RANJANG YANG TERNODA PART 33

 

Jantung Alya berdegup kencang ketika ia sudah sampai di depan pintu kamar Paidi. Sendok dalam piring yang ada di tangannya sampai berderak kencang karena tangannya yang gemetar. Kenapa dia takut? Atau mungkin ini bukan rasa takut? Jangan – jangan ini gairah? Gairah yang sudah lama sekali tidak ia rasakan sejak pertama kali bertemu dengan Mas Hendra? Gairah yang sama ia rasakan ketika mereka pertama kali kencan, menikah atau bercinta? Kenapa dia merasa takut dengan gairah ini? Dia hanya mengantarkan roti kepada sopirnya. Kenapa dia harus takut?




Tangan mungil Alya pelan mengetuk pintu kamar Paidi.




Sosok kurus hitam yang ia tunggu akhirnya membukakan pintu. Karena tidak menduga Alya akan datang ke kamarnya, Paidi hanya berpakaian seadanya, ia tidak mengenakan baju dan hanya memakai celana pendek ketat.




“Ah, Bu Alya? Ada apa ya, kok malam – malam begini? Ibu mau saya antar keluar? Sebentar, Bu… saya ganti pakaian dulu…”


“Ti… Tidak usah, Mas. Tidak perlu, saya tidak mau keluar kok,” kata Alya. “Saya hanya ingin mengantar roti ini untuk Mas Paidi.”


“Terima kasih, Bu.” Jawab Paidi sambil meraih kemeja yang ada di atas kursi. Kemeja itu sebenarnya sudah dicuci, namun belum disetrika, ia memakainya karena tidak enak berhadapan dengan Alya dengan bertelanjang dada. Setelah memakai baju, Paidi menerima roti pemberian Alya dengan sangat berterima kasih.


“Boleh saya masuk?”




Pertanyaan itu mengagetkan Paidi, tapi Alya kan majikannya? Ia berhak masuk ke ruang mana saja di rumah ini. “Bo… boleh saja, Bu. Tapi kamar saya masih berantakan. Belum sempat dirapikan.”




“Ah, tidak apa – apa.” Alya pun masuk ke kamar Paidi setelah sopirnya itu mendahului untuk merapikan beberapa bagian kamar. “Se… sebetulnya saya kemari karena saya ingin berterima kasih pada Mas Paidi yang telah membantu saya beberapa hari yang lalu sewaktu saya pingsan di kebun.” Kata Alya sambil menyerahkan roti kepada Paidi.




“Lho, itu kan sudah tugas saya, Bu. Tidak perlu repot – repot seperti ini.”


“Terima kasih juga karena telah mengusir Pak Bejo malam itu.” Lanjut Alya dengan suara yang lirih.


“Ahhh…” Paidi menghela nafas. Ia meletakkan piring roti di meja, menarik sofa kecil dan mempersilahkan Alya duduk. “Pak Bejo sebenarnya patut diberi pelajaran karena telah bertindak kurang ajar terhadap Ibu. Kenapa tidak dilaporkan saja kepada Pak Hendra, Bu?”




Alya menggeleng dan tersenyum, “Mas Hendra sudah punya masalah yang jauh lebih berat dan menyita pikiran, kita tidak boleh membebaninya lagi. Aku juga tidak ingin Mas Paidi menceritakan peristiwa pingsannya aku di kebun kepada siapapun. Mengerti?”




“Mengerti.” Angguk Paidi. “Walaupun kalau menurut saya, preman seperti Pak Bejo tidak perlu diberikan kunci rumah ini.”


“Sebenarnya hanya Bu Bejo yang membuatku segan, Mas. Beliau sudah banyak membantu. Tanpa bantuan Bu Bejo, keadaan rumah ini pasti sudah berantakan.”




Paidi tiba – tiba terdiam. Dengan langkah pelan ia mendekati Alya, ia menatap wajah Alya dengan pandangan aneh, lama dan sangat lekat, membuat Alya menjadi tidak enak. “Kenapa, Mas? Ada yang aneh dengan wajahku?” tanya Alya risih.




“Ibu baru saja menangis?”




Alya tertegun. Pasti gara – gara kantung matanya. Ia menunduk. “Iya.”




“Kenapa?”


“Tidak apa – apa.” Jawab Alya sambil tersenyum.




Walaupun senyum itu sangat manis bagi Paidi, namun kegalauan hati majikannya lebih penting. Ia membungkuk di depan Alya dan berlutut. “Bu. Saya ini sudah Ibu bantu lebih dari cukup. Ibu sudah mengangkat derajat saya dari orang tak punya apa – apa menjadi memiliki segalanya. Ibu sudah menolong mengembalikan harga diri saya… sekarang, saya mohon. Jika ada masalah, ibu bersedia menceritakannya kepada saya karena saya akan membantu ibu sekuat tenaga.”




Kembali Alya hanya tersenyum. “Terima kasih atas tawarannya, tapi benar kok. Saya tidak apa – apa.”




Paidi mendesah kecewa, tapi ia lalu berdiri dan mengangguk. “Mudah – mudahan begitu, Bu. Tapi kalau ada apa – apa, silahkan Ibu minta saya untuk melakukan apa saja karena pasti saya akan mengerjakannya.”




“Terima kasih.” Alya pun berdiri dan siap untuk kembali ke rumah utama. “Ya sudah kalau begitu, saya tinggal dulu ya, Mas?”


“Baik, Bu.”




Berat hati Paidi melihat Alya mengalami depresi dan menyimpannya untuk diri sendiri, seandainya bisa, dia ingin membantu, memeluknya dan memberinya kehangatan agar dia bisa merasa aman dan terlindungi.




Langkah Alya mendadak terhenti sebelum melangkah keluar kamar. Ia tidak berbalik namun dari gerak tubuhnya Paidi tahu kalau majikannya yang jelita itu gemetar mencoba menahan tangis.




“Bu…?” tanya Paidi sambil mencoba maju mendekati Alya.


“Semua yang aku lakukan salah. Mas Hendra tidak mau lagi bicara padaku, Pak Bejo selalu bersikap kurang ajar tanpa pernah mau berhenti, kakakku hilang entah kemana, adikku juga tidak bisa dihubungi. Semua yang aku lakukan salah, semuanya membuat aku bingung dan aku tidak ada tempat untuk menceritakannya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan, Mas?” kepala Alya menunduk dan ia menangis tersedu – sedu. Walaupun awalnya ragu untuk bercerita kepada sopirnya, Alya kini membuka semuanya karena dia sudah tidak kuat menahan beban hidupnya. Kepada siapa dia akan berterus – terang kecuali kepada Paidi yang pernah menolongnya mengusir Pak Bejo.




Paidi menutup pintu dan memberanikan diri memutar tubuh Alya berhadapan dengannya. Wajah cantik itu kini berlelehan air mata. Dengan gerakan reflek, Alya memeluk sopirnya. Ia menangis tersedu – sedu di dada kurus Paidi.




Awalnya Paidi terkejut karena tiba – tiba Alya memeluknya, namun karena ia tahu ibu muda yang cantik itu tengah dilanda dilema, iapun membiarkan saja Alya luruh dalam pelukannya tanpa mengembangkan pikiran mesum. Berulangkali Paidi harus mengusir pikiran kotor karena dada Alya yang ranum amat rapat di dadanya. Wangi harum rambut Alya membuat Paidi terbang ke awan. Dengan berani Paidi mengelus rambut Alya untuk memberikan ketenangan. Ia biarkan si cantik itu menangis tersedu hingga selesai.




“Mas…” desah takut Alya melantun manja di telinga Paidi. Indah sekali bunyinya. Ia ingin Alya terus memanggilnya dengan nada manja. Isak tangis Alya mulai reda. Ia menatap ke atas, ke arah mata Paidi yang menatapnya lembut.


“Bu Alya…” Paidi dengan berani mencium kening majikannya yang gemetar takut dan menggenggam jemarinya.




Tangan mereka kembali bersentuhan, jari jemari Paidi erat menggenggam tangan Alya. Terlalu lama dan terlalu hangat. Mereka sadar hanya ada satu jalan untuk menyudahi ini semua, terjun ke dalam nafsu atau pergi tanpa berpaling. Alya hanya terdiam, tapi bola matanya yang indah menatap tajam ke arah Paidi, sopir itu tentunya tidak akan melewatkan kesempatan yang ada di depan mata. Ia bergerak maju sedikit, lalu sedikit lagi, lalu lagi. Wajah mereka kini sudah sangat dekat hingga hanya seukuran kuku jari.




“Bu Alya sangat cantik… sangat cantik sekali… selama ini saya selalu membayangkan bisa bersama dengan Ibu…” batin Paidi dalam hati.




Bibir mereka akhirnya bertemu. Mata Alya tetap terbuka lebar pada awalnya, namun ketika lidah Paidi yang melumatnya mulai bergerak, ia memejamkan mata untuk menikmati ciuman dari sang sopir. Alya melenguh kecil dan membalas ciuman Paidi. Mereka berdua saling mencium dan melumat, lama sekali. Keduanya sudah jatuh dalam jebakan nafsu. Mulut dan lidah bekerja bersamaan hingga menimbulkan rangsangan kenikmatan.




Kali ini Paidi sudah membulatkan tekad. Ia tidak akan berhenti apapun yang terjadi! Ia sudah tidak tahan lagi. Tubuh Alya terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja melenggang di depan matanya! Ia harus mencicipinya! Sekarang juga! Peduli amat kalau nanti dia bakal dipecat atau bahkan dipenjara! Biar bagaimanapun dia mencoba menahan diri, dia tetaplah seorang lelaki normal yang membutuhkan kehangatan seorang wanita dalam dekapannya. Godaan yang hadir dalam bentuk bidadari bernama Alya ini terlalu berat untuknya.




Tapi saat ini Alya dalam kondisi sadar. Ia tidak mau mengkhianati suaminya lagi. Ia sudah berdosa karena telah menerima Pak Bejo dan mau – maunya diperlakukan seperti budak. Tidak! Hal semacam itu tidak akan terulang lagi! Apa yang ia perbuat telah membuat Hendra semakin jauh dan ia tidak mau semakin terjerembab lebih dalam ke lembah nista! Ia ingin lepas dari semua masalah seperti ini, bukan malah terjun ke dalamnya! Alya akhirnya berusaha menjauh dari sang sopir.




Ketika Alya berusaha mendorong tubuh Paidi, ia baru teringat betapa kuatnya laki – laki yang terlihat kurus dan lemas ini. Alya dilanda dilema. Di satu sisi perasaan Alya berusaha mengingatkannya agar segera tersadar dari godaan dan teringat pada suaminya, namun sisi yang lain lagi – sisi yang lebih menuntut dan lebih kuat – mengeluarkan semua pancaran nafsu birahi yang selama ini ia simpan. Pria ini begitu kuatnya sehingga membuat fantasi Alya melayang, apakah mungkin lelaki tua ini bisa memuaskan hasrat dan… ah… Alya menggelengkan kepala. Tidak! Dia tidak mau terhanyut. Dia adalah wanita karir yang terhormat, ibu rumah tangga yang baik dan istri yang berusaha untuk setia. Ia ingin bangkit setelah semua yang ia alami dengan Pak Bejo, Alya tidak mau jatuh lebih dalam ke jurang nista dengan menyerahkan tubuh ke supirnya sendiri! Sungguh tidak pantas!




Paidi mengangkat dagu Alya, mulutnya turun ke bawah. Dengan satu gerakan, supir itu sekali lagi melumat bibir Alya.




Semua sisi kesadaran Alya hilang. Beradunya bibir mereka membuat sentakan luar biasa yang menghapus penolakan dalam tubuhnya yang haus kasih sayang. Ia balik mencium Paidi. Keduanya kini melupakan pikiran yang kalut dan membiarkan hasrat kebinatangan mengambil alih. Esensi diri terdalam yang hanya menuruti kenikmatan membuat keduanya lupa diri, melupakan status mereka sebagai supir dan majikan. Melupakan status sebagai istri dan ibu. Membiarkan tubuh mereka mereguk kenikmatan terlarang. Nafsu mengambil alih jati diri mereka.




Lidah Alya bergerak lentur dan luwes seakan memiliki nyawa, bagaikan ular yang melata. Lidahnya menyambut kedatangan lidah lawan dengan tumbukan dan lumatan penuh nafsu yang menggelegak hebat. Alya mengingkari perasaan dalam dirinya sendiri, perasaan bersalah yang tiba – tiba saja menghinggap. Ini… terlarang! Tidak seharusnya ia melakukan ini! Ia sudah menikah! Ia… ia… ia pernah diperkosa… dan…




Batin Alya berkecamuk. Mata Alya menutup dan perlahan membiarkan nafsunya menggelora. Ia ingin melawan, namun gejolak nafsu yang ditumpahkan oleh Paidi membuatnya takluk. Ciuman Paidi sangat memabukkan dan membuat pikirannya melayang. Alya bingung, kenapa tubuhnya justru pasrah ketika pikirannya sangat kalut, ia tidak sadar bahwa tubuhnya ingin dibelai, ingin disayang, ingin menikmati indahnya permainan cinta yang bukan karena terpaksa.




Sudah lama sekali rasanya ia tidak dicium seperti ini oleh Mas Hendra.




Mas Hendra! Suaminya! Astaga! Alya terbangun dari fantasinya. Ia sedang dicium oleh laki – laki yang bukan suaminya! Mata yang tadi terpejam mendadak terbuka. Wajah yang ada di hadapannya bukanlah orang yang seharusnya berhak menikmati keindahan tubuhnya! Alya tengah menatap wajah Paidi! Supirnya! Paidi sedang menciumnya! Begitu kesadaran menguasainya kembali, Alya mencoba bangkit dan berontak tapi tangan kuat Paidi mengingkari perlawanannya.




“Jangan Mas… suamiku…” tangan Alya menghalangi tangan Paidi yang mencoba meraih buah dadanya. Rasanya seperti mengangkat tiang besi yang berat, hangat tapi berat. Usaha Alya gagal, Paidi berhasil menangkup buah dada kanannya. Pria tua kurus itu segera meremas, memilin dan menggoyang payudara Alya dengan bebas. Tidak ada perlawanan berarti yang dilakukan Alya. Si cantik itu malah semakin mendesah tidak berdaya.




Alya kecewa pada dirinya sendiri yang tidak kuat menahan godaan. Semudah inikah dia takluk pada Paidi? Orang yang tak lebih adalah supirnya sendiri? Orang yang ia angkat menjadi supir setelah sering berlangganan baksonya? Orang asing yang tidak dia kenal asal – usulnya! Alya tidak ingin dikalahkan semudah itu… ia tidak ingin… ia tidak…




Lidah Paidi masuk ke dalam mulut Alya dan pikiran si cantik itu kembali melayang ke awan. Semudah inikah dia takluk?




Paidi merasa bangga pada dirinya sendiri karena Alya – istri Hendra majikannya yang cantik jelita dan tadinya setia itu kini mulai menyerah. Tangannya yang kurus dengan berani meremas buah dada Alya yang montok, Paidi meremas dan memilinnya tanpa perlu takut. Walaupun sudah berstatus sebagai seorang ibu dan sudah digauli dua orang laki – laki lain, Alya masih memiliki payudara yang kencang dan kenyal. Paidi sangat mengagumi tubuh Alya, ia merawat tubuhnya dengan baik.. Lekuk tubuhnya masih sangat indah dipandang, ramping dan seksi. Kulitnya juga sangat halus dan mulus, kulitnya yang seputih susu membuat kenikmatan lain dalam menggelegak dalam hati mantan napi yang sudah sejak lama tidak bercinta itu.




Payudara Alya yang indah itu sama sekali tidak melorot walaupun sudah dinikmati Hendra dan Bejo, bahkan menjadi sumber ASI bagi seorang anak yang sangat manis. Paidi menikmati keindahan susu Alya sesuka hati. Ia menangkup, meremas, menggoyang, menimang dan membelai buah dada sang nyonya rumah tanpa ada perlawanan berarti. Jari – jari Paidi yang kurus menyentil puting payudara Alya yang masih berada di balik kaos dan BH yang ia kenakan. Karena kaos tipis yang dikenakan Alya berwarna putih, BH berenda warna ungu yang ia pakai saat itu bisa terlihat dengan jelas. Sambil terus menggoyang payudara sang bidadari, Paidi memberanikan diri menggigit bibir bawah Alya dengan lembut.




Wanita jelita yang ada di dalam dekapan Paidi itu menggeliat, mencoba melawan untuk yang kesekiankalinya. Namun pria kurus berkulit hitam itu masih belum melepaskan ciuman ataupun remasannya. Untuk yang kesekian kalinya pula, Alya kembali takluk pada ciuman Paidi.




Untuk beberapa saat lamanya, mereka berciuman dengan penuh nafsu.




Ketika Paidi akhirnya melepaskan remasan tangan pada susu Alya, si cantik itu masih tetap menghamba pada ciumannya. Tubuh Alya merinding dan menggigil karena tak kuat menahan nafsu. Paidi bukan orang bodoh, rangsangan hebat yang menaklukan Alya ini pasti berkat sentuhan ringan namun efektif pada pentil buah dada sang ibu muda. Sekali lagi Paidi meremas payudara Alya dan menggoyang puting payudaranya dengan jempolnya yang besar. Alya menggeram dan merintih, tubuhnya gemetar tersambar kenikmatan.




Alya mulai terengah – engah, ia kesulitan mengatur aliran nafasnya sendiri. Matanya yang tadi terpejam kini terbuka lebar, menatap pria yang bukan suaminya tengah menggumulinya dengan penuh nafsu. Bibirnya basah oleh lumatan bibir Paidi yang sedari tadi tak berhenti menciumnya, dadanya naik turun oleh nafsu birahi yang menggelora. Satu persatu pakaian Alya dilucuti tanpa ada perlawanan berarti. Ketika Paidi melepaskan BH dan menyisakan rok serta celana dalam, barulah wanita cantik itu kembali tersadar… ia sudah setengah telanjang dalam pelukan supirnya!




“Apa yang… apa yang telah aku lakukan?! Jangan!! Tidak! Aku tidak mau! Sudah…! Aku mohon! Kita sudah terlalu jauh dan… dan…” Alya kebingungan mencari kata – kata, ia tidak ingin mengucapkan kalimat vulgar yang hanya akan menambah nafsu Paidi. “Aku mencintai suamiku. Dia mencintai aku. Aku mohon… jangan tambah lagi dosaku…”




Tangan Paidi kini bisa menyentuh payudara Alya yang sudah telanjang. Alya menggeleng dan mencoba mendorong tangan sang supir. Usaha ibu muda itu tentu saja gagal, Paidi jauh lebih kuat dan Alya sama sekali tidak mengeluarkan tenaga, bahkan sepertinya dia menginginkan Paidi menyentuhnya! Dia ingin supir itu melanjutkan niatnya!




Payudara Alya segera tergenggam tanpa halangan oleh tangan buas Paidi. Diremas dan digoyangnya payudara istri Hendra yang jelita itu sesuka hati. Alya merintih tak berdaya, ia tak mampu mengontrol tubuhnya sendiri. Sensasi hangat serangan Paidi membuatnya tenggelam dalam kenikmatan dan tak ingin melawan. Yang dilakukan Paidi sama sekali berbeda dengan Pak Bejo yang memaksakan kehendak, Paidi membuat Alya keenakan sehingga justru Alyalah yang ingin meminta lebih. Alya berusaha melawan keinginan dirinya sendiri yang tidak tahan ingin segera membuka kaki lebar – lebar agar Paidi bisa memasukkan penisnya ke dalam… tidak! Alya tidak mau itu terjadi! Alya harus melawan!




Paidi menatap penuh pesona ke pentil susu Alya yang kini menjorok ke atas, benda mungil merekah itu seakan menantangnya. Sangat menggiurkan dengan warnanya yang gelap kecoklatan. Balon buah dada Alya bagaikan benda pusaka yang masih terawat rapi. Dia tak boleh membiarkannya sia – sia! Kepala Paidi segera turun ke bawah, bibirnya melumat tanpa ampun pentil susu yang sedari tadi terus menantangnya itu!




Alya melonjak kaget ketika mulut hangat Paidi menangkup puting payudaranya. Apalagi ketika bibir pria tua itu lalu mencium dan lidahnya menjilat seluruh balon buah dadanya! Akhirnya, tanpa dipaksa, Alya mendorong dadanya ke depan agar Paidi bisa lebih leluasa menikmati dadanya. Gigi Paidi bahkan menggigiti daerah ujung pentilnya, membuat sensasi kenikmatan menjalar dari dada ke seluruh tubuh, bahkan jari kaki Alya sampai merenggang karena keenakan!




“Oooooh!” lenguh Alya menahan nikmat.




Paidi menyeringai dan menggerakkan giginya dengan tenaga. Paidi bisa merasakan tubuh Alya yang gemetar dan menggelinjang karena rangsangan hebatnya pada puting susunya. Dengan sigap lidah Paidi melingkari pentil yang masih menonjol keluar. Hal ini membuat Alya makin salah tingkah, tubuhnya melengkung ke belakang, matanya terpejam dan tanpa sadar wanita cantik itu menghunjukkan buah dadanya ke mulut sang supir yang terus merangsangnya.




Bertentangan dengan apa yang ia rasakan, Alya menggunakan kedua tangannya untuk terus mendorong tubuh Paidi agar segera melepaskan pelukannya. Akhirnya Paidi bersedia mundur sesaat, ia melepaskan pentil payudara Alya, lalu memperhatikan wajah Alya, menikmati kecantikannya. Mata Alya sangat indah, bercahaya dan penuh pengharapan. Buah dada kirinya yang belum tersentuh terlihat gersang dibanding buah dada kanan yang terus menerus diserang sejak tadi.




“Sudah… cukup! Aku… tidak bisa melanjutkan ini semua, aku harus pergi!” pinta Alya dengan suara bergetar. Tangan si manis itu terus berada di pundak Paidi, menghalanginya mendekat. Tapi Alya tidak melakukan apapun untuk menutup payudaranya yang telanjang. Paidi kembali menyeringai dan menurunkan kepalanya ke dada kiri Alya.




“Jangan!” tangan Alya mencoba mencegah Paidi agar tidak mendekat. Namun tangan ramping Alya bukanlah penghalang berarti bagi supir tua berwajah buruk itu, dengan sigap ia menangkup pentil kanan Alya dengan mulutnya dan kembali menyebarkan sengatan kehangatan ke seluruh tubuh sang ibu muda.




Demi dewa… Paidi sungguh sangat kuat! Alya tak mampu berkutik. Si cantik itu hanya bisa megap – megap menggapai nafas ketika gigi Paidi mengunyah puting payudaranya, setelah pentil itu menonjol, lidah Paidi ganti menjilati sisi areolanya. Tubuh Alya melenting ke belakang, ia berusaha melepaskan dadanya dari mulut Paidi, namun belum sampai payudaranya bebas, Alya sudah terganggu oleh tangan sang supir yang dengan nakal menjelajah ke bawah roknya dan membelai ke atas menuju selangkangan!




Alya ingin melepaskan diri dari pelukan Paidi, sungguh dia telah berusaha, namun supirnya ini telah memakunya di atas sofa. Alya benar – benar tak berdaya di bawah rengkuhan sang lelaki kurus. Tubuh Paidi mengunci rapat kaki dan lengan Alya sementara gigi, bibir dan lidahnya merangsang habis – habisan puting payudara istri Hendra itu. Belum lagi rangsangan yang datang dari bawah roknya… apa yang bisa dilakukan Alya kecuali pasrah?




Tangan Paidi yang hangat berputar – putar di paha sang wanita pujaan, melaju ke atas tanpa halangan. Tangan hitam di atas paha putih mulus, sangat kontras. Paidi mengagumi seluruh tubuh Alya, paha yang ia sentuh ini dulu adalah milik suaminya seorang, sebelum akhirnya Alya jatuh ke jebakan maut Pak Bejo.




Ketika melihat Paidi lengah, Alya melawan lagi. Bayangan wajah suami yang ia cintai mendatangi benaknya dan ia melakukan semua yang ia bisa untuk mendorong sang supir. Tapi… tapi… ini enak sekali…! Mas Hendra sekarang berubah menjadi laki – laki dingin yang tak berperasaan, padahal Alya masih sangat membutuhkan belaian kasihnya! Apakah kini apa yang ia lakukan adalah hal yang salah? Membiarkan Paidi menguasai tubuhnya? Alya butuh kehangatan seorang laki – laki! Ia tidak mau terus menerus melayani Pak Bejo… ia ingin melakukannya dengan orang yang dia suka! Hasrat birahinya selalu bergejolak… Alya bingung saat ini, apakah dia diperkosa Paidi… atau justru membuka diri terhadap supirnya itu? Toh seandainya ia melayani Paidi, tidak akan ada orang yang tahu, kan? Batin Alya berkecamuk. Ini enak sekali… apa yang harus ia lakukan? Ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ini memang enak sekali…




Tidak ada orang yang akan tahu, kan? Termasuk Mas Hendra!?






BERSAMBUNG







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar