ingin tahu jawabannya?" tanya Wise Crow dingin.




Eva mengangguk.




"Ikut denganku" Wise Crow memberi isyarat pada Eva untuk mengikutinya ke ruang kerjanya, dan dia memberi aba-aba pada Juna, karyawannya untuk menggantikannya di meja bartender. Gadis manis itu mengikuti langkah Wise Crow menuju ke ruang kerja Pak tua itu.


"Tutup pintunya" Mr. Wise memerintahkan Eva untuk menutup pintu ruangan tersebut.






Eva beranjak untuk menutup pintu, dan ketika dia berbalik, dia cukup terkejut melihat Pak Tua itu kini telah menanggalkan celananya. Penis Pak Tua itu memiliki diameter yang cukup besar, terjuntai malas di antara kedua paha telanjangnya. Eva bergidik melihatnya.






"Kau tahu apa yang harus kau lakukan" ujar Mr. Wise dengan sedikit senyum picik tersungging samar di wajah keriputnya.






*_*_*​






Gemericik air yang keluar dari shower memenuhi kamar mandi di hotel berbintang tersebut. Di luar kamar mandi, Dean sedang membersihkan tubuhnya nya dengan sapu tangan. Rio bersandar pada dinding luar kamar mandi sambil menghisap dalam-dalam rokoknya.




Aku sedikit bingung dengan semua ini, Dean berkata sambil mengisi amunisi ke senjatanya. Hasil tes urine dan darah menunjukkan adanya kandungan zat kimia llipolichity dengan konsentrasi padat. Hal itu mendukung kebenaran dari cerita yang disampaikan pemuda itu.






"Bisa saja dia menyuntikkan zat itu ke dirinya sendiri kan? Rio menanggapi.


"Berdasarkan hasil pemeriksaan, zat itu sudah beredar di dalam darah pemuda itu sekitar antara pukul dua dan tiga pagi. Efek dari dosis terkecil zat tersebut dapat menyebabkan kehilangan kesadaran selama dua belas jam. Kalaupun pemuda itu menyuntik dirinya sendiri, dia baru bisa sadar setelah pukul dua siang" Dean memperjelas hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim laboratorium kepolisian.


"Dan?" Rio menunggu lanjutan dari ucapan Dean.


"Kita segera berlari ke kamar itu begitu penembakan terjadi, memakan waktu sekitar sepuluh menit dari tempat kita ke kamar tersebut. Saat mendobrak, aku masih ingat betul angka di jam dinding kamar itu menunjukkan pukul 13:30"


"Artinya penembakan terjadi sekitar pukul 13:20, dimana seharusnya saat itu tersangka kita harusnya baru mendapat kesadarannya atau belum sadar sama sekali" Rio menyempurnakan analisa Dean.


"Artinya tersangka kita punya alibi yang cukup kuat", Dean menegaskan.


"Satu trik lagi" Rio bergerak ke arah tempat sampah dan mematikan rokoknya. "Itu satu trik lagi yang digunakan oleh tersangka. Dengar Dean, bagaimana kalau kita coba melihat dari sisi positifnya sekarang sejak kita menahan pemuda sialan ini, Silent Rose tidak bergerak lagi."


"Ya, itu yang jadi pemberat bagi tersangka kita" Dean membenarkan ucapan Rio. Namun bukti-bukti yang kita miliki masih minim. Kita perlu bukti lebih kuat untuk merubah status tersangka menjadi terdakwa.


"Bagaimana dengan gadis bernama Cathy itu?" Rio menanyakan satu nama yang sempat disebutkan Ian.


"Tim penyelidik sedang bekerja keras mencari identitas gadis itu Sepertinya gadis itu sudah meninggalkan Jakarta."


"Kau tahu kenapa aku begitu yakin pemuda itu adalah Silent Rose, Dean?" tanya Rio kemudian, nada suaranya terdengar pelan, setengah berbisik. Dean menggeleng.




Rio menoleh sejenak ke arah kamar mandi, memastikan bahwa tidak ada suara aktivitas yang mencurigakan di dalamnya.




"Kau tahu aku pernah berpapasan dengan Silent Rose sebelumnya, tujuh tahun yang lalu. Saat aku masih baru bergabung dengan kepolisian" Rio mengambil sebatang rokok dan mulai membakarnya lagi.


"Ya, kau jadi satu-satunya saksi mata pada malam itu" Dean menanggapi.


"Malam itu aku dan Jenderal (Pol) Komang Mahendra sedang menguntit seseorang, aku tidak tahu kalau yang kami kejar adalah orang yang berbahaya seperti Silent Rose. Waktu itu kami bersembunyi di sebuah gang kecil di antara dua gedung bertingkat tiga. Dan teriakan seorang wanita menarik perhatian kami" Rio diam sejenak, menghisap dan menghembuskan asap rokoknya yang mengepul.


"Beberapa meter dari kami, tepat di seberang jala", Rio kembali melanjutkan ceritanya. "Seorang wanita sedang berebutan tas tangan dengan seorang pria, mereka saling tarik sampai akhirnya sang pria memukul wanita tersebut. Setelah itu, pria itu mulai lari, sang wanita meneriakkan kata jambret dan meminta pertolongan, saat itu aku sudah hendak mengejar penjambret itu namun Jenderal Komang menahan pundakku."






Dean menggeser duduknya saat Rio menghentikan ceritanya untuk sejenak. Dean memang pernah mendengar dan membaca detail peristiwa dari berkas laporan kematian Jenderal (Pol) Komang Mahendra, namun baru kali ini dia mendengar langsung dari Rio.






"Jenderal Komang memintaku untuk tidak mengabaikan penjambret tersebut dan memberitahu polisi lain untuk mengurus penjambret tersebut. Tapi yah kau kenal bagaimana aku, aku tidak bisa tinggal diam melihat sesuatu terjadi di depan mataku. Kami berdebat cukup sengit waktu itu."


"Dan akhirnya?" Dean bertanya.


"Aku memutuskan untuk tetap mengejar penjambret tersebut, rasa idealisku masih cukup besar kurasa sampai sekarangpun belum berubah. Aku mengejar dan menangkap penjambret tersebut. Hanya butuh waktu sepuluh menit saja untuk meringkus dan kembali ke tempat pengintaian kami, saat itu aku bertabrakan dengan seseorang, aku tidak sempat melihat wajahnya, waktu itu aku fokus untuk segera kembali ke posisi pengintaian."


"Sepuluh menit?" Dean mengernyitkan alisnya. "Kau ingin memecahkan rekor?."


"Yup! Rekor penangkapan tercepat dan terbaik. Namun sepuluh menit itu adalah kesalahan, karena saat aku kembali, darah sudah mengalir dari leher Jenderal Komang."




Rio terdiam, Dean terdiam dan keadaan mendadak menjadi hening dalam kekakuan, hanya gemericik air dari shower yang terdengar.




"Penjambret itu?" Dean bertanya.


"Dia dibayar oleh seseorang sebesar dua juta, hanya untuk mengambil satu tas dari pejalan kaki disana, terserah siapa saja. Saat aku keluar dari gang untuk mengejar, saat itulah Silent Rose tahu tempat pengintaian kami, dan dia membunuh beliau dengan sangat cepat. Itu semua hanya trik Dean trik licik yang dilakukan oleh Silent Rose!!."






Ekspresi wajah Rio menunjukkan emosi yang susah dilukiskan, kecewa, marah, sedih semua seolah bercampur menjadi satu di setiap jengkal wajahnya. Dean menyodorkan sekaleng soda dingin untuk menenangkan perasaan Rio.






"Itu bukan salahmu" ujar Dean menenangkan.


"Seharusnya aku tak pernah meninggalkan tempat itu" gumam Rio lirih.






*_*_*​






Suhu ruangan di ruang kerja Wise Crow terasa gerah, meski pendingin ruangan itu menyala. Mata Pak tua itu terpejam, kenikmatan tampak di raut wajah keriputnya. Sesekali pria tua itu melenguh menikmati apa yang terjadi pada tubuh bagian bawahnya.




Berlutut di hadapan Mr. Wise, Eva tengah menggerakkan kepalanya maju-mundur beraturan, mulut gadis cantik itu kini tengah menghisap batang kejantanan pria tua itu. Eva memejamkan matanya, sambil sesekali menghisap dalam-dalam penis Mr. Wise. Pakaian Eva masih lengkap, T-shirt ketatnya masih melekat di tubuhnya, begitu pula dengan busana lainnya, namun tidak bisa disangkal, berada di ruangan kecil sambil menghisap penis seseorang turut menaikkan libidonya. Eva memainkan lidahnya seolah itu adalah batang kejantanan yang sangat disukainya, meski dalam hatinya dia tidak menginginkan hal ini. Gadis cantik itu telah memilih untuk menjalankan perannya demi bantuan untuk Ian sang Silent Rose. Kali ini, meski tanpa diminta oleh Ian, Eva berusaha sebaik mungkin untuk men support Ian.






Ouhhh.... Mr. Wise melenguh saat Eva memasukkan tiga perempat batang kejantanannya ke mulut mungil sang gadis. Eva menahan nafas, berusaha memasukkan penis tua itu lebih dalam lagi ke tenggorokannya, Gadis muda itu menahan penis itu tetap dalam posisi terdalam yang bisa dicapainya untuk beberapa detik sebelum kembali menarik lepas penis itu. Eva melayangkan pandangannya sejenak pada Mr. Wise, pria tua itu kini tampak sedikit bergetar saat Eva menggerakkan lidahnya, menyapu kepala penis pria tua itu dengan gerakan yang lamban namun penuh tekanan. Gadis itu lalu kembali berkosentrasi pada penis tua itu dan kembali menggerakkan kepalanya maju-mundur, membuat batang Mr. Wise terkocok dalam mulutnya.




Setelah beberapa saat, Mr. Wise menahan kepala gadis cantik yang tengah memberinya felation kelas tinggi dan mencabut penisnya dari mulut Eva. Kau hampir membuatku bobol tadi, ucap Pria tua itu, senyum cabul tersungging di wajahnya.




Pria tua itu mengangkat tubuh Eva berdiri sebelum dengan rakus lidahnya bergerak mencium leher gadis cantik itu. Eva memejamkan mata, mencoba tetap fokus pada perannya, jika dia mencoba melawan sentuhan ransangan yang diberikan Mr. Wise, tentu dia tidak akan bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bagaimanapun, dia harus bisa larut dan menikmati permainan Wise Crow.




Sshh.., tubuh gadis cantik bergidik saat tangan besar Wise Crow meremas buah dadanya dari luar T-shirt ketatnya. Eva mendesis saat merasakan kenikmatan mulai masuk ke dalam tubuhnya. Mr. Wise memainkan payudara ranum gadis itu dengan remasan-remasan yang cukup bertenaga, tidak terlalu keras, namun cukup untuk membuat gadis itu menggeliat dan mendesis keenakan.




Dadamu padat sekali, di sela-sela kegiatan mesumnya Mr. Wise masih sempat berkomentar. Eva memejamkan matanya, mencoba menstimulasi dirinya sendiri dengan imajinasi agar dapat lebih menikmati rangsangan demi rangsangan yang diberikan pria tua itu.




Tidak puas dengan itu, Mr. Wise menarik T-shirt Eva naik hingga terlepas lewat leher dan kedua tangannya. Kulit tubuh Eva yang putih serta buah dadanya yang masih tersangga oleh bra berwarna krem yang dikenakannya. Eva pasrah saat pria tua itu menanggalkan penutup terakhir dadanya. Wise Crow memandangi payudara Eva yang kini tersaji telanjang di depannya, menampakkan puting mungil kecoklatan muda yang menggiurkan. Dada Eva memang cukup indah dan padat. Nafas Wise Crow memburu saat pria tua itu mulai menghisap puting kiri gadis cantik itu, membuat gadis itu menggelinjang dan mengerang.




Wise Crow bermain cukup lama dengan dua buah bukit yang membusung indah itu. Setelah puas bermain dengan dada Eva, jari-jemari pria tua itu bergerak turun dan mulai melepas kancing celana yang dikenakan Eva. Gadis cantik itu menggerakkan tubuhnya, memudahkan Mr. Wise untuk melucuti celana beserta celana dalamnya dengan cepat.




Enghh Eva mengerang saat jari tengah gemuk Mr. Wise menyentuh bagian kewanitaannya, tubuh gadis itu terlonjak seolah tersengat sesuatu saat jari itu menyentuh klitorisnya. Tidak butuh waktu lama untuk membuat vagina gadis itu basah atas cairannya sendiri. Erangan demi erangan semakin terdengar tatkala Mr. Wise memainkan jarinya.




Mr. Wise tampaknya tak ingin berlama-lama dengan foreplay-nya, dia membalikkan tubuh telanjang Eva. Seakan mengerti apa yang diinginkan oleh Mr. Wise, Eva membungkukkan punggungnya, kedua tangan gadis itu bertumpu pada meja kerja Mr. Wise. Tanpa banyak suara dan gerakan, Mr. Wise meremas pantat bulat gadis itu, kemudian tangannya bergerak mencengkeram pinggang indah Eva.




"Buka sedikit kakimu" perintah Mr. Wise, Eva menggerakkan kakinya sedikit tanpa bicara sepatah katapun. Tubuhnya sedikit terlonjak saat dia merasakan sesuatu yang keras, lembut dan hangat menggesek gerbang kewanitaannya. Mata keduanya lalu terpejam, erangan keluar nyaris bersamaan dari kedua manusia berlainan jenis ini saat sedikit demi sedikit penis pria tua itu memasuki tubuh sempurna Eva.






Wise Crow tidak menunggu lama, pria tua itu memacu penisnya sambil mengerang menahan kenikmatan yang diberikan oleh jepitan vagina gadis muda itu. Di lain pihak, Eva memejamkan kedua matanya, tubuhnya terayun-ayun mengikuti pompaan Mr. Wise. Sodokan demi sodokan memberinya kenikmatan yang benar-benar membuainya. Penis besar Mr. Wise bergerak teratur menggesek dinding kewanitaannya.




Eva menggigit bibir bawahnya, tangannya mencengkeram pinggiran meja saat Mr. Wise menaikkan tempo genjotannya. Desahan-desahan kini terdengar makin nyaring saat Eva menekuk sedikit punggungnya ke atas. Melihat postur tubuh Eva yang terlihat sangat seksi, Mr. Wise memindahkan tangan kanannya ke payudara Eva, meremas dan menjadikannya acuan dorong saat penisnya menyodok makin kencang.




Semua yang dilakukan Mr. Wise memberi kenikmatan luar biasa pada diri Eva, sebelah payudara Eva yang bebas tampak terayun-ayun. Bibir Eva merekah saat gadis itu mengerang keras, badannya menegang, menikmati sebuah kenikmatan yang merambat cepat dari dalam liang kewanitaannya ke seluruh bagian tubuh yang lain. Gadis cantik itu telah mencapai orgasmenya.




Melihat lawannya telah takluk atas keperkasaannya, senyum tersungging di bibir Mr. Wise. Pria itu tampak puas bisa menaklukkan gadis muda seperti Eva di usianya yang sudah tidak muda lagi. Mr. Wise tidak ingin membuang waktu, dia kembali menggerakkan penisnya merojok vagina gadis cantik itu. Tubuh Eva berayun-ayun makin kencang, hanya desahan lemah yang keluar dari bibir gadis itu. Sebisa mungkin Eva memantapkan pegangannya ke tepi meja saat Mr.Wise menungganginya makin cepat dan kasar.




Argh!!..., setelah beberapa menit memompa gadis itu akhirnya Mr. Wise menyerah. Pria tua itu membenamkan penisnya dalam satu hujaman, membuat Eva merintih terkejut. Tidak lama kemudian batang kejantanannya menumpahkan isinya ke rahim gadis muda itu, badan pria tua itu berkelonjotan sesaat, menggambarkan kenikmatan yang dia rasakan. Setelah puas, barulah Wise Crow mencabut penisnya dan menyambar celananya.




Eva berlutut memegangi pinggiran meja, kakinya terasa lemas, gadis itu berusaha untuk mengatur kembali nafasnya. Bulir-bulir keringat kini membasahi kulit telanjang gadis itu, membuatnya terlihat berkilau dan menggiurkan.




Kau bertanya apa ada yang bisa kulakukan untuk membantu Silent Rose? tanya Mr. Wise, nafasnya masih tersengal-sengal. Eva menoleh ke arah Wise Crow yang kini telah mengenakan kembali celananya lalu mengangguk lemah.




Well tidak ada yang bisa kulakukan. Wise Crow berkata datar, senyum licik tergambar samar di wajahnya.




Apa?! Eva terbelalak, nafasnya serasa tercekat di tenggorokan.




Ian sendiri yang memutuskan untuk menyimpan sendiri rencananya. Tidak ada yang bisa kulakukan jika aku tidak tahu apa-apa, aku tidak mau mengambil resiko membahayakan diri atau merusak rencana Silent Rose.




Eva tampak sebal menyadari bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya secara sia-sia. Dalam hati dia mengutuk apa yang baru saja dilakukan oleh Pak tua sialan di hadapannya ini. Namun gadis itu hanya diam, percuma dia mengumpat atau marah, semua sudah terjadi dan dia sudah disetubuhi.




Tapi Mr. Wise melanjutkan ucapannya. Association tidak akan tinggal diam jika dia memang melakukan sesuatu yang membahayakan organisasi. Mungkin mereka akan melakukan sesuatu.




Kalimat terakhir Wise Crow seolah memberi harapan tipis pada Eva. Meski hanya kemungkinan kecil, namun itu satu-satunya harapan yang saat ini bisa dipegang oleh gadis cantik itu. Eva bangkit perlahan dan memunguti pakaiannya tanpa menatap Mr. Wise sedikitpun.




Sementara di meja bartender, Juna tampak bingung mencari tissue untuk membersihkan cairan spermanya yang meluber akibat apa yang dilihatnya di layar kecil di depannya.








BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar