"Selamat datang kembali, sayang.” Kata Alya sambil mendorong kursi roda Hendra masuk ke rumah.
Opi melonjak – lonjak gembira melihat ayahnya pulang, tapi pria yang duduk di kursi roda itu bereaksi negatif, dia diam saja tanpa ekspresi, tangannya bergerak lemah mengelus rambut Opi dengan wajah masam. Melihat wajah lesu suaminya Alya menggigil menahan emosi, ingin rasanya dia menangis melihat Hendra yang terus saja memperlihatkan ekspresi pahit terutama kepada dirinya, tapi apa yang bisa dia lakukan? Dia hanya mampu memberikan dorongan doa agar suaminya itu bisa cepat sembuh dan kembali menjadi suaminya seperti Hendra yang dulu.
Beberapa hari sebelum pulang Hendra sudah mulai bisa tersenyum dan bercanda, lalu entah kenapa, tiba – tiba saja senyum itu hilang dan berganti dengan kemuraman dan wajah penuh emosi yang tidak berkesudahan.
Dalam hati kecilnya Alya merasa Hendra memendam kekecewaan dan rasa marah kepadanya, tapi kenapa?
Atas ijin dokter, Hendra sudah diperbolehkan pulang dan menerima rawat jalan, karena pertimbangan finansial dan kenyamanan, pihak keluarga membawa Hendra pulang hari ini. Sayangnya entah kenapa Hendra yang pada hari – hari terakhir memperlihatkan wajah optimis berubah total, ia terlihat enggan pulang ke rumah.
Ketika Dodit menanyakan hal ini pada Alya, istri Hendra itu hanya bisa menggeleng dan mengangkat bahu tanda tak tahu. Alya sudah mencoba menanyakannya langsung tapi Hendra tak menjawab, ia bahkan menggeram marah ketika Alya terus bertanya. Itu sebabnya Alya memilih diam dan berpura – pura semua baik – baik saja. Ia yakin suatu saat nanti, Hendra akan kembali seperti semula. Paling tidak Hendra sudah pulang ke rumah.
“Tas – tasnya Bapak langsung dibawa ke kamar, Bu?” tanya supir yang membawa tas berisi baju dan perlengkapan Hendra.
“Iya, Mas Paidi.” Angguk Alya. “Letakkan saja di samping tempat tidur Bapak, nanti biar saya yang membereskan.”
“Baik, Bu.” Kata Paidi sambil bergegas membawa barang – barang itu masuk ke dalam rumah.
Paidi? Ya. Paidi yang dulunya adalah penjual bakso keliling kini telah resmi diangkat sebagai supir keluarga Hendra. Alya memutuskan untuk menyewa Paidi karena kondisi Hendra yang masih memerlukan perawatan secara intensif. Dia tidak mempercayai Pak Bejo untuk melakukan tugas – tugas yang penting lagi, itu sebabnya dia menyewa Paidi. Memang tidak mudah mempercayai orang yang baru saja ia kenal, tapi Paidi sudah mengenalkan diri dan jujur tentang masa lalunya. Setelah beberapa kali membeli bakso dan akrab dengan Paidi, Alya memutuskan bahwa lelaki tua kurus ini orang yang dapat dipercaya. Tentu saja Paidi tidak pernah mengatakan kalau dia adalah mantan napi sehingga memperoleh kepercayaan Alya.
Paidi memang orang asing bagi keluarga Alya, tapi mungkin akan lebih baik menyewa orang asing yang benar – benar membutuhkan pekerjaan daripada membiarkan pria brengsek seperti Pak Bejo merajalela di rumahnya. Masa lalu Paidi yang masih simpang siur, memang membuat Alya sedikit merasa was – was, tapi pada dasarnya setiap orang bisa berubah, kenapa tidak memberi kesempatan pada orang ini untuk membuktikan kesungguhannya bekerja pada Alya dan keluarga? Tentu saja Paidi tidak lantas dengan mudah menceritakan masa suramnya ketika harus mendekam di bui. Ia sengaja menyimpan cerita itu untuk dirinya sendiri, karena kalau sampai Alya tahu, sudah pasti dia tidak akan bekerja bagi ibu muda yang seksi itu lagi.
Karena berbagai pertimbangan pula, Alya meminta Paidi tinggal di kamar pembantu yang ada di kebun belakang, sebuah kamar yang terpisah dari rumah utama.
Telegram : @cerita_dewasaa
Paidi bersiul sambil membilas mobil milik Alya dengan riang gembira. Lagu – lagu ceria ia dendangkan dengan siulan merdu. Ia akan membuat mobil ini bersih dan cantik seperti majikannya. Panasnya terik matahari yang bersinar tak membuat mantan napi itu gerah, ia bahagia sekali bisa bekerja sebagai supir pribadi Alya. Walaupun baru memperoleh pekerjaan itu selama beberapa hari, tapi Paidi berniat akan menjadikan pekerjaan ini pekerjaan terakhirnya. Kalaupun gagal dan dipecat, paling tidak sekali dalam hidupnya ia bisa tinggal di rumah yang sama dengan wanita secantik Alya. Siapa yang tidak ingin selalu berada di dekat seorang wanita yang semolek bidadari?
Paidi bekerja dengan gembira, ia mengoleskan sabun, membilas, menyemprot dan membersihkan mobil dengan perasaan berbunga. Pekerjaan sudah hampir selesai ketika hari mulai siang.
Saat itulah sebuah suara serak mengagetkannya.
“Siapa kamu? Ngapain kamu di sini?”
Paidi berbalik ke belakang dan melihat sesosok tubuh gemuk menghampirinya. Ini dia orangnya, Bejo Suharso. Orang yang ia lihat malam itu, preman kampung yang meniduri Alya di pos kamling tempo hari. Orang yang telah membuat kehidupan Alya berubah menjadi neraka. Pandangan kedua laki – laki itu segera beradu, tapi karena teringat statusnya sebagai orang baru, Paidi memilih untuk mengalah. “Nama saya Paidi, Pak. Saya supir baru di sini.”
“Supir baru?” Pak Bejo mulai gelisah, kenapa Alya menyewa supir baru? Apakah dia dengan sengaja hendak menyingkirkannya? Dasar lonthe tidak tahu diri! Sudah diberi kenikmatan malah mau membuangnya begitu saja! Perek itu harus diberi pelajaran! Pak Bejo berkacak pinggang, “ohhh… kalau begitu perkenalkan, nama saya Bejo Suharso. Saya tinggal di dekat sini.”
Kedua orang itu bersalaman dan memegang tangan masing – masing dengan sangat erat. Entah siapa yang memulai, keduanya beradu kuat saat bersalaman, seakan menunjukkan siapa yang memegang kendali. Pak Bejo kaget juga melihat kekuatan Paidi, ia tidak mengira supir kurus itu akan membalas jabat tangannya dengan sekuat tenaga.
“Kalau butuh apa – apa, bilang saja sama saya. Saya sudah sering bantu – bantu kok.” Kata Pak Bejo. “Keluarga Pak Hendra sudah saya anggap keluarga sendiri.”
“Iya Pak.” Walaupun kurus, Paidi tidak kalah kuat dibanding Pak Bejo. Supir baru Alya itu cuma nyengir sewaktu Pak Bejo menegangkan rahang tanda geram sambil menarik tangan dengan kasar.
Telegram : @cerita_dewasaa
Alya mendesah di ruang kerja, ia menatap layar laptop-nya dengan malas. Pekerjaannya menumpuk. Ia memang sudah menduga perawatan Hendra di rumah sakit akan memakan banyak biaya dan waktu, tapi ia tidak menduga pekerjaannya yang tertunda akan menumpuk begitu banyaknya. Alya meregangkan tangannya ke atas, lelah sekali rasanya. Ah, seandainya saja Mas Hendra mau memijatnya…
Satu tangan gemuk tiba – tiba saja meraih pundak Alya dan mulai memijit bahunya yang pegal. Awalnya Alya mengerang lirih karena keenakan, tapi lalu terdiam saat tahu siapa yang datang.
“Capek ya, sayang? Tenang saja. Akan kubuat tubuhmu rileks supaya nanti malam bisa melayaniku sampai pagi.” Kata Pak Bejo sambil menurunkan kepala tepat di samping kepala Alya, tak lupa pria tua itu menyunggingkan senyum menjijikkan. Sambil terkekeh, Pak Bejo mengecup pipi Alya yang halus.
Alya berontak ketika ia sadar siapa yang datang. “Tidak perlu. Terima kasih. Pekerjaan saya banyak sekali hari ini. Pak Bejo ada perlu apa? Kenapa masuk ke ruang kerja saya? Jangan lupa sekarang ada Mas Hendra di rumah ini! Pak Bejo tidak boleh berbuat seenaknya lagi!” Alya berdiri dan melangkah menjauh dari Pak Bejo. Walaupun tubuhnya bergetar karena takut, tapi untuk pertama kalinya sejak diperkosa, ia berani melawan.
Pak Bejo geram, wajahnya memerah karena marah. “Begitu ya sekarang? Berani kamu melawan? Dasar lonthe! Habis manis sepah dibuang! Setelah semua jasa – jasaku selama ini, kamu berani – beraninya menyewa seekor anjing untuk menjaga rumahmu!?”
Ingin muntah rasanya Alya mendengar Pak Bejo memaki-makinya dan mengungkit-ungkit jasa yang sebenarnya tak ada artinya dibandingkan perlakuan kasarnya pada Alya. Tapi ibu muda yang cantik itu menahan diri dan berpura – pura bodoh. “Apa maksud Pak Bejo? Menyewa siapa?”
“Siapa laki – laki yang sedang mencuci mobil di luar?”
“Mas Paidi maksudnya?”
“Kenapa kamu menyewa supir baru?”
“Saya butuh seorang supir.”
“Buat apa? Kan ada aku?!”
“Saya butuh supir yang dapat mengantar Opi dan Mas Hendra kapan saja dibutuhkan. Pak Bejo belum tentu ada setiap hari. Lagi pula…”
Pak Bejo mendengus. “Aku tidak suka orang itu. Kamu pecat saja.”
Alya mengerutkan kening dengan marah. “Pak Bejo! Saya memang sudah Bapak peras habis – habisan, luar dalam, tapi saya tidak mau Pak Bejo mendikte apa yang boleh saya lakukan dan apa yang tidak! Saya bukan budak! Paidi saya sewa karena Mas Hendra masih belum kuat menyetir sendiri! Siapa yang akan mengantarkan Opi? Siapa yang akan merawat mobil? Saya…”
PLAK!!
Bekas tangan memerah terasa perih di pipi Alya.
“Lonthe tidak tahu diri!” geram Pak Bejo mendekati Alya. “Kalau aku bilang pecat ya pecat! Susah amat sih!”
Titik airmata siap menetes di pelupuk mata Alya, tapi istri Hendra itu berusaha tegar. Ia tidak akan mau lagi menjadi bulan – bulanan laki – laki bejat ini. Semua kejadian pahit yang telah menimpanya adalah karena ia dan suaminya menaruh kepercayaan terlalu besar kepada preman kampung ini untuk bisa keluar masuk rumah mereka. Hal itu tidak boleh diteruskan dan tidak boleh terjadi lagi! Cukup sudah!
“Pak Bejo…” desis Alya dengan segenap kekuatan, suaranya terdengar bergetar karena menahan diri dari rasa takut yang amat dalam. “Saya ingin Bapak segera keluar dari ruang kerja ini dan…”
Pak Bejo tidak tahan lagi. Dengan geram ia mendorong tubuh lemah Alya ke dinding. Pak Bejo menekan kedua tangan Alya di belakang punggungnya sendiri. Karena eratnya tekanan Pak Bejo, kedua tangan Alya terkunci dan tidak mampu digerakkan. Setelah tubuh molek Alya terkunci, Pak Bejo lantas menjepit leher Alya dengan lengannya yang gemuk. Istri Hendra itu tidak bisa bergerak. Ia mencoba berontak untuk melawan tapi sia – sia saja, tenaga mereka tidak sebanding. Perbedaan kekuatan jelas terlihat. Pak Bejo telah mengunci tubuhnya.
“Baiklah, manis. Aku tidak tahu sejak kapan kamu punya keberanian untuk melawanku. Apalagi kamu cantik sekali kalau sedang marah. Tapi…” Pak Bejo berbicara dengan nada pelan namun penuh ancaman. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alya, si molek itu bahkan bisa merasakan hembusan nafas berat dan bau yang keluar dari hidung dan mulut Pak Bejo, “aku tidak akan mengulang lagi semua yang aku katakan, jadi aku ingin kamu mendengarkan aku baik – baik. Setuju?”
Alya mengangguk lemah.
Pak Bejo tersenyum menghina. Ia mencoba mencium bibir Alya, namun ibu rumah tangga yang cantik itu tidak mau membuka mulut, ia terus meronta dan menolak. Sayang desakan lengan Pak Bejo di leher sangat menyesakkan nafasnya, mau tak mau Alya merintih kesakitan. Ketika mulutnya membuka sedikit, lelaki tua gemuk itu langsung menempelkan bibirnya di bibir mungil Alya. Pak Bejo bahkan menggigit kecil bibir bawah wanita cantik yang hanya bisa meringis kesakitan itu.
“Besok…” kata Pak Bejo dengan suara berat setelah puas menciumi bibir Alya, “aku ingin tikus kurus itu mengepak semua barang – barangnya dan meninggalkan rumah ini. Aku tidak peduli bagaimana caranya kamu menyuruhnya pergi, yang penting aku tidak mau melihat muka jeleknya di tempat ini lagi! Mengerti?”
Alya diam, ia tidak menjawab.
Pak Bejo mendengus, ia mengecup bibir Alya beberapa kali lagi. “Huh. Alya… Alya… apa sih hebatnya orang itu sampai – sampai kamu mempertahankannya mati – matian? Memangnya dia itu siapa kamu? Jangan – jangan kamu juga sudah tidur sama dia? Dasar lonthe… sopir sendiri juga mau.”
Alya meronta lagi dan membelalakkan mata dengan marah. Ia geram namun tak bisa mengeluarkan kata – kata karena lehernya ditekan sangat keras oleh lengan Pak Bejo. Matanya berlinang, air matanya siap tumpah kapan saja.
“Aku kangen sama bibir kamu yang mungil itu. Bukan bibir atas lho, tapi bibir bawah. Ha ha ha ha!” kata Pak Bejo sambil tertawa terbahak. “Nanti malam GocrotGocrotGocrotGocrotGocrotGocrotGocrot pakai parfum biar wangi, aku mau pakai kamu sampai pagi! Ha ha ha!”
“Apa ada masalah di sini?”
Terkejut dengan suara yang tiba – tiba saja muncul dan mengagetkannya, Pak Bejo melepaskan kuncian pada Alya. Setelah berhasil lepas, Alya langsung menghempaskan diri ke sofa yang berada tak jauh darinya dan terbatuk, ia duduk sambil berusaha menenangkan diri, nafasnya terasa sesak sekali. Alya memicingkan mata dan menahan lehernya yang sakit. Si cantik itu mencoba melihat siapa yang datang… Mas Hendrakah?
Bukan! Ternyata Paidi!
“Heh, supir! Mending kamu urus urusanmu sendiri! Apapun yang aku omongin sama Bu Alya sama sekali bukan urusanmu! Tahu!?” bentak Pak Bejo sambil melotot.
Paidi hanya tersenyum melihat pria bertubuh gempal itu membentaknya, mantan napi itu jelas bukan orang yang mudah digertak, ia menjawab bentakan Pak Bejo dengan tenang. “Bu Alya itu majikan saya. Tentunya sebagai karyawan yang baik dan mengabdi, saya tidak ingin ada hal – hal yang buruk menimpa beliau.” Pandangan mata Paidi menusuk tajam ke arah Pak Bejo. Keduanya saling menatap, siap mengeluarkan pukulan. Suara Paidi berubah menjadi geram, wajahnya mengeras. “Bukan begitu, Pak Bejo?”
Alya ketakutan sekaligus bingung melihat situasi ini, keributan sedikit apapun akan mengundang perhatian Mas Hendra yang sedang berisitirahat walaupun kamarnya jauh dari ruang kerja Alya, kedatangan Mas Hendra kemari saat itu adalah hal terakhir yang ingin dia lakukan. Ia tidak ingin Hendra tahu perbuatan bejat Pak Bejo kepadanya selama ini.
Alya mendorong Paidi dan Pak Bejo yang sudah sangat dekat dan saling mengancam agar menjauh satu sama lain. “Sudah! Sudah! Kalian bisa membuatku gila kalau begini caranya, tolong pelankan suara kalian! Mas Hendra dan Opi ada di dalam! Kalau kalian mau ribut, bukan di sini! Jangan sekarang!”
“Baiklah.” Pak Bejo mendesah, “tapi kalau boleh aku memberi usul, lebih baik supir baru ini diberi pelajaran tambahan soal tatakrama, Bu Alya. Apalagi di kampung kita dia bukan siapa – siapa. Aku tidak ingin ada hal – hal yang buruk menimpanya. Kecelakaan sering terjadi di wilayah ini.”
Paidi menggemeretakkan gigi dengan geram, dia tahu itu ancaman, tapi melihat wajah Alya yang menatap mereka khawatir, dia diam saja. Demi majikan yang sangat ia kagumi, Paidi mengalah.
Pak Bejo melangkah dengan penuh kemenangan meninggalkan ruang kerja, dengan sengaja ia menyenggol pundak Paidi sambil meringis menantang. Pak Bejo berjalan keluar rumah dengan bersiul – siul santai.
Tetes air mata mulai leleh di pipi Alya. Betapa lelahnya ia dengan semua ini, betapa inginnya dia lepas dari semua masalah yang membebani pikirannya. Perih pula rasanya tamparan Pak Bejo yang masih terasa menyengat di pipinya.
“Maaf kalau saya lancang, Bu. Tapi tadi saya sudah mencuri dengar percakapan Ibu dengan Pak Bejo, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Paidi dengan lembut. “Benarkah…”
Alya kaget mendengar pertanyaan nekat dari supirnya itu, ia bangkit dan mengusap air matanya yang menetes. Wajahnya yang cantik berubah menjadi ketus, “Dengar baik – baik, Mas Paidi. Aku ingin kamu tahu kalau aku bisa mengatasi semua persoalanku sendiri. Aku tidak suka karyawanku tahu rahasia – rahasiaku, jadi lebih baik kau lupakan semua yang kamu dengar hari ini, atau besok kamu angkat barang – barangmu dan pergi dari rumah ini! Mengerti?”
Paidi kaget, tapi ia lalu tersenyum lembut karena tahu tentunya saat ini Alya sedang kacau dan sangat kalut. Wanita jelita itu tentunya masih sangat terbawa emosi. “Saya tidak berani lancang. Tentu saya tahu apa yang harus saya lakukan, Bu. Saya tidak akan mengungkit kejadian ini lagi di masa mendatang. Ibu bisa percaya pada saya.”
“Bagus!”
Alya meninggalkan Paidi sendiri, ia berjalan keluar dengan langkah tegas, tapi getaran kaki Alya tidak bisa mengelabui Paidi.
Pria tua itu duduk di sofa dengan tenang sambil menatap kepergian majikannya yang jelita. Ia tidak peduli apa yang akan terjadi besok, ia harus menolong si cantik itu lepas dari genggaman Pak Bejo yang bejat. Kalaupun ia harus dipecat karena usahanya, ia tidak akan menyesal karenanya.
Ia harus melakukannya, karena sejak melihat Alya di Pos Kamling malam itu, Paidi telah jatuh cinta.
Ia akan melawan Pak Bejo. Demi Alya.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar