Pak Hasan meninggalkan Lidya sendirian duduk seorang diri di sebuah bangku panjang di depan toko yang menyediakan peralatan elektronik. Pria tua itu cekikikan melihat kegelisahan sang menantu dari jarak jauh. Pria busuk ini memang sengaja membiarkan Lidya sendirian, dia ingin melihat menantunya yang cantik itu digoda laki-laki lain. Dengan pakaian yang super seksi seperti itu, pasti mudah bagi Lidya memperoleh perhatian seorang lelaki, apalagi yang hidung belang. Tanpa mengenakan pakaian seksipun Lidya sudah mampu membuat mata seorang pria terpukau, bagaimana seandainya dia mengenakan baju super seksi?
Keringat dingin mulai membasahi tubuh Lidya. Duduk di depan sebuah toko elektronik yang ramai dikunjungi oleh laki-laki berbagai usia dengan pakaian seperti seorang pelacur murahan membuatnya ingin lari. Tapi Lidya takut dengan ancaman Pak Hasan yang tidak saja bisa menghajar tubuhnya secara fisik tapi juga menghancurkan masa depannya bersama Andi. Dia hanya bisa pasrah dan berharap mertuanya itu segera keluar dan menjemputnya. Saat ini Lidya hanya ingin segera pulang ke rumah.
Untungnya Lidya membawa handphone. Walaupun simcard yang tadinya berada di dalam hp sudah dicabut dan disita oleh Pak Hasan sebelum mereka berangkat ke mall, tapi dia masih bisa menggunakannya untuk kamuflase. Tidak peduli berapa jumlah lelaki yang menggoda ataupun nanar menatapnya seperti akan menelan tubuh indah Lidya bulat-bulat, wanita cantik itu berkonsentrasi menatap layar mini di hpnya dan berpura-pura memencet layar sentuhnya.
Sialnya, bukannya cuek, malah makin banyak pria-pria nakal yang memperhatikan Lidya. Seorang pria yang berusia sekitar 40 tahun keluar dari toko yang dimasuki Pak Hasan dan langsung berdiri di depan Lidya. Pria itu membawa tas jinjing plastik yang berisi mainan anak-anak. Lidya yang melirik diam-diam langsung tahu kalau pria ini pasti sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang masih kecil, tapi sepertinya dia pergi sendirian. Lidya makin gelisah, dia berusaha menyilangkan kakinya sesopan mungkin untuk menutup bagian selangkangannya yang terbuka lebar. Tapi dengan cara itu, kini pahanya yang mulus bisa dinikmati oleh sang lelaki hidung belang yang sedang memanjakan mata.
Lidya kian jengah, dia terus menanti-nanti Pak Hasan yang tidak kunjung keluar dari toko elektronik. Paha mulus Lidya sudah melambai-lambai seakan minta dielus, walaupun sudah berusaha sebisa mungkin untuk menutupinya, penampilannya tetap terlihat seronok. Mata wanita cantik itu memerah karena menahan air mata. Lidya melirik lagi ke arah sang pria hidung belang, ia berharap pria itu sudah pergi. Ternyata dugaan Lidya salah, orang itu malah makin mendekat. Terlihat jelas dari posisi Lidya, sebuah gundukan kian membesar di bagian selangkangan pria itu. Lidya memalingkan wajahnya yang memerah karena malu.
Pria hidung belang itu memutari etalase toko seperti seorang anak kecil yang tersesat, berputar tanpa arah yang jelas, tapi satu hal yang pasti, pandangan matanya selalu kembali ke arah paha Lidya yang putih mulus tanpa cacat. Entah harus khawatir atau malah bangga, Lidya sedikit menyunggingkan senyum karena sikap orang itu malu-malu. Tapi Lidya tidak mau bermain api, dia segera membenahi posisi duduknya dan berpura-pura tidak memperhatikan.
Orang itu ternyata malah mendekati Lidya dengan berani. Dia mengira senyuman Lidya tadi ditujukan untuknya! Lidya mengejapkan mata tak percaya dan menahan nafas saat pria itu datang mendekatinya.
“Sedang menunggu teman?” tanyanya, “saya juga. Boleh saya duduk di sebelah anda? Rasanya capek sekali berdiri di sini.”
Lidya mengangkat bahu dengan cuek, jantungnya mulai berdetak dengan kencang, matanya bergerak mencoba mencari Pak Hasan. Kemana lagi pria tua brengsek itu? Lidya makin gelisah dan ingin segera pergi dari sini. Pria yang genit itu duduk di samping Lidya. Dia sengaja duduk sedikit merapat ke arah si cantik. Lidya bisa merasakan senggolan-senggolan kecil di daerah pinggul dan pantatnya.
“Wah, hp-nya seri **** ya?” tanya pria genit itu lagi sambil menunjuk telpon genggam yang dipegang Lidya. “Saya selalu ingin memiliki hp seperti itu. Sayang di tempat ini sangat susah mendapatkan hp seperti yang anda miliki, hp seri baru stoknya terbatas. Padahal saya tidak peduli dengan harganya yang mahal. Berapapun harganya, pasti saya beli. Saya selalu mengatakan pada diri saya sendiri, kalau saya menginginkan hp, harus yang memiliki fitur lengkap. Kebetulan hp itu memiliki fitur-fitur seperti yang saya butuhkan.”
Lidya mengangguk dan mengangkat bahu, dia masih cuek dan tidak peduli apa yang dikatakan laki-laki di sebelahnya. Pria itu mendekat dan makin nekat, kini lengan mereka bersinggungan dan saling menempel sisinya. Lidya berusaha menyembunyikan hpnya karena toh telpon genggam itu menyala tanpa simcard. Dia tidak ingin ketahuan oleh si hidung belang ini sedang berpura-pura. Untungnya pria hidung belang itu lebih tertarik memperhatikan paha dan belahan buah dada Lidya yang putih mulus dan menggoda daripada hp yang sedang ia sembunyikan.
Sekali lagi, pria hidung belang itu masih terus mencoba mendekati Lidya.
“Hpnya bagus dan apik, cocok dengan pemiliknya yang cantik.” puji si hidung belang dengan rayuannya. “Anda sangat cantik.”
“Terima kasih.” Jawab Lidya mencoba ramah.
“Sebelumnya belum pernah saya memuji seorang wanita yang baru saya temui seperti saat ini.” Kata si hidung belang lagi. “Tapi anda benar-benar mempesona.”
“Terima kasih. Saya beruntung menjadi yang pertama yang pernah anda puji.” Jawab Lidya sedikit megeluarkan sarkasme, dia tidak tertarik dengan semua pujiannya tapi setidaknya dia masih cukup sopan. Lidya menarik nafas lega karena sepertinya orang ini tidak akan berbuat yang aneh-aneh di tengah keramaian.
“Saya tidak tahu apa yang merasuki diri saya, mudah-mudahan anda tidak tersinggung.” Kata pria itu lagi.
“Ah tidak.” Jawab Lidya pendek. “Saya tidak tersinggung.”
Lidya berusaha membenahi caranya duduk agar pria di sebelahnya tidak bisa menikmati pahanya yang putih mulus dengan bebas. Matanya masih terus mencari Pak Hasan. Kalau hanya digoda oleh laki-laki sudah jadi langganan bagi Lidya, yang membedakan kali ini adalah caranya berpakaian. Dengan busana yang ia kenakan, Lidya seakan seperti seorang pelacur yang sedang menunggu pelanggan. Memalukan sekali!
“Saya juga sangat menyukai pakaian yang anda kenakan, sangat modern dan seksi. Jujur saja saya sangat kagum dengan kecantikan anda. Apakah anda seorang model iklan atau bintang sinetron?” pria itu mulai berani melancarkan serangan.
“Bukan. Saya hanya seorang ibu rumah tangga biasa.”
Kata-kata ‘ibu rumah tangga’ membuat lelaki itu sedikit terkejut. Jarak mereka merenggang. Lidyapun akhirnya bisa menarik nafas lega. Tapi pria itu masih juga belum mau menyerah.
“Apa anda sedang menunggu suami anda?” tanya laki-laki itu.
“Tidak.” Kali ini Lidya menjawab jujur. “Suami saya sedang berada di luar kota. Saya bersama ayah mertua saya.”
Set dah, kenapa malah jujur banget, Bambaaang!?
Di saat genting, Lidya malah keceplosan mengatakan hal-hal jujur pada laki-laki ini, tapi memang Lidya mulai kebingungan mencari kata-kata karena ditelan oleh perasaan gelisah yang makin lama makin membuncah, dan pada akhirnya, dia mengatakan hal jujur di saat dia harus berbohong. Keringat si cantik mengalir deras. Laki-laki itu merasa kembali mendapatkan angin, dia merapat lagi, kali ini bahkan agak mendesak tubuh Lidya.
“Wah, kalau begitu suami anda adalah seorang pria yang sangat beruntung karena memiliki seorang istri yang cantik dan seksi yang juga sangat sayang pada mertua.” Katanya. “Saya selalu berharap istri saya berani mengenakan pakaian yang lebih membuat saya bergairah tapi dia selalu menolaknya.”
“Saya yakin istri anda punya alasan sendiri.” Jawab Lidya sambil menjauh.
Lidya tidak berani menatap mata laki-laki di sebelahnya, pria itu menatapnya nanar seperti ingin menjilat seluruh tubuh Lidya. Lidya ingin pergi, dia ingin cepat-cepat meninggalkan pria ini, dia takut sekali, tapi Lidya jauh lebih takut pada Pak Hasan sehingga dia tidak beranjak meninggalkan bangku.
“Tentunya kaki istri saya yang gemuk tidak bisa dibandingkan dengan keindahan kaki anda yang langsing. Suami anda benar-benar seorang laki-laki yang beruntung.” Kata pria itu lagi. “Sayang dia tidak mempedulikan anda dan pergi ke luar kota sendirian…”
“Dia sedang dinas keluar kota .”
“…mungkin saja. Tapi hari ini, di mall ini, pasti banyak orang yang mau meninggalkan istri mereka dan mengajak anda pulang ke rumah.”
Lidya mendengus, mulai deh. “Anda agak terlalu berani mengatakan hal itu.”
Pria itu tersenyum penuh percaya diri, tangannya perlahan mengelus lengan Lidya yang putih mulus, dia benar-benar yakin Lidya akan jatuh ke tangannya. Si cantik itu mulai jengah, kata-kata orang ini terdengar sopan dan terpelajar, sayang kelakuannya menjijikkan.
“Apakah anda termasuk pria tidak mempedulikan istri anda? Saya sudah menikah.” tanya Lidya menantang. Dia menepis tangan pria hidung belang tak dikenal yang mulai keterlaluan itu.
“Bagaimana pendapat anda? Apa anda mau saya ajak pulang?” tanya pria itu sambil cekikikan, wajahnya terlihat sangat nafsu dan menjijikkan. Dalam benaknya pasti sudah terbayang beribu macam cara menunggangi Lidya. Dia pasti sudah gatal ingin melesakkan batang kemaluannya dalam-dalam di liang rahim si cantik ini.
“Maaf sobat. Tapi nampaknya menantu saya tidak tertarik pada anda.” Sebuah suara menyelamatkan Lidya.
Pak Hasan sudah datang.
Beberapa hari ini Lidya merasa jijik dan marah pada mertuanya, baru kali ini dia merasa sangat lega Pak Hasan datang dan menyelamatkannya dari godaan seorang lelaki hidung belang. Lidya segera bangkit dan berlindung di balik tubuh Pak Hasan. Laki-laki itu tahu diri dan mundur teratur sambil memasang muka masam. Tapi dia masih sempat melirik ke arah Lidya dan menjilat bibirnya penuh nafsu.
Dasar hidung belang!
Pak Hasan memeluk pinggang menantunya dan mereka berjalan lagi menyusuri lorong-lorong mall. Karena sudah diselamatkan dari lelaki iseng dan terlindungi, Lidya diam saja saat tangan mertuanya itu nakal meraba dan meremas-remas pantatnya saat mereka berjalan bersama. Lidya seakan sudah tidak peduli seandainya ada orang yang saat itu menatap mereka.
Satu perasaan bangga memenuhi batin Pak Hasan. Seumur hidupnya, dia belum pernah memiliki suatu hal yang bisa dibanggakan. Kini, saat berjalan bersanding dengan seorang wanita yang masih muda, cantik dan seksi yang bisa ditunggangi setiap saat, banyak lelaki menatapnya iri. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Pak Hasan bisa memamerkan sesuatu yang membuat orang lain ingin menjadi dirinya. Pak Hasan benar-benar puas.
“Bagaimana rasanya, nduk?” bisik Pak Hasan di telinga Lidya.
Sekujur tubuh wanita jelita itu merinding karena bisikan Pak Hasan disertai pula dengan ciuman dan jilatan kecil di telinganya.
“Ra-rasanya apa, Pak?” Lidya menggelinjang geli.
“Bagaimana rasanya digoda laki-laki?”
“A-Aku tidak suka…”
Lidya tidak meneruskan kalimatnya karena sekali lagi Pak Hasan mengendus telinganya yang wangi. Ini bukan pertama kalinya Lidya digoda laki-laki iseng di tempat umum, walaupun terkesan sombong tapi memang dia sudah sering sekali digoda laki-laki hidung belang.
Sebenarnya Lidya benci sekali pria semacam itu, karena meskipun Lidya sudah mengenakan pakaian yang sopan, tidak seksi dan tidak menunjukkan lekuk tubuhnya yang indah, masih banyak yang mendekatinya dengan tidak sopan. Kali ini situasinya sedikit berbeda, karena Lidya jelas-jelas menggunakan pakaian seksi yang mengundang birahi, dia bagaikan seorang pelacur yang sedang menawarkan dagangan dengan mempertontonkan keindahan lekuk tubuhnya. Lidya meneruskan kalimatnya dengan lirih sambil memejamkan mata sesaat ketika lidah Pak Hasan nekat menjelajah daun telinganya di tengah keramaian mall.
“…tidak suka…”
Kamu tidak suka digoda?”
“Ti-tidak…”
Pak Hasan menyeringai jahat.
Telegram : @cerita_dewasaa
“Kamu kecewa, Mas?”
Dodit yang sedang merapikan bajunya terdiam membisu. Bagaimana dia harus menjawab pertanyaan Anissa itu? Jujur saja dia kecewa karena tidak bisa melampiaskan nafsu birahinya yang sedang memuncak, tapi di sisi lain, dia juga sangat bangga pada kekasihnya karena masih menjunjung tinggi nilai dan budaya timur yang kini sudah mulai luntur. Sangat jarang menemui gadis seperti Anissa.
“Kamu pasti kecewa ya, Mas?” Anissa mengulangi pertanyaannya.
Dodit tersenyum dan mengelus rambut tunangannya yang panjang dan indah dengan mesra. “Kenapa harus kecewa? Aku bangga sama kamu, sayang. Di jaman sekarang ini, susah sekali menemukan gadis yang masih memandang penting keperawanan seperti kamu. Aku bangga dan merasa terhormat akan menjadi yang pertama. Pernikahan kita sudah hampir tiba, jadi kenapa harus kecewa? Aku hanya perlu sabar dan menunggu sebentar lagi.”
Anissa tersenyum mendengar perkataan Dodit. Dia tidak tahu apakah Dodit berbohong untuk sekedar menenangkan dirinya atau benar-benar jujur, tapi Anissa yakin Dodit pria yang baik, dia bersedia menunggu sampai datang hari pernikahan mereka untuk bisa bersatu dengannya. Anissa tahu saat ini Dodit sudah sangat horny, tapi kemampuannya mengendalikan diri memang pantas diacungi jempol. Dia dengan bangga akan menyerahkan segalanya untuk Dodit di hari pernikahan mereka. Dia akan memberikan miliknya yang paling berharga, kegadisannya yang sudah dia jaga sejak kecil.
“Terima kasih, sayang,” kata Anissa sambil lembut mengecup pipi Dodit, “kau tahu seandainya kau teruskan, aku tidak akan bisa menolakmu karena aku sangat mencintaimu, tapi aku ingin malam pertama kita benar-benar menjadi malam pertama yang sangat berharga.”
Dodit tersenyum dan balas mengecup pipi Anissa, dia kembali terdiam dan membisu. Dodit memutar kunci dan menghidupkan mesin mobil.
Telegram : @cerita_dewasaa
“Pak, kenapa kita harus mencarinya? Dia menjijikkan! Dia menggodaku… dia… dia…” kata-kata Lidya patah-patah karena bingung mencari kata yang cocok. Dia kesulitan berjalan cepat sambil tetap mempertahankan pakaiannya agar tidak terbuka dengan vulgar, meskipun saat ini dia sudah seperti seorang pelacur hina.
“Itu sebabnya kita harus menemuinya! Bapak akan memberinya pelajaran berharga!”
Pak Hasan mencari-cari pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya. Setelah berkeliling dari lantai ke lantai, mereka menemukannya sedang duduk di sebuah restoran siap saji, dia segera menarik tangan Lidya dan menghampirinya. Lidya yang sudah berharap tidak akan bertemu lagi dengan orang itu menjadi sangat kecewa, bagaimana mungkin di mall sebesar dan seramai ini, Pak Hasan bisa menemukan orang itu lagi?
“Selamat siang, mas.” Kata Pak Hasan. Orang itu memang lebih muda dari Pak Hasan, dengan pandangan curiga dan ragu pria hidung belang yang tadi menggoda Lidya menatap ke arah Pak Hasan dan menantunya.
“Ya?” pria genit itu mengernyitkan dahi.
“Kenalkan, nama saya Hasan dan ini menantu saya, Lidya.” Kata Pak Hasan sambil mengajak pria mupeng itu bersalaman.
“Saya Nyoto.” Pria itu masih menjawab dengan pendek, tapi dia tidak melewatkan kesempatan untuk menjabat tangan Lidya dan mengelusnya sedikit. Pria itu terkekeh pelan menikmati halusnya tangan Lidya. Si cantik itu sendiri ingin mati rasanya.
“Saya lihat tadi Mas Nyoto tertarik dengan menantu saya, apa benar?”
“Kalau iya kenapa?” Nyoto menjilat lidahnya ke arah Lidya dengan sengaja, membuat Lidya makin jengah. Dia menarik-narik ujung baju Pak Hasan dan mengajaknya pergi, tapi rupanya mertuanya itu punya rencana lain.
“Yah, menantu saya ini rupanya juga sangat tertarik pada anda. Bahkan dia tadi mengatakan kalau seandainya diberikan kesempatan sebentar saja dia ingin merasakan kehangatan yang mungkin bisa anda berikan padanya. Berulang kali dia meminta untuk kembali dipertemukan dengan anda.” Kata Pak Hasan sambil melirik Lidya puas.
Lidya benar-benar ingin mati, dua pria ini pantas dibunuh. Seandainya bisa, dia ingin mengambil sebilah pisau dan menancapkannya di dada Pak Hasan dan Nyoto. Pria yang bernama asli Sunyoto itu bagaikan baru saja menjadi pemenang undian berhadiah, dia hampir-hampir melompat dari kursinya dan hendak memeluk Lidya. Tapi Pak Hasan menghentikannya.
“Tapi tentu saja, saya tidak bisa mengijinkan Mas Nyoto memakai menantu saya ini, karena biar bagaimanapun juga, dia masih menantu saya dan istri sah dari anak saya. Saya tidak akan mengijinkan siapapun juga menidurinya.” Kata Pak Hasan sambil menatap Nyoto galak.
Nyoto yang ternyata cukup pengecut kembali duduk ke kursinya. Pria genit itu menatap Pak Hasan heran. “Kalau tidak boleh dipakai, buat apa ditawarin?”
“Berhubung anak saya sedang keluar kota, menantu saya ini sangat kesepian. Bagaimana kalau Mas Nyoto bermain-main sebentar dengan buah dadanya? Seperti yang mas Nyoto lihat, Lidya tidak mengenakan BH dan ingin dibelai-belai sebentar di kamar kecil.” Kata Pak Hasan.
Perlahan Lidya meneteskan air mata. Dia sudah tidak mampu lagi berucap ataupun mengeluarkan protes. Penghinaan Pak Hasan sudah hampir membuatnya pingsan, dia sama sekali tidak mengira mertuanya itu akan menyerahkannya pada pria menjijikkan ini.
Nyoto melonjak lagi. “Berapa perlu saya bayar untuk melakukan itu?”
“Mas Nyoto hanya perlu membelikan makan siang untuk kami berdua.”
“Setuju.” Nyoto langsung mengangguk. Dia meraih dompet dan mengeluarkan lembaran ratusan ribu pada Pak Hasan. “Terserah kalian mau makan di mana.”
Dengan buru-buru Nyoto menggandeng lengan Lidya dan menariknya ke kamar kecil di ujung gang yang untungnya sedang sepi. Dia tidak peduli lagi dengan makan siangnya yang belum habis di restoran siap saji tadi. Dia lebih bernafsu menikmati buah dada Lidya. Pak Hasan tertawa sambil mengikuti mereka berdua dari belakang.
Nyoto tidak menunggu terlalu lama, saat berada di gang menuju kamar kecil yang sepi, dia segera menubruk Lidya. Dengan kasar dia membuka kancing baju kemeja Lidya dan tidak mempedulikan airmata yang menetes di pipi wanita cantik itu. Lidya benar-benar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali pasrah.
“Kamu pikir kamu bisa lolos dariku, yah?” kata Nyoto sambil terkekeh pada Lidya. “Untung sekali kamu punya mertua yang pengertian. Dasar sombong, rasakan sekarang pembalasanku!”
Dengan sekali sentak, kemeja Lidya terbuka lebar. Perempuan cantik itu menjerit lirih tak berdaya, tangisannya makin menjadi. Buah dada Lidya meloncat keluar tepat di hadapan Nyoto dan pentilnya yang menunjuk ke depan mempesona pria genit itu. Lidya kembali menjerit dan terisak saat Nyoto dengan kasar meremas buah dadanya dengan gemas dan memainkannya dengan nakal. Lidya bisa merasakan jari jemari Nyoto melingkari pentilnya dan perlahan memencetnya. Karena tubuh Lidya dan Nyoto berdempetan, Lidya bisa merasakan gumpalan kemaluan di selangkangan Nyoto makin lama makin membesar.
Cukup lama Nyoto meremas-remas buah dada Lidya dan mereguk kenikmatan darinya, sebelum ada orang yang melewati gang itu, akhirnya Pak Hasan menghentikan ulah cabul Nyoto pada menantunya. Nyoto mengangguk tanda mengerti dan menghentikan serangannya pada dada Lidya. Wanita cantik itu jatuh luruh ke lantai sambil terus menangis terisak-isak.
“Maaf, Mas. Waktunya habis.” Kata Pak Hasan.
“Wah… nanggung sekali, Pak. Saya belum menjilatinya, saya belum menikmati buah dada itu seutuhnya.” Nyoto ngos-ngosan menahan birahi yang sudah hampir memuncak. “Saya ingin lebih, saya ingin menidurinya.”
Nyoto meraih dompet dan bersiap mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu lagi. Pak Hasan tersenyum dan menggeleng. “Maaf sekali, tapi perjanjian adalah perjanjian. Dia masih menantu saya, Mas. Saya masih harus menghormati dia.”
Nyoto menunduk kesal, dengan setengah membentak, dia mendorong Pak Hasan. “Berapapun saya bayar, Pak! Berapapun!! Saya punya ATM, kartu kredit, semua buat Bapak! Saya hanya ingin memeknya! Saya ingin memek menantu bapak ini! Sekali saja!!”
Pak Hasan menyeringai marah dan balas mendorong Nyoto, di luar dugaan, ternyata Pak Hasan jauh lebih kuat dari pria yang sedang birahi ini. “Saya sudah katakan berulang-ulang, perjanjiannya hanya soal buah dada Lidya, bukan memeknya! Dia bukan pelacur!!”
Nyoto menunduk lagi. Akhirnya emosinya perlahan menyurut. Dengan langkah lemas dia meninggalkan Pak Hasan dan Lidya. Di luar dugaan, Pak Hasan mendatangi Lidya dan memeluknya mesra. Lidya memeluk Pak Hasan erat dan menangis sejadi-jadinya. Pak Hasan mengelus-elus rambut Lidya dan memberinya penghiburan. Walaupun merasa aneh, Lidya sedikit merasa terlindung ulah sikap Pak Hasan yang tiba-tiba baik ini.
Nyoto ternyata masih belum menyerah. Dia mengeluarkan kartu nama dari dalam dompetnya dan menaruhnya di lantai. “Seandainya bapak butuh uang dan berniat melakukan perjanjian lagi, silahkan hubungi saya. Kebetulan saya ada dana yang cukup lumayan, kalau misalnya berminat akan saya bayar berapapun asal bisa menikmati memek legitnya.”
Pak Hasan menatap Nyoto sambil meringis sadis. Dia mengambil kartu nama itu dengan terkekeh. “Yah, kita toh tidak tahu kapan butuh uang. Siapa tahu Lidya suatu saat nanti kangen pada Mas Nyoto.”
Lidya kaget dengan ucapan mertuanya dan mendorongnya menjauh. Pak Hasan dan Nyoto tertawa berbarengan.
“Kurang ajar! Kalian anggap apa saya ini? Barang dagangan? Pelacur murahan?” Lidya menjerit marah. Kesabarannya sudah habis. “Pak, saya ini menantumu! Istri dari anakmu! Teganya kamu melakukan ini semua?”
Plakk!!
Tamparan Pak Hasan mendarat di pipi Lidya. Bekas merah merona tertinggal di pipi mulus wanita cantik itu. Lidya kembali menangis sesunggukan, namun ia tahan agar tidak menimbulkan keributan.
“Jangan pernah bicara kurang ajar di depan kenalan baru!” bentak Pak Hasan. “Maafkan menantu saya, Mas Nyoto. Seandainya dia nanti merindukan remasan-remasan anda, pasti saya hubungi anda lagi. Jangan khawatir.”
“Baik, saya tunggu telpon anda.” Kata Nyoto sambil menyeringai puas. Sebelum pergi, pria genit itu mengerlingkan mata pada Lidya yang masih menangis.
Lidya menatap mertuanya ketakutan.
“Bersihkan wajahmu di kamar kecil. Benahi make-up-mu! Kuberi waktu sepuluh menit. Kalau selesai dalam sepuluh menit, kita pulang. Kalau tidak, akan aku cari orang lain lagi untuk meremas-remas susumu!”
Lidya segera lari ke kamar kecil dengan terburu-buru.
Telegram : @cerita_dewasaa
“Bang! Baksonya tiga ya, Bang!”
“Iya Bu!”
Akhir-akhir ini Paidi sering lewat di komplek rumah di sekitar pos kamling lokasi dia memergoki wanita cantik idamannya. Pagi siang malam Paidi berkeliling untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok bidadari yang kemarin lusa dia lihat. Wanita itu sangat cantik dan terlihat seperti wanita baik-baik. Paidi tidak habis pikir apa yang dilakukan wanita seperti itu malam-malam di pos kamling. Bisa dipastikan wanita cantik itu adalah warga komplek ini, itu sebabnya Paidi bersemangat mencarinya. Walaupun nanti kalau sudah bertemu, Paidi tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
Entah kenapa dalam hati kecilnya Paidi merasa dia harus mencari wanita itu. Kenapa ya?
Hari ini, Paidi kembali berusaha mendapatkan jawabannya. Kebetulan sekali ada tiga orang ibu-ibu komplek yang sedang ngerumpi dan membeli bakso dagangannya. Dengan hati-hati Paidi mendekati mereka dan berpura-pura memotong-motong sayuran, Paidi menguping pembicaraan ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol, siapa tahu ada informasi yang bisa dia simpan.
“Eh, Bu Syamsul, katanya Pak Bejo punya cewek simpanan baru lho.”
“Cewek simpanan? Pak Bejo yang gemuk itu? Pak Bejo Suharso? Masa sih, Bu? Siapa yang mau sama Pak Bejo? Istrinya aja nolak-nolak!”
Ibu-ibu itu tertawa.
“Bener kok, Bu. Ini gosip dari Bu Bejo sendiri. Katanya akhir-akhir ini Pak Bejo jadi lebih sering dandan dan lebih wangi. Dia jadi lebih memperhatikan diri. Kalau dulu boro-boro dia mau pakai minyak wangi, sikat gigi aja jarang!”
“Ah, Bu Tatang ini…”
“Kalau berita itu bener, saya jadi heran sendiri. Siapa sih wanita bodoh yang mau sama Pak Bejo? Meskipun di depan orang kelakuannya baik, tapi sebenarnya itu kedok karena di belakang dia punya perangai dan watak yang jelek! Busuknya kan sudah terkenal sampai kemana-mana! Kasihan istrinya.”
“Iya tuh, saya juga sering ngeri kalau melihat Pak Hendra dan Bu Hendra mempercayakan rumah dan anak pada Pak Bejo. Mungkin mereka satu-satunya warga yang tidak tahu seperti apa Pak Bejo sebenarnya.”
“Yah, kalau soal itu sih, awalnya juga tidak ada yang tahu, Bu Syamsul. Soalnya Bu Bejo kan orangnya baik banget! Suka menolong dan ramah. Bu Hendra juga baik, tidak pernah mencurigai orang dan sifatnya lemah lembut, jadi saya yakin keluarga Pak Hendra pasti mempercayai keluarga Pak Bejo.”
“Eh, jangan-jangan cewek simpenan Pak Bejo itu Bu Hendra yah?”
Ibu-ibu itu kembali tertawa.
“Ah, Bu Tatang ini ngaco terus! Mana mau Bu Hendra sama Pak Bejo! Suaminya saja cakep banget, belum lagi Pak Bejo itu gemuk, botak dan jelek! Buat apa Bu Hendra yang cantik dan seksi itu selingkuh sama Pak Bejo? Kalau beneran mau selingkuh kan dia bisa cari laki-laki lain yang lebih cakep? Ah ada-ada saja.”
“Bener, Bu Syamsul. Bu Hendra itu bener-bener tipe ibu rumah tangga idaman di komplek kita. Masih muda, cantik, seksi, setia, baik, ramah, sopan, udah gitu lemah lembut pula. Gak ada kurang-kurangnya. Suami saya aja sering diam-diam melirik nakal kalau sedang berpapasan di jalan dengan Bu Hendra.”
“Wah, suami saya juga, Bu Sani. Kalau sudah ketemu Bu Hendra, itu mata kayaknya nggak mau lepas-lepas! Dilalapnya sampai habis penampilan Bu Hendra dari atas ke bawah! Kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, bodinya yang aduhai, buah dadanya yang indah, wajahnya yang cantik, semua ditelan mentah-mentah. Dasar laki-laki, kalau sudah lihat yang b
ening lupa sama istri sendiri!”
Ibu-ibu itu tertawa lagi.
Paidi mengangguk-angguk sambil memainkan mangkok baksonya. Pria itu sepertinya mulai menemui titik terang.
Paidi mencatat informasi yang didapatkannya dari percakapan ibu-ibu itu dalam benaknya. Sepertinya ada seorang wanita yang sangat cantik dan seksi yang tinggal di komplek ini dan menjadi idola tidak saja bagi kaum pria tapi juga kaum wanita. Perempuan itu adalah istri dari seorang warga komplek yang bernama Hendra, apakah mungkin dia wanita yang dia lihat malam itu?
Paidi jelas berniat mencari tahu.
0 Komentar