Silent rose part 12

 

Bab 12








Dua pria itu adalah bodyguard pribadi Eddy Arya, dari beberapa bodyguard miliknya, Alan dan Budi adalah yang paling tangguh. Budi menguasai tae kwon do dengan fasih, sedang Alan adalah seorang karateka yang tangguh. Mereka berdua, dibawa oleh Eddy Arya untuk ikut sebagai petarung dalam sebuah even tahunan yang diadakan secara ilegal oleh keluarga Fondo di Pulau Iyu Kecil, tempat peristirahatan keluarga Fondo. Sebagai relasi kental, Eddy Arya juga turut diundang.




Budi berbeda dengan Alan, Budi cenderung mencari masalah, baginya, pamer kekuatan itu wajib. Dia senang sekali mencari perkelahian tanpa sebab yang pasti, hanya untuk melatih sekaligus pamer kemampuan bertarungnya. Berbeda dengan Alan yang lebih suka tidak mencari masalah.




Itulah yang dilakukan Budi saat ini, sedari tadi dia memperhatikan beberapa pemuda awak sebuah kapal pencari ikan yang sedang nongkrong di dekat kapal yacht biru milik keluarga Fondo bersandar. Kini Budi tengah mendekati para awak itu, dan tanpa berkata apa-apa mendaratkan satu tendangan keras ke tulang rusuk salah seorang dari mereka, membuat orang yang ditendang terlempar jatuh ke air.






"Apa-apaan ini?", sergah salah seorang dari kumpulan pemuda itu. Mereka semua serentak berdiri, total ada lima orang, dua diantaranya sibuk membantu rekannya yang tercebur ke laut.


"Apanya yang apa-apaan?", Budi merentangkan tangannya sambil berseringai lebar. "Aku tidak suka lihat pemuda-pemuda loyo seperti kalian ada disini! Pergi atau kuhajar!", tantangnya dengan angkuh.


"Anjing!", salah seorang dari mereka maju sambil mengayunkan tinju namun terlambat, kaki Budi lebih dulu menyentuh tulang rusuknya dan membuatnya terlempar ke laut, seperti rekan sebelumnya.


"Siapa lagi, Hah?!", ujar Budi sombong, seringainya makin lebar dan mengerikan. Satu dari dua pemuda yang tersisa bergerak mundur.


"Kalian semua pergilah kembali ke kapal", ujar salah satu dari mereka. Pemuda itu maju, menjaga jarak dengan Budi dan mengambil kuda-kuda tempur.


"Hoo... ada yang bisa bela diri juga rupanya", ejek Budi sambil memasang kuda-kuda. "dari aliran apa kau? Karate? Tae kwon do?", tanyanya. Pemuda itu hanya diam tanpa merubah ekspresinya.






Dengan cepat pemuda itu bergerak maju selangkah, Budi mengayunkan kakinya dengan sangat cepat, tapi pemuda itu sudah mengantisipasinya dengan sebuah tangkisan dari lengan bagian dalam. Melihat tendangannya gagal, Budi meloncat ke belakang untuk mempersiapkan serangan selanjutnya. Saat itulah sang pemuda meloncat dan menghantamkan sikunya ke kaki kanan Budi yang belum sempat ditarik. Budi sempat kehilangan keseimbangan, namun dengan tangkas diantisipasinya, dalam Tae Kwon Do, kehilangan keseimbangan dan jatuh adalah hal yang sangat fatal.




Pemuda itu tidak bicara sepatah katapun, tidak juga menunggu. Dengan loncatan kecil, pemuda itu berhasil membuat jarak antara dia dan Budi semakin sempit. Tidak berada dalam jangkauan maksimal kaki memberikan keunggulan bagi pemuda itu. Budi menekuk kakinya untuk menghantamkan lutut ke pinggang pemuda itu, namun sebelum sempat serangan Budi mendarat, pemuda itu sudah lebih dulu menjatuhkan tinju ke paha bagian dalamnya, membuat serangan Budi tertahan beberapa detik karena nyeri.




Detik berikutnya, sang pemuda mengayunkan sikut kanannya, tepat mengenai pelipis kiri Budi, darah mulai mengalir dari pelipis kiri Budi. Budi sedikit terhuyung ke belakang.






"Bangsat!", emosi Budi meningkat, sebuah nilai minus dalam pertarungan. Saat terpancing dengan emosi, petarung cenderung akan mengendurkan pertahanannya. Dan itulah yang terjadi.






Serangan berikutnya dari Budi terkesan terburu-buru, dan menjadi bumerang baginya, dua tendangan tinggi yang dilepaskan secara beruntun dari kaki kanan dan kiri berhasil ditangkis dengan sempurna oleh pemuda itu. Kali ini, keseimbangan Budi benar-benar rusak. Tanpa banyak bicara, sang pemuda memanfaatkan situasi dengan baik, sebuah tinju mengarah tepat ke ulu hati Budi, membuatnya badannya sedikit merunduk.




Dan tanpa memberi jeda, pemuda itu mengayunkan lututnya, tepat mengenai hidung Budi sekaligus mematahkannya. Budi terlempar jatuh dengan punggung menghantam keras lantai beton. Belum sempat Budi mengaduh, sebuah injakan keras terasa di perutnya, dan beberapa tinju mendarat beruntun ke kepalanya.






"Hei!", sebuah suara menarik perhatian mereka. Alan, dengan badan kekarnya berlari ke arah mereka. merasa adanya bahaya, pemuda itu menarik diri dari atas tubuh Budi yang babak belur. "Kurang ajar! Kamu tidak tahu dengan siapa kamu berurusan!". Alan memasang kuda-kuda tempur, meski dia tahu Budi yang memulai semua ini, dia merasa tetap punya kewajiban membela rekannya.






Pemuda itu memasang kuda-kudanya kembali setelah memberi isyarat agar teman-temannya lari. Lima pemuda yang lain segera kabur.




Alan memulai pertarungan dengan maju menerjang, raut wajahnya terlihat tenang, bukan lawan yang mudah terpancing emosi. Tinju beratnya nyaris saja mendarat di tubuh sang pemuda. Untungnya, reflek pemuda itu cukup bagus, dia berhasil mengelak dari tinju yang punya kemampuan mencopot tulang lengan dari sendinya itu.




Pemuda itu mundur dua langkah menyadari Alan bukan tipe petarung yang lebih mengandalkan kaki seperti Budi. Petarung tua kekar itu terlihat sangat tenang, yang artinya serangannya lebih metodikal dan terencana. Pemuda itu meningkatkan tingkat kewaspadaannya.




Serangan berikutnya dari Alan terlihat sangat rumit, dua pukulan beruntun yang cepat membuat sang pemuda harus mengambil resiko dengan menangkis, membuat jarak diantara mereka semakin dekat. Dalam diam, dengan cepat dan cermat Alan menggerakkan kaki kanannya ke belakang, sebagai ancang-ancang untuk melakukan tendangan lutut ke arah perut sang pemuda.




Beruntung sekali, dalam sepersekian detik, pemuda itu mampu menangkap adanya pergerakan di kaki kanan Alan, dengan cepat pemuda itu mengambil langkah paling ekstrim ; memeluk Alan.




Alan terkejut dengan gerakan sang pemuda, kali ini tidak ada jarak diantara mereka, dan itu artinya tendangan lututnya tak bisa diluncurkan. Lebih kaget lagi saat tanpa bicara sepatah katapun, sang pemuda menghantamkan satu-satunya yang bisa dijadikan senjata dalam jarak sedekat itu ; kepala.




Alan terhuyung mundur memegangi hidungnya yang patah, akibat hantaman kepala dari sang pemuda, di lain sisi, sang pemuda juga terhuyung mundur, darah mulai mengalir segaris dari keningnya.






"Alan! Budi! Apa-apaan ini!!", bentakan Eddy Arya menghentikan pertarungan mereka. Eddy mendekat ke arah mereka, mengalihkan pandangannya ke Budi yang babak belur dan sedang tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Eddy mengalihkan lagi pandangannya ke Alan dan sang pemuda yang kembali dalam posisi kuda-kuda. Darah segar mengucur dari hidung Alan, sedang di sisi lain, segaris darah mengalir dari dahi sang pemuda.


"Cukup! Alan!", perintah Eddy kepada Alan. Eddy mendekat dan memperhatikan pemuda yang kini telah bertarung dengan dua bodyguard terbaiknya. "Kau!", serunya pada sang pemuda. "Siapa namamu?".






Pemuda itu melonggarkan kuda-kudanya, namun tetap diam dan memutuskan untuk tidak menjawab.






"Kau awak kapal?", Eddy sekali lagi bertanya.


"Ya", jawab pemuda itu dingin.


"Ha!, lupakan kapal dan kapten atau pada siapapun kamu bekerja! Mulai sekarang kau bekerja untuk Eddy Arya!", kata-kata Eddy membuat Alan dan Budi sedikit terkejut. Meski terkejut, Budi dan Alan tidak berani berkomentar. Dulu, Budi juga mulai bekerja dengan Eddy setelah Budi melumpuhkan lima satpam yang menjaga kantor milik Eddy. Sedang Alan, Eddy menariknya setelah Alan membuat dua puluh sipir penjara sekarat.






"bagaimana kalau aku menolak?", ucap pemuda itu datar.


"Hahahaha....", Eddy tertawa keras. "sepertinya aku mulai menyukaimu. Kau boleh saja menolak, itu hakmu. Sekarang, kalau kau memang menolak, mari kita lihat apakah kau lebih cepat dari peluruku".






Eddy mengarahkan moncong pistol Walther PPK-L buatan Jerman ke arah pemuda itu. Pemuda itu diam, sadar bahwa dia tidak punya pilihan lain.






"Sekarang katakan namamu", ucap Eddy sambil menjabat tangan sang pemuda.


"Dimas Mahardian, panggil saja Ian", jawab pemuda itu.






*_*_*​








"Hey! Anak baru! Ian!", Eddy memanggil, Ian menunjukkan ekspresi terkejut saat namanya disebut. Dengan raut bingung dia menatap mata Eddy yang tengah menikmati kuluman dan hisapan Eva di batang kejantanannya. "Masukkan kontolmu ke cewek ini, hamili dia!. Anggap saja ini ucapan terima kasih karena kau telah mau bergabung dengan kami!".






Ian tidak bergeming, hanya menatap Eva yang kini telanjang bulat, menaik-turunkan kepalanya, mengocok penis Pak Tua Eddy dengan mulutnya. Alan yang berdiri di sebelah kanannya menyenggol bahunya. Membuat Ian tersadar dan bergerak mendekati Eva.






"Bangsat, enak benar kau", umpat Budi sebal sambil menekuk wajahnya yang tadi dibuat babak belur oleh Ian.


"merangkak dan angkat pantatmu, cantik, kontol keduamu mau masuk", perintah Eddy pada Eva. Eva bergerak mengangkat pinggulnya, mengikuti tarikan tangan Ian. Dalam hati, Eva bersyukur pria kedua yang akan menyetubuhinya bukan pria yang sama sekali tidak dia kenal, setidaknya itu sedikit memudahkannya dalam melaksanakan perannya.






Ian bukan perjaka, dia pernah melakukan seks dalam satu malam yang hebat dengan Cheerfull Jasmine. Ian juga mengerti beberapa teknik, tapi melakukan di hadapan orang lain?, jika saja dia tidak melatih mentalnya mungkin dia sudah memilih untuk membunuh semua orang kecuali Eva yang ada di kapal ini. Ian menurunkan resleting celananya dan mengeluarkan batang kejantanannya yang memang sudah tegang.






"Hoo... dari ekspresimu, hampir saja kupikir kau Gay, Ian", ledek Eddy melihat penis Ian yang menegang.






Ian menarik pinggul ramping Eva sedikit ke atas, pantat bulat kencang dan mulus Eva terlihat begitu merangsang, Ian menggunakan tangan kanannya untuk mengarahkan penisnya ke lubang kenikmatan gadis cantik itu. Eva mendesis nikmat saat penis Ian menggesek pelan bibir kewanitaannya.






"nghh... ehh...", desahan lirih Eva tertahan oleh penis Eddy yang mulai tegang di dalam mulutnya saat batang kejantanan Ian menyeruak masuk ke dalam rongga kewanitaannya. Ian melenguh merasakan gesekan penisnya dengan dinding-dinding vagina Eva. Kenikmatan jelas terasa dari raut wajah keduanya.






Ian menggerakkan penisnya pelan tapi pasti, sedikit-demi sedikit hingga masuk seutuhnya ke liang sempit milik gadis cantik itu. Eva merasakan lubangnya terisi penuh oleh kehangatan yang menjalar dari penis Ian. Penis Ian terasa lebih besar dari milik mantan kekasihnya dulu. Eva sejenak lupa terhadap penis lain yang ada di dalam mulutnya. Eddy membiarkan Eva menikmati penetrasi yang dilakukan oleh Ian.




Eva kembali mengulum penis Eddy, sambil merintih-merintih tertahan menikmati kocokan lembut penis Ian di vaginanya. Ian memegang pinggul Eva, membuat badan Eva sedikit terdorong, hal itu membuat kocokan mulut Eva di penis Eddy makin terasa nikmat. Eddy memejamkan mata dan mulai melenguh keenakan, penisnya telah bangkit total dalam mulut Eva.




Lenguhan ketiga orang itu kini semakin terdengar memenuhi ruangan. Alan memandang lekat ke live show yang terjadi di hadapannya. Sedang raut wajah Budi terlihat iri dengan apa yang didapatkan oleh Ian.






"Owhhh... mantapppp....", si tua Eddy melenguh sambil menahan kepala Eva, untuk kedua kalinya, dia menumpahkan spermanya ke dalam mulut Eva. Ian menghentikan aktifitasnya sejenak untuk memberi kesempatan pada Sang Bos menikmati ejakulasi keduanya. Tidak lama kemudian, Eddy mencabut penisnya dari mulut Eva.


"Selesaikan Boy, hajar cewek cantik ini dari belakang dengan kencang", perintah Eddy pada Ian.






Eva sempat menoleh saat dia meletakkan kedua sikunya ke sofa sebagai tumpuan, Ian menatap mata Eva yang terlihat sayu. Eva tersenyum dan mengangguk, seolah memberi tanda bahwa ia juga menikmati persetubuhan ini.






"aahh,,,", Eva memalingkan wajahnya ke depan dan melenguh saat batang kejantanan Ian kembali bergerak dalam kemaluannya. Kali ini gerakan Ian lebih kencang, tegas dan cepat, sesuai yang diperintahkan Eddy pada Ian.






Mata Eva terpejam, tubuh telanjangnya bergerak maju mundur mengikuti Ian yang tengah menggenjotnya kencang, Eva tidak hanya merintih, ia kini setengah menjerit, menjerit penuh kenikmatan. Di belakangnya, Ian juga mendesah tertahan sambil matanya menelusuri rambut, leher, punggung, pinggang hingga pantat seksi gadis yang kini menjadi selongsong bagi penisnya.




Mereka terlibat sebuah seks yang panas, Ian meremas kedua buah dada Eva yang menggantung naik turun, nafasnya memburu. Di sisi lain, Eva merasakan sebuah kenikmatan yang membuatnya merintih, gerakan Ian semakin cepat, dan ia merasa tiap tusukan penis Ian membuatnya akan meledak.






"Ahhhhh!!!!....", Eva menjerit, tubuhnya mengejang, Ian mengangkat perut Eva, dan membungkam bibir Eva dengan ciumannya. Di tengah orgasme yang dirasakannya, Eva dengan ganas membalas kuluman bibir dan lidah Ian. Setelah beberapa lama, Eva tampak lemas.


"Bravo... bravo....", Eddy bertepuk tangan. "pertunjukan seks yang luar biasa, kau belum selesai kan Boy?. Giliranmu menyelesaikan hasrat, hamili gadis itu".






Ian mengangguk tanpa bicara, lalu kembali menggenjot tubuh Eva yang bersimbah keringat, kulit mulusnya tampak berkilau dan lemas. Eva hanya mendesah-desah pasrah saat Ian makin kencang menggenjot tubuhnya.






"Kalian, pake mulutnya, gantian", perintah Eddy pada Alan dan Budi. Tanpa disuruh dua kali, Budi maju dan membuka resletingnya, Eva yang masih lemas hanya bisa pasrah saat Budi menjejalkan penisnya ke mulut dengan kasar.


"Anjing!!", baru beberapa menit menikmati kocokan mulut Eva di penisnya, Budi sudah menggeram dan menyemprotkan isi kantungnya di mulut Eva. Ian masih belum ejakulasi, dia masih menyetubuhi Eva dengan kencang.






Alan bergerak dan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Budi pada Eva. Namun lebih lembut dan terlihat berpengalaman. Genjotan Ian semakin kencang hingga akhirnya, Ian menyerah, jepitan dinding vagina Eva terlalu nikmat. Ian membenamkan penisnya dalam-dalam, membuat Eva terdorong sehingga penis Alan makin dalam masuk ke mulutnya.






"Arghh...", geram Ian sambil melepaskan spermanya ke dalam rahim Eva. Eva sendiri mengalami orgasme kecil saat cairan-cairan kental Ian terasa hangat membentur dinding rahimnya.






Ian mendiamkan penisnya sebentar sebelum akhirnya mencabutnya. Eva hanya pasrah saat Alan membalik badannya hingga terlentang lalu mengarahkan penisnya ke mulut Eva dan mulai memompanya.




Budi mendekat ke tubuh telanjang eva yang tengah mengulum batang kejantanan Alan, Budi meremas payudara padat milik Eva sambil mengocok penisnya yang masih lemas. Budi menempatkan diri di antara kedua paha Eva dan menggesekkan penisnya ke belahan vagina Eva.




Beberapa menit kemudian Alan menggeram dan menumpahkan spermanya ke mulut Eva, Eva terpaksa menelannya. Usai menuntaskan hajatnya, Alan menarik diri dan mengenakan kembali celananya. Saat itulah penis Budi sudah cukup ereksi untuk melakukan penetrasi, Eva hanya pasrah saat kepala penis Budi menyeruak masuk ke liang kewanitaannya.




DORR!!.




Darah merah segar berhamburan dari kepala Budi saat sebuah peluru bersarang di otaknya. Eva memekik saat tubuh Budi ambruk ke sampingnya. Eva beranjak dan berusaha lari, namun sebelum Eva sempat keluar dari ruangan itu, Ian menahannya.




Ujung pistol Walther PPK-L di tangan Eddy Arya masih mengeluarkan asap, pistol itulah yang baru saja meluncurkan sebutir peluru yang kini bersarang di kepala Budi.






"Aku tidak ingat pernah mengijinkannya memasukkan kontolnya ke memek", ujar Edy santai sambil mengusap pistol kesayangannya. "Gadis itu milikmu malam ini Ian, anggap saja hadiah". Ujarnya sambil memberi isyarat agar semua meninggalkan ruangan.








BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar