Lidya masuk ke kamarnya dengan langkah lunglai. Badannya lemas dan capek, wajahnya kuyu, seluruh kekuatannya telah diserap habis oleh kegiatannya sehari bersama Pak Hasan. Dia sudah tidak bisa lagi menangis sedih karena sangat lelah. Dia hanya ingin bisa tidur dengan tenang malam ini.
Lidya menatap dirinya sendiri dalam cermin, dia seolah melihat seorang pelacur yang sudah kelelahan melayani pelanggan. Tidak nampak lagi sosok wanita cantik yang ceria seperti dahulu, tidak ada lagi senyum tersungging di bibirnya yang mungil. Semua hilang karena ulah mertua yang cabul.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan Pak Hasan masuk sambil cengengesan. Panjang umur sekali sih pria tua ini?
Untuk beberapa saat lamanya Lidya berdiri kebingungan tanpa tahu apa yang sebaiknya ia lakukan. Mulutnya sudah terbuka, tapi tak kunjung keluar kata-kata yang bisa ia ucapkan. Seluruh pikirannya surut oleh keterkejutannya sendiri.
Haduh, mau apa lagi tua bangka busuk ini?
Akhirnya Lidya hanya berkata lirih. “Apa yang Bapak inginkan? Aku capek sekali.”
“Apa yang aku inginkan? Kamu ini benar-benar bodoh atau cuma pura-pura saja, nduk? Tidak usah pakai basa-basi, langsung dibuka saja bajumu.” Perintah Pak Hasan. “Sejak tadi pagi aku menahan diri tidak memakai memekmu, sekarang saat yang tepat”
Wajah Lidya berubah menjadi muram. Dalam hatinya dia sudah berharap Pak Hasan tidak akan menyetubuhinya lagi malam ini. Harapannya jelas tidak terwujud. Lidya berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Mertuanya yang cabul itu sudah pernah menidurinya beberapa kali dan pakaian yang dikenakannya sendiri saat ini sangat terbuka, apalah bedanya kalau saat ini dia bugil atau tidak?
Senyum yang tersungging di bibir Pak Hasan makin melebar saat melihat Lidya melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya. Seluruh pakaian yang dibelinya siang tadi di Mall akhirnya terlepas dari tubuh sang menantu. Kemeja tipis menerawang tanpa BH, rok mini hitam yang seksi dan celana dalam g-string super mini jatuh satu persatu ke lantai.
“Indah sekali.” Pak Hasan tertawa puas menyaksikan menantunya sendiri berdiri telanjang bulat dan kedinginan dihadapannya. Pria tua itu juga meringis melihat Lidya berusaha keras menutupi rasa malu luar biasa yang ditimbulkan karena berdiri tanpa sehelai benangpun di depan mertuanya sendiri. “Berbaliklah, nduk. Aku ingin melihat pantatmu.”
Lidya menggigit bibir bawahnya dengan geram dan menurut pada perintah Pak Hasan. Wanita cantik itu berbalik dengan sangat perlahan sehingga mertuanya bisa melihat dengan jelas gelombang gerakan erotis yang ditimbulkan oleh pantat Lidya. Pantat sang menantu sangat mempesona Pak Hasan. Pantat yang bulat, putih mulus dan tanpa cacat, kemolekan yang sempurna.
“Menakjubkan.” Kata Pak Hasan. Matanya nanar menatap keindahan bokong sang menantu. “Berbaringlah di ranjang dan buka kakimu lebar-lebar. Aku pengen ngentot sekarang.”
Lidya menahan nafas karena terkejut dan mulai panik. Dia berusaha menghindar dari Pak Hasan. Setelah seharian mendapatkan rangsangan demi rangsangan, Lidya takut dia mulai rindu pada kontol sang mertua yang beberapa hari ini telah membuatnya orgasme berkali-kali. Hal ini berusaha dihindarinya sedini mungkin. Dia tidak mau tenggelam dalam nafsu pada sang mertua. Dengan rasa takut yang amat sangat, Lidya berusaha menghindar. Dia masih memiliki kesadaran untuk menolak. Walaupun sudah pernah diperkosa, Lidya tetap menolak untuk pasrah. Tapi apalah daya seorang wanita lemah sepertinya? Apalagi kini Lidya sudah bugil di hadapan sang mertua.
“Baiklah, sepertinya kau mendapat kesulitan berkomunikasi dengan Bapak, ya nduk?” kata Pak Hasan sambil tersenyum lebar. “Bagaimana kalau kita adakan perjanjian saja?”
“Pak, aku mohon. Cukuplah apa yang Bapak lakukan ini. Perbuatan kita sangat nista, Pak. Ijinkan aku…”
“Shhh, jangan ribut to, Nduk. Kita buat perjanjian saja ya? Soalnya aku masih penasaran sama tubuhmu yang seksi itu,” kata Pak Hasan. Wajahnya terlihat sangat sadis dan membuat Lidya bergidik ketakutan, tamparannya siang tadi di mall masih terasa panas di pipinya, “Kali ini kita ngentotnya tanpa paksaan ya. Tidak perlu aku perkosa lah, kamu pasti bisa ngentot seenak itu. Tidak hanya tanpa paksaan saja saja, kali ini kamu juga harus membuat aku muncrat. Kalau tidak muncrat, wah gawat. Resiko ada di tangan kamu…”
Lidya menatap Pak Hasan heran. “Kenapa resiko ada di tanganku?”
“Lidya sayang. Ada sesuatu yang lupa aku sampaikan padamu.”
Lidya menatap mata ayah mertuanya dengan pandangan bertanya-tanya. Tubuhnya yang telanjang menggigil terkena angin. Lidya berusaha menutup ketelanjangannya dengan memeluk dirinya sendiri. Tangan kanan menyilang menutupi pentil dan tangan kiri menutup gundukan lembut di selangkangan.
“Aku bohong soal Andi.” Kata Pak Hasan.
Jantung Lidya berdetak kencang, perlahan rasa takut menyebar di seluruh tubuhnya. Pak Hasan tersenyum menghina, dia bergerak mendekati Lidya dan memeluk tubuh menantunya itu erat-erat. Tangan-tangannya yang nakal mengelus dan meraba lekuk-lekuk tubuh Lidya. Wanita cantik itu masih tak bergeming, kedua tangannya juga masih berusaha menutup auratnya. Pak Hasan terkekeh, dia dengan berani menyentakkan tangan kanan Lidya dan meremas-remas payudaranya perlahan.
“Andi pulang hari ini. Dia baru saja telpon dari bandara.” Kata pria tua itu sambil menunjuk ponselnya.
Mata Lidya terbelalak.
“Dia akan segera sampai di rumah.”
Dengan panik Lidya mencoba melepaskan diri dari pelukan ayah mertuanya. Menantu Pak Hasan yang cantik itu menjerit-jerit dan menangis tak tertahankan, dia berusaha menarik tubuhnya dari kuncian sang mertua namun tidak berhasil. Tubuhnya yang indah dan basah oleh keringat tak bisa lepas dari pelukan Pak Hasan.
“Lepaskan aku! Lepaskan! Andi sudah mau pulang! Kita tidak boleh terlihat seperti ini! Kumohon, Pak! Kasihani aku! Kasihani akuuu!!”
Pak Hasan meringis sadis dan tak memberi ampun sedikitpun. Gerakan tangannya meremas buah dada Lidya malah makin kencang.
“Aduh, sial sekali! Aku lupa mengunci pintu depan!” goda Pak Hasan.
Lidya menjerit-jerit ketakutan, gawat! Orang bisa masuk dengan mudah! Andi! Andi suaminya bisa masuk tanpa mereka ketahui! Gawat, ini gawat! Semakin Lidya meronta, semakin erat pelukan Pak Hasan pada sang menantu.
“Bagimana menurutmu, Nduk? Aku janji akan segera melepaskanmu begitu aku muncrat. Ayo cepetan kita ngentot, buruan karena Andi sudah mau sampai ke rumah. Aku tidak berani menjamin apa yang akan dilakukan anakku itu sama kamu seandainya dia pulang melihat istrinya yang cantik jelita begini sedang telanjang bulat digauli oleh bapaknya sendiri.” Pak Hasan terkekeh, “Jujur saja, aku tidak peduli seandainya Andi pulang dan menemui kita dalam posisi seperti ini, tapi aku yakin pendapatmu pasti sebaliknya. Pasti kamu ingin ini semua cepat selesai, iya kan?”
“Ba-bapak benar-benar sudah gila… aku… aku tidak bisa melakukannya! Mas Andi… mas Andi sudah mau pulang! Ti-tidak akan sempat! Kita tidak akan sempat ber…” Lidya menjerit putus asa, tubuhnya yang telanjang kian bersinar indah karena derasnya kucuran keringat bercampur dengan air mata. Wajahnya yang menunjukkan rasa takut dan gelisah malah membuat Pak Hasan kian terangsang dan bergairah. Pria tua itu melepaskan pelukannya dan berdiri di dekat ranjang.
“Tidak sempat bercinta, maksudmu? Kalau begitu, tidak ada waktu lagi untuk berpikir, Nduk,” kata Pak Hasan sambil menyeringai, “Andi bisa setiap saat pulang ke rumah. Berapa jam sih waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sini dari bandara? Tidak jauh bukan jaraknya. Masih ada waktu lho...”
“Tidak bisa. Tidak sempat. Tidak … aku tidak mau!” Lidya terus menggeleng. Pikirannya kalut. Dia meremas-remas jemarinya dengan perasaan gelisah.
“Waktu terus berjalan, nduk,” Pak Hasan terkekeh menghina, “Sebenarnya kau tidak punya banyak pilihan, kalau tidak mau melayaniku, ya berarti kau lebih memilih kuperkosa saja. Karena kalau itu yang kau mau, aku tidak yakin Andi bisa menerima kenyataan yang harus dihadapi. Bayangkan, istri dan ayahnya sedang bergumul telanjang dan…”
“Cukup! Hentikan!” Lidya makin panik. Dia tidak mau membayangkan hal seperti itu terjadi.
Desah nafas Lidya yang memburu kian keras terdengar, bahkan sampai ke telinga Pak Hasan. Dadanya naik turun dengan cepat dan nafasnya yang cepat terdengar berat. Lidya berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini tapi sepertinya tidak ada pilihan yang bisa menyelamatkannya.
Lidya menundukkan kepala dengan pasrah. Tidak ada jalan lain.
Lidya berbisik lirih memohon maaf kepada suaminya dalam hati, jangan sampai semuanya bubar gara-gara pria tua bejat satu ini. Sambil terburu-buru Lidya segera menghampiri Pak Hasan, menarik celana pendeknya dan meraih tongkat kemaluan kebanggaan sang mertua dalam genggamannya. Mata Lidya terbelalak melihat ukuran penis Pak Hasan yang terlihat jauh lebih besar dari sebelumnya.
“Nah, gitu kan enak, bagaimana kontolku, Nduk? Pas di tanganmu yah?” Pak Hasan tertawa melihat menantunya akhirnya mau melayaninya tanpa paksaan. Selama ini Pak Hasan hanya berhasil memperkosa Lidya, belum bisa membuat menantunya yang cantik itu bercinta dengannya dengan kesadaran sendiri. Kali ini akhirnya apa yang diimpikannya hampir menjadi kenyataan. Mungkin sedikit lagi, dia bisa menggiring Lidya ke arah yang dia inginkan.
Lidya tidak menjawab sindiran Pak Hasan. Matanya berulang kali menatap ke arah jendela dengan takut. Lidya segera mulai mengocok kontol Pak Hasan. Jemari lembut Lidya bergerak cepat mengocok penis Pak Hasan naik turun dengan harapan pria tua yang bejat itu segera mencapai klimaks.
“Ayo cepat, cepat…” desis Lidya, matanya terus beralih dari jendela ke kemaluan Pak Hasan. Lidya makin tidak sabar dan bertanya-tanya butuh waktu berapa lama lagi Pak Hasan akan menembakkan spermanya. Kok lama banget sih...!!!
“Ya... ya... enak sih enak, sayang,” kata Pak Hasan, “Tapi percayalah, kalau cuma begini terus aku tidak akan bisa muncrat.”
Lidya mulai merasa pening. Dia benar-benar sangat stress. Pandangan matanya tak henti bergerak berputar membulat, cukup lama dia menatap penis Pak Hasan yang besarnya luar biasa itu. Mertuanya itu benar, kalau hanya begini saja pasti akan memakan waktu yang sangat lama. Dia harus cari cara lain.
Kampreeeet!!
Lidya benar-benar kalut.
Dengan serta merta dia melepaskan pegangan pada batang kejantanan Pak Hasan dan menarik celana pendek sang mertua sampai ke bawah. Kontol besar milik mertuanya itu bergelantungan di depan wajah Lidya.
Lidya menarik nafas panjang karena lagi-lagi harus melakukan hal yang tidak begitu disukainya. Seandainya ini Andi – sang suami, Lidya akan melakukannya dengan sukarela dan penuh rasa cinta, tapi kontol busuk di depan wajahnya ini justru milik ayah dari Andi, mertuanya sendiri.
Lidya menarik batang penis Pak Hasan yang menegang, memancang dan besar bukan main. Si cantik itu sempat melirik ke arah mertuanya yang tersenyum meringis dengan wajah menghina. Lalu sambil mencoba menahan nafas agar tidak tersedak, kepala Lidya maju ke depan dan mulutnya membuka. Perlahan lidahnya yang mungil mulai menjilat ujung gundul kepala penis Pak Hasan. Gerakan Lidya makin lama makin cepat, dia berusaha menelusuri setiap jengkal penis Pak Hasan dengan lidahnya itu. Pak Hasan mendesah penuh kenikmatan.
Lidya menggelengkan kepalanya dengan jengkel karena penis Pak Hasan tidak segera mencapai klimaks walaupun dia sudah berusaha keras. Panik mulai merasuk ke dalam diri Lidya.
“Memang enak dijilati seperti itu, sayang,” kata Pak Hasan, “tapi aku tidak bakalan bisa muncrat kalau cuma pakai cara seperti itu. Mendingan kamu sekarang siap-siap saja, sebentar lagi suamimu akan segera pulang…”
Aaaahhhh!!!
Lidya menjerit keras-keras karena frustasi, panik dan bingung.
Setelah berpikir keras dan tak kunjung mendapat solusi, akhirnya Lidya menyerah. Tubuh indah wanita cantik itu pasrah dalam mendekap sang mertua yang bejat. Pak Hasan makin bergairah saat merasakan gesekan buah dada Lidya pada tubuhnya, baru kali inilah Lidya mau memeluknya. Menantunya yang cantik itu kini sedang meletakkan penis Pak Hasan tepat di pintu masuk surgawinya. Dengan jemarinya yang lentik, Lidya menegakkan penis sang mertua tepat di bawah lubang memeknya. Siap dihempaskan ke dalam liang cintanya yang basah
“Nah, gitu dong! Dari tadi kek!”, Pak Hasan terkekeh-kekeh dan menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan santai.
Lidya sempat ragu-ragu ketika dia mulai merasakan ujung kepala kontol mertuanya mengelus bibir vaginanya dengan lembut, tapi perasaan ragu itu hilang karena Lidya kemudian teringat apa yang akan terjadi seandainya dia tidak segera melayani Pak Hasan. Setelah menarik nafas panjang dan memejamkan mata menahan sakit, Lidya menurunkan badannya dan merasakan batang kemaluan sang mertua perlahan memasuki lubang vaginanya.
Kedua orang yang tengah bersenggama itu melenguh bersamaan. Mereka mendesahkan gairah dengan alasan yang berbeda. Lidya mendesahkan rasa gelisahnya karena telah melayani seorang pria yang bukan suaminya. Rasa bersalah mengungkungnya bagai sangkar tak berpintu, ia merasa tak berdaya karena diharuskan melayani ayah mertuanya sampai mencapai puncak kenikmatan. Di sisi lain, lenguhan panjang Pak Hasan adalah lenguhan kepuasan. Kebalikan dari apa yang dirasakan oleh Lidya, Pak Hasan merasa sangat puas bisa menyetubuhi menantunya yang memiliki tubuh luar biasa seksi.
Semua paksaan dan intimidasi yang dilakukannya pada Lidya akhirnya berbuah juga, Lidya akhirnya mau melayaninya. Pria tua bejat itu amat menyukai kemampuannya memaksa Lidya melakukan hal-hal yang di luar batas pemikirannya, melakukan hal-hal yang biasanya dianggap tabu dan tidak mungkin akan mereka lakukan dalam kondisi pikiran sehat.
Lidya meremas pundak Pak Hasan karena rasa nikmat yang dia alami sudah di ambang batas. Wanita jelita itu bisa merasakan rasa hangat melanda seluruh tubuhnya. Cengkraman Lidya di pundak sang mertua membuat tubuh indah Lidya bergerak naik turun dengan kecepatan tinggi mengendarai penis Pak Hasan. Tidak pernah terbayangkan dalam benak Lidya dia akan mau bersetubuh dengan Pak Hasan tanpa dipaksa, dan harus memberikan pelayanan ekstra.
Pak Hasan makin menikmati permainan kali ini. Sudah dua kali dia bersetubuh dengan menantunya yang seksi itu, tapi baru kali ini Lidya sendiri yang mau melayaninya tanpa harus diperkosa. Pak Hasan menyandarkan tubuh ke belakang dan memejamkan mata menikmati detik demi detik saat bibir vagina Lidya naik turun dengan cepat melahap batang penisnya yang berdiri tegak menjulang ke atas. Batang kemaluan Pak Hasan mulai basah oleh cairan cinta Lidya. Buah dada Lidya yang indah mental-mentul ke atas bawah mengikuti gerakan tubuhnya. Keringat yang mengucur deras membasahi tiap inci bagian tubuh Lidya termasuk di puting susunya yang menegang ke depan.
Lidya berusaha mengenyahkan semua pikiran erotis dan nafsu birahi yang melanda seluruh badannya, meski tengah bersetubuh dengan laki-laki tua laknat yang juga mertuanya sendiri itu. Namun satu perasaan aneh membuatnya terangsang perlahan. Perasaan yang mewujud dari ketidakmampuannya mengendalikan situasi, Lidya yang biasanya ceria dan enerjik itu kini berada dalam kendali seorang pria yang seharusnya menjadi figur ayah, bukannya malah melesakkan penisnya dalam-dalam ke tubuhnya. Tiap kali penis Pak Hasan melesak masuk dan menghantam dinding vaginanya dengan penuh kekuatan, Lidya mengeluarkan desahan demi desahan menyuarakan kenikmatan, tapi Lidya tidak akan mau mengakuinya.
Lidya berusaha keras membuat pria tua ini segera mencapai klimaks. Dia menggunakan seluruh kekuatan dan kecepatannya. Lidya bahkan mencoba melakukan gerakan-gerakan erotis yang selama ini sama sekali belum pernah dia praktekkan pada suaminya sendiri. Wanita cantik itu sesekali memutar pinggulnya, membuat gerakan melingkar tiap kali bibir memeknya sudah menyentuh ujung batang penis Pak Hasan.
“Edan, enak sekali, nduk!” pria tua itu tertawa puas merasakan kenikmatan luar biasa di batang kemaluannya. “Begini baru mantuku! Kenapa nggak dari tadi? Ayo teruskan! Teruskan!”
Lidya tidak sudi menjawab komentar sang mertua. Dia melanjutkan gerakan naik turun mengendarai batang kemaluan Pak Hasan dengan kecepatan yang makin meningkat. Makin lama makin cepat. Lidya menghantamkan pantatnya ke arah paha Pak Hasan yang gemuk, mengocok penis keriput sang mertua dengan memeknya dan berusaha keras membuat pria tua bejat itu mencapai titik akhir permainan cinta mereka.
Makin lama Lidya makin berani mengangkat pantatnya lebih tinggi dan menghantamkannya ke bawah dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi. Lubang vagina Lidya yang sudah basah oleh cairan cinta menelan seluruh batang kemaluan gemuk milik Pak Hasan. Lidya meneriakkan jeritan kekecewaan dan rasa panik, tapi bagi Pak Hasan, teriakan itu terdengar seperti kenikmatan yang makin memuncak.
Lidya melakukannya berulang-ulang kali, ia mengendarai batang kemaluan mertuanya dengan kecepatan tinggi seperti bintang rodeo. Lidya menghantamkan memeknya ke bawah sampai ke batas pangkal kemaluan Pak Hasan dengan keras. Naik turun naik turun. Berulang-ulang.
Pak Hasan serasa berada di nirwana. Pria tua itu menjerit dan melenguh dengan puas, dia sangat menikmati setiap detik saat memek menantunya yang cantik meremas-remas penisnya yang besar dan menyukai tiap kali bibir memek Lidya mengatup dan menjepit batangnya saat tubuh indah Lidya naik turun dengan cepat. Sungguh sangat nikmat.
“Sedikit lagi!!” teriak Pak Hasan.
“Cepaaat! Cepaaaaat!!” jerit Lidya panik.
Lidya memperkirakan sang mertua akan segera mennyemprotkan spermanya. Seluruh desah dan tangisannya adalah karena paksaan Pak Hasan, tapi entah kenapa Lidya tidak yakin lagi. Dia tidak yakin apakah dia sudah berhasil membuat mertuanya itu mencapai klimaks, atau malah dirinya sendiri yang keenakan dan mendapatkan kepuasan batin.
Lidya masih bergetar dan tidak mampu mengembalikan kesadarannya dengan sempurna. Penis Pak Hasan masih terus berdenyut dan bergerak maju mundur tanpa terhenti di liang cintanya. Campuran antara kenikmatan dan rasa bersalah membuat Lidya tidak mampu melakukan apa-apa, seluruh tubuhnya lemas.
Cairan cinta kental mengalir melalui sela-sela bibir kenikmatan Lidya yang tersumpal oleh batang kejantanan mertuanya sendiri. Lidya tidak peduli apakah dia sudah mencapai orgasmenya atau belum. Dia tidak peduli seandainya cairan cintanya meleleh tanpa tahu malu, kalaupun benar dia sudah klimaks, istri Andi itu tidak ingin mengetahuinya. Lidya hanya punya satu keinginan saat ini dan itu adalah membuat Pak Hasan orgasme. Tubuh indah wanita muda itu terus bergerak naik turun, membiarkan penis sang mertua merajai liang cinta yang seharusnya hanya diserahkan pada sang suami.
Bibir memek Lidya menjepit kontol Pak Hasan lebih erat lagi dan sang mertua melenguh keenakan, mertua bejat itu kembali melesakkan satu sentakan keras ke dalam liang cinta Lidya. Gerakan tubuh Lidya yang turun ke bawah disambut oleh gerakan pinggul sang mertua yang mendorong batang kemaluannya ke atas. Sekali lagi Pak Hasan melenguh puas sebelum akhirnya menembakkan spermanya ke dalam liang cinta sang menantu.
“Akhirnyaa… keluaaar…” desah Lidya lemas. Seluruh tubuh wanita jelita itu basah oleh keringat dan dia juga terengah-engah kelelahan. Lidya hampir-hampir tidak bisa bernafas.
Terdengar bunyi bel berdentang.
Pak Hasan tersenyum mesra menatap menantunya yang ketakutan mendengar bel itu. Mertua bejat itu mencium bibir Lidya dan menampar bulat pantatnya dengan lembut. “Itu, anakku sudah pulang.” Kata pria tua itu. “Sana kau sambut suamimu, Nduk.”
Lidya segera bergegas melepaskan diri dari pelukan Pak Hasan. Dia buru-buru mengenakan pakaiannya dan berlari ke bawah menuju pintu depan.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar