Dengan gelisah Dina menunggu panggilan.
Sudah hampir setengah jam ia menunggu panggilan Pak Pramono. Entah apa maksud pria tua itu memanggilnya ke kantor. Dina punya cukup alasan untuk gelisah, dia baru saja bertemu dengan beberapa orang teman Anton dan menurut mereka suaminya itu sudah menghilang sejak pagi tadi. Mereka memperkirakan, itulah alasannya Pak Pram memanggil Dina ke kantor, dengan karir yang makin tersendat sungguh tidak bijaksana bagi Anton kalau tiba-tiba saja dia memutuskan untuk pergi tanpa pamit.
Mungkin saja Anton tiba-tiba kalut setelah mengetahui skandal finansial yang dilakukan olehnya telah menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan. Tanpa mengetahui perjanjian rahasia yang dilakukan oleh Dina dan Pak Pram, Anton lantas melarikan diri entah kemana. Dina takut Pak Pramono mengingkari perjanjian yang sudah mereka sepakati, Dina bersedia diapakan saja oleh Pak Pram asal mengampuni kesalahan suaminya. Seharian ini Dina tidak bisa menghubungi telpon genggam sang suami, kekhawatirannya makin memuncak ketika Pak Pramono kemudian juga menghubunginya lewat WhatsApp. Tapi pesan WhatsApp dari Pak Pramono di hp Dina sudah jelas mengatakan kalau dia memanggilnya karena ‘alasan’ lain.
Untuk kesekian kalinya, dia harus melayani nafsu pria biadab itu.
Sekretaris Pak Pram sudah meninggalkan ruangan sejak istirahat makan siang, seorang satpam yang tadinya berada di lantai atas juga sudah turun ke lantai bawah, Dina hanya sendirian saja menunggu panggilan Pak Pramono di ruang tunggu kantornya. Ruangan Pak Pram yang eksklusif dan luas dan terletak di lantai atas gedung perkantoran ternyata cukup sepi, di lantai ini hanya ada seorang satpam, seorang sekretaris dan tentunya Pak Pram seorang. Saat ini, satpam dan sekretarisnya sedang istirahat dan Dina harus menunggu sendiri. Dina curiga, jangan-jangan satpam dan sekretaris Pak Pram itu memang sengaja meninggalkannya seorang diri di sini.
“Ibu Dina, silahkan masuk.” Terdengar suara entah dari mana dan pintu masuk ke ruang pribadi Pak Pram terbuka.
Dengan langkah berani dan berusaha mempertahankan harga diri, Dina masuk ke dalam. Pak Pram rupanya sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki yang sudah terlihat sangat tua dan keriput. Walaupun begitu, terlihat binar mata ceria berkilat di mata lelaki tua itu.
“Ibu Dina, kenalkan ini Pak Bambang Haryanto.”, kata Pak Pramono sambil mengenalkan sosok kakek tua di sebelahnya. Entah kenapa Pak Pramono tidak memanggil Dina dengan sebutan ‘mbak’ seperti biasa. “Pak Bambang, wanita cantik ini adalah Ibu Dina Febrianti, istri dari salah satu staf saya, Pak Anton Hartono.”
“Oh, Anton yang itu.” suara Pak Bambang terdengar berat dan serak, sangat tidak enak didengar. Dari nada kalimat yang diucapkannya, Dina menduga Pak Bambang mengetahui kejadian penggelapan uang perusahaan yang dilakukan oleh Anton suaminya. Pasti mereka ingin menanyakan keberadaan suaminya yang sejak pagi tadi menghilang. Dina mulai ketakutan.
Dina segera menyalami Pak Bambang. Sepertinya Pak Pramono sangat menaruh hormat kepada kakek tua ini. Rambut di kepala Pak Bambang sudah beruban, putih semua. Wajahnya sudah keriput dan alisnya yang tebal panjang juga sudah memutih, sekilas penampilannya mengingatkan pada presiden kita yang kedua. Tubuh Pak Bambang lebih pendek dari Pak Pram, bahkan lebih pendek dari Dina. Hanya saja tubuh Pak Bambang jauh lebih gemuk sehingga terlihat sangat besar dan mengintimidasi.
Kalau Pak Pramono walaupun sudah berusia di atas kepala lima tapi masih terlihat gagah, sebaliknya dengan Pak Bambang. Kakek gemuk ini mungkin sudah 70 tahun, wajahnya juga terlihat sangat tua dan keriput, walaupun pada kenyataannya sangat sehat dan segar.
Berhubung tubuh Pak Bambang pendek, tentunya saat menyalaminya Dina harus sedikit membungkuk supaya terlihat sopan. Saat menegakkan badan, Dina melihat mata Pak Bambang nanar melihat belahan dadanya yang indah dan tentunya terlihat jelas di hadapan kakek tua itu. Wajah Dina memerah karena malu dan segera membenahi cara berdirinya. Mata Pak Bambang tidak bergeming dan terus menatap kedua buah dada Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu ingin menyilangkan tangan di depan dada karena merasa sangat malu, tapi pandangan mata galak dari Pak Pramono membuatnya mengurungkan niat. Dia tidak mau membuat Pak Pramono marah.
Ketiga orang itu segera duduk di tempat masing-masing. Pak Pram duduk di belakang meja kerjanya, sementara Dina dan Pak Bambang duduk bersebelahan.
“Pak Bambang adalah pendiri dan direktur dari PT Sasana - salah satu owner baru perusahaan ini,” kata Pak Pram. “Setelah suksesnya pembelian mayoritas aset dan waralaba perusahaan yang dilakukan oleh PT Sasana serta merger dengan anak perusahaan lain yang akan dilakukan sesegera mungkin, kami dari pihak perusahaan hendak memberikan kenang-kenangan untuk Pak Bambang selaku pemegang saham terbesar.”
Entah kepada siapa Pak Pram menerangkan panjang lebar. Dina hanya terdiam dan duduk dengan sopan. Pak Bambang terus saja mencuri-curi pandang ke arah payudara montok wanita cantik di sebelahnya.
“Nah, Ibu Dina. Karena Pak Anton belum juga memberikan laporan yang sangat penting dan amat kami butuhkan sehubungan dengan pengambilalihan perusahaan oleh PT Sasana dan keberadaan Pak Anton juga entah di mana saat ini, maka saya harapkan Ibu Dina sebagai istri dari Pak Anton bersedia memberikan down payment sekaligus kenang-kenangan pada Pak Bambang.”
Perasaan Dina mulai tidak enak. Pak Pram menatapnya tajam. Pandangan mata itu seakan-akan hendak mengatakan – jangan berani-berani melawan –.
“Kita mulai saja pertemuan ini dengan membuka baju Ibu Dina. Saya pribadi sangat menyukai pilihan baju yang Ibu Dina kenakan, tapi kalau saya tidak salah, nampaknya Pak Bambang jauh lebih tertarik pada isi yang ada di balik blus Ibu Dina. Silahkan blusnya dibuka dulu.”
Dina hampir pingsan. Dia tidak percaya apa yang dikatakan oleh Pak Pram. Dia hendak menyerahkan tubuh Dina pada kakek tua pendek menjijikkan ini? Benar-benar gila! Dina sudah siap berdiri dan meninggalkan ruangan itu, namun dia segera teringat perjanjiannya dengan Pak Pram dan tubuhnya pun langsung lemas. Selama Anton masih belum didepak dari pekerjaan dan posisinya aman, maka Dina masih harus melayani Pak Pram sampai dia bosan. Tidak ada gunanya melawan, semua sudah terjadi dan harus dihadapi. Dina menundukkan kepala sambil menahan air matanya agar tidak tumpah. Walaupun terdesak Dina tidak ingin terlihat lemah di hadapan dua laki-laki tua yang mesum ini.
Dengan tangan bergetar, Dina berusaha membuka kancing bajunya. Sekilas Dina melirik pada Pak Bambang yang menatapnya penuh nafsu. Karena dalam pesan WhatsApp sebelumnya Dina dilarang mengenakan pakaian dalam oleh Pak Pram, maka Dina sempat mampir ke kamar kecil di lantai bawah untuk melepas pakaian dalamnya, dia sengaja mengenakan pakaian yang sopan dan tertutup rapat sehingga tidak menarik perhatian orang. Setelah dibuka seluruh kancing bajunya, Pak Bambang bisa segera menikmati keindahan buah dada sempurna milik Dina. Ibu rumah tangga yang cantik itu sengaja tidak segera melepas blusnya dan beralih membuka roknya.
Pandangan mata Dina yang mulai berlinang air mata memohon ampun pada Pak Pram, karena selain dilarang mengenakan BH, Dina juga dilarang mengenakan celana dalam, seandainya roknya dilepas, Dina akan langsung bugil di hadapan kedua orang ini, dia malu sekali. Tapi pria tua itu tidak mengindahkan tatapan Dina. Dia bahkan bangkit, menghampiri Dina dan membantu menarik resleting rok pendek istri Anton itu. Dina beruntung karena rok yang ia kenakan sangat ketat sehingga walaupun resletingnya sudah ditarik sampai ujung, tapi rok itu tidak lepas. Pak Pram menahan diri untuk tidak menarik dan melepas rok Dina, sebaliknya ibu rumah tangga itu panik dan berusaha menahan rok serta blusnya agar tidak terlepas dan membuatnya telanjang bulat di depan Pak Bambang.
“Nah. Nah. Begitu baru seksi. Anda setuju dengan saya, Pak Bambang?”
Dina melirik ke arah kakek gemuk yang terkekeh-kekeh di sebelahnya. Selain wajahnya yang menatap tubuh Dina lumat-lumat, dia juga memperhatikan adanya tonjolan yang makin lama makin besar di selangkangan Pak Bambang. Pandangan mata Pak Bambang beralih dari dada ke kaki jenjang Dina, lalu ke paha dan tentunya selangkangan si seksi itu. Pak Bambang nampaknya tidak terlalu memperhatikan pertanyaan dari Pak Pram.
“Ibu Dina sayang, tolong antarkan Pak Bambang beristirahat di sofa yang ada di samping sana.” Kata Pak Pram sambil menunjuk sebuah sofa panjang yang berada di dalam ruangan pribadi Pak Pram. “Temani beliau duduk di dalam.”
Pak Bambang terkekeh-kekeh lagi saat tangannya dibimbing oleh Dina bak seorang jompo yang sudah tidak mampu berdiri dengan tegak. Dina sendiri berusaha keras berada di belakang langkah Pak Bambang sehingga kakek gemuk itu tidak bisa menyaksikan langsung perjuangan kerasnya mempertahankan blus dan roknya agar tidak melorot. Walaupun begitu, berkali-kali lengan Pak Bambang dengan sengaja disenggolkan ke payudara Dina.
Setelah duduk di sofa dan disusul oleh Pak Pram, Dina duduk di samping Pak Bambang. Saat duduk, salah satu bagian blus yang dikenakan Dina melorot dan susu sebelah kanannya pun bisa dilihat jelas oleh kedua laki-laki yang ada dalam ruangan. Dina hendak membenahi bajunya tapi Pak Pram menggelengkan kepala sehingga diurungkannya niatnya itu.
Dina tersentak saat tangan Pak Bambang meraih buah dadanya yang terbuka. Dina bisa melihat kilau emas cincin kawin di jemari Pak Bambang. Dina baru teringat kalau dia juga masih mengenakan cincin kawinnya. Nama Anton terngiang berulang-ulang kali dalam benak Dina, begitu pula nama kedua anaknya. Ini semua untuk keluarga. Dia melakukan ini semua untuk keutuhan keluarga. Dina berusaha menenangkan dirinya sendiri. Belum pernah seumur hidupnya Dina membayangkan hal seperti ini akan menimpa dirinya.
Tangan Pak Bambang meremas-remas buah dada Dina dengan lembut dan beralih ke payudara yang sebelah lagi. Karena merasa terganggu, kakek bejat itu segera melepaskan blus yang dikenakan Dina. Setelah melepaskan blus Dina, Pak Bambang segera meremas-remas kedua payudara si cantik itu.
“Ibu Dina, tolong keluarkan kemaluan Pak Bambang agar tidak sesak di dalam.” Kata Pak Pram. “Sekalian digosok agar tidak kedingingan. Ruangan ini ACnya dingin sekali.”
Dina memejamkan mata dan berusaha tidak memikirkan apa yang saat ini sedang dialaminya. Dengan tangan bergetar, Dina meraih sabuk celana Pak Bambang dan membuka kaitannya. Setelah sabuk itu tidak terkait lagi, Dina menarik resleting celana Pak Bambang ke bawah. Dina memasukkan tangan ke dalam dan mencari batang zakar Pak Bambang. Setelah beberapa kali mencari dengan grogi, Dina menemukan penis Pak Bambang yang berada di balik celana dalamnya. Dina membuka celana dengan tangan kiri dan menarik keluar penis Pak Bambang dengan tangan kanannya.
Dina mengocok penis Pak Bambang dengan jemarinya yang lembut.
Telegram : @cerita_dewasaa
Hendra meninggalkan Anissa dan Dodit yang masih duduk di meja makan sambil menonton TV. Setelah memesan taksi online, Hendra siap berangkat kerja. Sudah beberapa hari ini Hendra tidak mengendarai mobilnya sendiri.
“Bagaimana mobilnya, Mas Hendra? Sudah dibawa ke bengkel yang saya sarankan?” tanya Pak Bejo yang tiba-tiba saja muncul dan mengagetkan Hendra.
Hendra tersenyum, “Wah, sudah Pak. Bengkelnya bagus dan murah. Nanti sore mobil saya sudah jadi, saya ambil sepulang kerja. Terima kasih banyak buat rekomendasinya, Pak Bejo. Kalau tahu dari dulu ada bengkel yang murah seperti itu pasti saya sudah langganan sejak lama.”
“Ah sama-sama, Mas. Saya kan juga sudah sering dibantu Mas Hendra.”
Hendra tersenyum dan masuk ke dalam kamar untuk menemui istrinya.
Pak Bejo menengok ke dalam sejenak kemudian meraih ke dalam saku celana dan mengambil telpon genggamnya. Dia mulai mengetikkan pesan WhatsApp dan mengirimnya ke seseorang.
Bgmn psnku td? Kalian sdh sabot mobil si Hndr? Truk si Somad sdh siap?
Tak lama kemudian, balasan pesang singkat itu datang, Pak Bejo terkekeh membacanya.
Semua beres.
Telegram : @cerita_dewasaa
Alya sedang memandangi dirinya sendiri di dalam cermin ketika suaminya masuk ke dalam kamar, ia terkejut dan bersiap karena mengira yang masuk adalah Pak Bejo. Wanita cantik itu langsung menghembuskan nafas lega begitu tahu yang masuk adalah suaminya.
“Kamu selalu cantik, sayang. Tidak perlu berkaca terlalu lama.” Kata Hendra sambil mendekap tubuh istrinya dengan mesra.
Alya tersenyum manis dan membiarkan kehangatan penuh cinta yang diberikan suaminya memberikan kedamaian setelah tadi sempat tegang dikejutkan Pak Bejo. Tangan Hendra yang nakal membelai tubuh istrinya yang masih mengenakan kimono. Dengan hati-hati sekali Hendra membuka bagian atas kimono itu dan membelai payudara Alya. Puting susu Alya menonjol ke depan dan dimainkan Hendra dengan lembut.
Alya mendesah penuh kenikmatan. “Aku menyukai sentuhanmu.”
Hendra memeluk istrinya erat-erat. “Aku sangat mencintaimu.”
“Aku lebih mencintaimu daripada kau mencintai aku, mas.”
Hendra mengecup bibir istrinya dengan lembut, tidak ada kekasaran yang dirasakan oleh Alya, hanya usapan bibir penuh cinta yang sangat didambanya. Sayangnya Hendra tidak tahu kalau bibir yang sama juga baru saja dinikmati oleh tetangganya yang cabul.
“Sudah mau berangkat kerja, Mas?”
“Aku sudah telpon taksi tadi.”
“Opi?”
“Diantar Bu Bejo. Kamu berangkat siang?”
“Iya. Katanya Anis sama Dodit mau jalan-jalan ke mall, aku mau numpang.”
“Ya udah kalau begitu, tadinya aku kira kamu mau dianter Pak Bejo pakai motor.”
Nama itu bagaikan kilat yang menyambar batin Alya. Tiap kali Hendra menyebut nama pemerkosanya, seluruh tubuh Alya terasa lemas tak berdaya. Batinnya menjerit-jerit namun tidak ada kata-kata yang terucap. Maafkan aku, Mas. Maafkan istrimu yang telah membiarkan diri dinodai oleh tetangga yang kurang ajar itu. Maafkan istrimu yang tidak mampu menjaga diri. Banyak yang ingin terucap, tapi bibir Alya tetap terkatup rapat.
“Nanti pulangnya jangan malam-malam ya, Mas.”
“Memangnya kenapa? Mungkin agak sore, aku ambil mobil dulu di bengkel.”
Alya menggelayut manja di pelukan sang suami. “Sudah beberapa hari ini kita tidak bercinta, aku kangen sekali sama kamu.”
Hendra tertawa dan mencium bibir Alya sekali lagi. “Gampang, nanti bisa diatur.”
Terdengar bunyi klakson di depan rumah.
“Taksi-online -nya udah datang, aku berangkat dulu ya, sayang.”
“Iya, mas. Hati-hati.”
Hendra meninggalkan istrinya dan membuka pintu kamar lalu melangkah keluar. Belum sampai satu menit, Hendra kembali lagi ke kamar dengan keringat bercucuran.
“Mas? Kamu kenapa?” Alya terkejut melihat suaminya dan mengambil sapu tangan, dengan hati-hati diusapnya keringat Hendra. “Kamu sakit?”
“Nggak tau nih, nggak sakit kok, hanya saja perasaanku tiba-tiba tidak enak.”
Alya mulai khawatir. “Kamu yakin tidak apa-apa? Aku telpon ke kantor saja ya, minta ijin?”
Hendra tersenyum dan mencium dahi Alya. “Aku tidak apa-apa kok, sayang. Bener. Apapun yang terjadi, aku selalu mencintai kamu.”
“Aku juga, mas.”
“Aku berangkat ya.”
“Iya, mas.”
Perasaan Alya tidak enak.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar