TANTEKU PART 3

 

Esoknya aku ceritakan hal itu kepada Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan Tante yang duduk di pangkuanku, tapi? seseorang yang tak kukenal?. Kamu baru mengalami tadi malam?? Ya, tadi malam.? Telat banget. Aku sudah mengalami sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu.

"Itu namanya mimpi basah"

"Mimpi basah??"

"Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum pernah dengar??"

Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! 

"Rupanya kamu badan aja yang gede, pikiran masih anak-anak.?"

Ah biar saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah itu toh aku sudah? menghayati? wanita sebagai orang dewasa! 

"Kamu punya pacar??"

"Engga."

"Atau pernah pacaran??"

"Engga juga.

"Pantesan telat kalau begitu. Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi semangat."

"Kalau pacaran ngapain aja sih??" Tanyaku lugu. Memang betul aku belum tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu. 

"Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil."

Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku membayangkan.

Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. 

"Hamil?"Pelajaran baru nih. 

"Ada juga yang sampai gitu, tapi engga hamil."

"Engga tahu aku caranya gimana." 

"Gitu gimana?" 

"Kamu betul-betul engga tahu??" Lalu ia cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat ini.

Kelamin lelaki masuk ke kelamin wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari kelaminku semalam adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini bisa masuk ke lubang pipis wanita? Sebesar apa lubangnya, dan di mana? Yang pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada belahan kecil di ujung bawahnya.

Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana bentuknya ya? Mungkin segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman dan raba-raba saja.

Dalam perjalanan pulang aku membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu menyelusup dan sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit tonjolan, tak ada.

Pegangan? kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani. Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju Ani aku mulai tegang. Kususupkan empat jariku ke balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak tanganku tak cukup buat menampung dada Ani.

Aku berhenti, menunggu lampu penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani telah berubah menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum, bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin

Aku kembali ke dunia nyata. Masuk melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu

Tante membaca sambil tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak.

Hampir lengkap aku mempelajari tubuh Tanteku ini. Wajah dan komponen nya mata, alis, hidung, pipi, bibir, semuanya indah yang menghasilkan: cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus. Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional, dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang

Pinggang, begitu sempit dan perut yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa.




Keesokkan harinya, siang-siang, Dito memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.






“Nih, buat kamu”


“Apa nih?”


“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah, Hati-hati” Aku makin penasaran.” Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar asyik” bisiknya.






Sampai di rumah aku berniat langsung masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet, kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih.




“Suguhan” yang nikmat sebenarnya, tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat. Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya. Wow, gambar wanita bule telanjang bulat! Sepertinya ini lembaran tengah suatu majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh.




Wanita bule berrambut coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras. Buah dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda. Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu.




Di bawah perut itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini? Sebelah kaki cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya begitu “rumit”. Ada daging berlipat di kanan kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka sedikit.




Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup? Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran nakalku kambuh: begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama susahnya untuk mendapatkan jawaban.




Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si Mar pembantu itu bisa memberikan” jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia selalu patuh pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku minta membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan ramah. Tidak terlalu jelek, tapi bersih.




Kalau sudah dandan sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap sewaktu ngepel, bersih juga.




Yang jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung begitu, pacari saja dulu. Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara memulainya?




Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar. Mungkin ia setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai ketahuan oleh siapapun.






“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil pura-pura sibuk membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai bersih-bersih. Tanganku terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus. Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain. Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu.


“Kenapa, Mas” Kaget aku.


“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap hari ngepel”


“Mula-mula sih capek, lama-lama biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.


“Udah berapa lama mbak kerja di sini?”


“Udah dari kecil saya di sini, udah 5 tahun”


“Betah?”


“Betah dong, Ibu baik sekali, engga pernah marah. Mas dari mana sih asalnya?” Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan asal-usulku.


“Oo, engga jauh dong dari desaku. Saya dari Cilacap”




Pekerjaannya selesai. Ketika hendak keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.




“Tumben.” Katanya sambil tertawa kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.






***






“Mana, yang kemarin?” Dito meminta gambar cewe itu.


“Lho, katanya buat aku”


“Jangan dong, itu aku koleksi. Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”


“Besok deh, kubawa”






Sampai di rumah Si Luki sedang main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain dengan anak Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan dengan Tante, jauh. Orangnya pendiam, kurang menarik. Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia mau memperlihatkan miliknya.




Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli, Mar, atau Tinah asal itu kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang” yang satu itu. Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku “berhasil” melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik.






“Mau makan sekarang, Mas?”


“Entar aja lah”


“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”


“Tante mana mbak?”


“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu, jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika aku selesai ganti pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar lebih jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar sajalah, toh masih banyak kesempatan.


“Masak apa hari ini?” Aku berbasa-basi.


“Ada ayam panggang, oseng-oseng tahu, sayur lodeh, pilih aja”


“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa renyah. Lumayan buat kata pembukaan.


“Sini aku bantu”


“Ah, engga usah” Tapi ia tak melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya menonjol ke belakang walau pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan lagi membantu dia. Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya sih padat, aku tak yakin, cuma nyenggol sih.


“Iih, Mas To genit, ah” katanya, tapi tidak memprotes.


“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang aku yakin, pantatnya memang padat.


“Ah, biasa saja kok”






Akupun berlanjut, kutempelkan badan depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya yang padat, walaupun terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan kerasnya punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk perutnya. Tapi ditepisnya tanganku.






“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu sana!”


“Iya deh makan dulu, habis makan terus gimana?”


“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun penasaran karena aksiku terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak menolak kuganggu. Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan dengan aksi-aksi selanjutnya!




Kembali aku menunda sarapanku untuk “aksi selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi. Amboi.. dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat padat. Kemudian Si Marpun meronta.






“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan sambil melirik ke pintu. Aku melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar dulu, masih banyak kesempatan.


“Terima kasih” kataku waktu ia melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya tetap cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju!

Posting Komentar

0 Komentar