Kubuka mataku. Tubuhnya berat menghimpitku. Bingung. Mengingat. Sadar. Aku tersenyum.
“Inah…” Aku memanggilnya pelan. Tak ada gerakkan.
Si jago terkulai lemas, ujungnya masih terhimpit bibir lembab-basah.
Kuurai, kuelus dan kurapikan rambutnya yang acak-acakan. Kuusap-usap lembut punggungnya.
Anjrrriiit… aing jadi romantis kieu.
Aku mengingat kembali perjalanan nikmatku. Geli atas kekonyolanku yang terburu nafsu, menyeringai mengingat kenikmatan yang masih terbayang. Perempuan ini sangat binal di ranjang. Apa pengaruh ramuan atau memang bawaannya ya?
Ingatan akan rasa nikmat membuat si jago bergerak, mulai ngaceng lagi. Mendongak di antara geli-lebat bulu memeknya.
“Mmmmh…” Bu Inah melenguh dan terbangun. Kuremas-remas pantatnya.
Ia mengangkat wajahnya. Aaah… cantiknya wanita setengah baya di saat baru bangun tidur. Kucium ujung dagunya, lalu kami berciuman lembut.
“Ibu enak banget.. belum pernah sepuas ini..” Sambil melepas ciuman kami.
“Kok ibu?”
“Iyah… Inah enak banget, sayang.”
“Kamu binal, Nah.”
“Gara-gara kamu… dasar penjantan liar…” Duh ibu-ibu kalo merengut sangat menggemaskan. Kulumat bibirnya. Lembut.. makin dalam… panas… ganas….
“Sssssshhhh… mmmh….” Bersamaan.
Aku ingin ronde kedua. Ia juga. Kami berpacu, kali ini lebih pelan dan penuh perasaan.
Aku berbaring, ia menggoyang. Ia terbaring, aku memompa. Ia nungging, aku menggenjot. Pinter juga nih si Inah.
Bersamaan kokok ayam, kami kembali terkulai-basah-keringat.
“Jaka sayang…”
“Hmmm…”
“Inah tidak pernah seenak ini… hiks…hiks…”
“Enak kok malah nangis, sayang?” Kuusap air matanya.
“Takut… Inah ketagihan… kontolmu panjang…”
Cup. Kucium kedua matanya, lalu bibirnya.
“Aku juga puas banget, Inah sayang.” Aku menjawab. “Aku mau begini terus denganmu.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Janji?”
“Janji.”
Muaaach… pipiku diciumnya.
“Tapi ada syaratnya.” Aku mengerling.
“Heeh? Apah…?” Ia memandangku manja.
“Selain dengan Pak RT, Inah gak boleh tidur dengan lelaki lain.”
“Iyah…”
“Termasuk…”
“Iiih… apa lagi?”
“Termasuk.. gak boleh lagi dengan… Mang Oyeh.”
Mukanya berubah. Matanya terbuka dan mulutnya menganga.
Kaget. Panik. Takut. Hahaha… puas ngeliatnya.
“Ka.. ka..mu… bagaimana bisa ta…”
“Ssstttt… sudah gak usah dibahas, aku sayang Inah.” Aku menggombal.
Hiks…hiks… Hadeuh malah nangis lagi.
Setelah bisa menguasai diri dan menghentikan tangisnya, kami ngobrol sambil perpelukan. Dan ia janji tidak akan melayani mang Oyes lagi. Ia juga berjanji:
“Inah janji akan bilang ke bapak untuk…”
“Bukan janji, sayang, tapi harus maksa!!”
“Iiiih.. iyah..iyah. Kamu galak banget sih, sayang. Tapi Inah suka.. Kamu jantan.”
“Pejantan.”
“Iiiih…” Ia mengecup pundakku mesra.
Fiuuuh… Misi berhasil. Ia berjanji untuk mempengaruhi dan memaksa suaminya untuk tidak menjual kopi ke kakak iparnya Inah.
“Inah…”
“Hmmmm?”
“Pokoknya kalo lagi berdua gak boleh pake embel-embel ‘ibu’!”
“Iiiih kamu mah. Iyah.. iyah.. ini kan dari tadi juga Inah gak bilang kata ‘ibu’”.
Haaaap… kami pun saling melumat dan menjemput fajar dengan ronde ketiga. Sampai kami tertidur kembali.
“Sayaaaang!!!” Aku terbangun mendengar teriaknya.
“Heeeh?” Aku terbangun kaget. Ia sudah beranjak dan meraih pakaiannya. Sinar matahari sudah masuk melalui lubang-lubang bilik.
“Inah kesiangan… belum masak untuk ibu-ibu di sawah.”
Aku cuma nyengir dan tidur lagi.
“Iiih sayang. Bangun… Sebentar lagi bapak dan Ratna pulang.”
Aaah… ganggu aja. Aku segera bangun dan berpakaian.
Aku pulang sambil membawa sepiring nasi-dingin-kemarin dan sebungkus pepes ikan. Bukan untuk sarapan… hanya mengelabui tetangga kalau-kalau ada yang lihat atau berpapasan di jalan.
Aing Jaka. Selalu punya akal.
POV: Ardan
(Di malam yang sama)
Wajahnya anggun.. senyumnya selalu bersemu malu… ah aku suka banget.
Senja ini ia memakai daster selutut, kain batik merah melingkar di lehernya, menjuntai menutupi sebagian dadanya. Namun tetap tak mampu menutupi busungan payudaranya.
“Bi…” Ia memandangku. Masih saja malu-malu.
“Bibi cantik banget… aku makin suka.”
“Ah, kamu… Kan bibi jadi malu.” Sambil mengibaskan rambutnya.
Duh… ibu-ibu kalau bersikap seperti ABG nampak sangat menggemaskan.
Aku merangkak dan duduk si sampingnya.
Kutarik tangan kirinya melalui belakang tubuhku dan kulingkarkan ke perutku. Sementara tangan kananku meraih bahunya supaya bersandar di bahuku. Kami berpelukan sambil bersila di lantai kayu rumahnya.
Kami saling diam. Hanya remasan-remasan kecil yang kami lakukan.
“Bi.. aku masih keingetan yang di sungai… aku gak bisa melupakannya dan tubuh bibi selalu terbayang.” Kataku.
“Sama, bibi juga.” Singkat.
“Bibi suka?”
“Iya.”
“Iiih.. kok singkat-singkat jawabnya?” Sambil mencium bagian atas kepalanya.
“Bibi malu, Ar.”
“Kok malu? Kan kita udah saling lihat. Saling raba malah.”
“Iiiih… kamu mesum.” Ia mencubit pinggangku. “Bukan itu. Bibi malu karena udah tua.. tapi…”
“Tapi apa?”
“Bibi ketagihan.” Nyaris tak kedengaran. “Makanya bibi malu ama umur.” Ia melanjutkan, kali ini terdengar jelas.
Kuangkat dagunya sehingga ia mendongak.
"Aku gak peduli umur bibi berapa. Bagiku ibu cantik.. pake pisan.” Mukanya memerah tanpa melepaskan pandangan kami.
Cuuppp. Muaaaach. Kucium bibir tipisnya.
Mmmmhhh…. kami mendesah halus.
Kuremas susunya dari luar kain.
Mmmhhhh.. Ssshhh.. Ia mendesis. Tubuhnya sedikit menggelinjang.
Lalu ia menepis tanganku dan melepas ciuman. Aku memandangnya heran. Nanggung banget, padahal si jago udah mulai bangun.
“Ibu takut kepergok. Mertua bibi dan anak-anak bu Sari ada di rumah” (maksudnya tetangga yang mengapit rumahnya). Aku mengerti. Ia takut persetubuhan kami terdengar dan ketauan tetangga, apalagi rumahnya cukup berdempetan.
Tik tok tik tok.
“Kita ke sawah.”
“Heh?? Ngapain??” Ia bangkit dari tubuhku dan memandang heran.
“Main di sana.” Aku mengerling.
“Gelo… kamu mah gelo, Ar. Dingin atuh…”
“Kan biar gak ada yang bisa mendengar. Kita ke sawa kidul (selatan) aja, kan saung sawahku ada biliknya.”
Ia tampak berpikir. Hmmmf… Kulumat bibirnya… Ia meronta tapi tetap kulumat… plop..
“Hah…hah… kamu maaaah… Iyah bibi mau.” Mukanya kembali merah.
"Kitu atuh , baru namanya kekasih Ardan.”
Tangannya mau mencubit, tapi aku gesit menangkapnya dan mencium punggung tangannya.
Ia masuk kamar untuk memakai celana panjang tanpa melepas dasternya.
Tanpa mengunci pintu kami berjalan beriringan. Hari belum terlalu gelap.
"Bade ka mana, yah?” (Mau ke mana, Yah?). Nenek Sumi, mertuanya, menyapa. Tampak ia baru saja mengambil jemuran yang lupa diangkat sejak sore.
"Bade ke tampian, mak, mules." (Mau ke tampian, mak, sakit perut). Jawabnya, aku hanya diam. Dan bersikap seolah kami hanya kebetulan bertemu di jalan.
Nek Sumi pun masuk ke dalam rumah, dan kami melanjutkan perjalanan.
“Bi…”.
“Huuuf…hmmmff…”
Aku menarik tubuhnya dan berlindung di balik rumpun pisang.
Kubekap mulutnya yang hampir teriak karena kaget.
Aku menunjuk ke seberang kebun. Sambil melepaskan bekapanku.
Tampak Jaka sedang berjalan tergesa sambil menenteng piring. Entah mau ke mana.
Setelah dia menghilang kami pun melanjutkan perjalanan.
Kami jalan kaki menuruni kebun tangkil milik bu Euis, lalu berbelok menyusuri ladang palawija milik Abah Barja. Aku masih belum menyalakan senterku untuk berjaga-jaga sehingga beberapa kali harus tersandung. Aku baru menyalakannya setelah keluar kampung.
Kami sampai di ujung turunan, lalu menyusuri parit di atas bentangan sawah. Berbelok turun, lalu menyusuri pematang sawah. Nampak rambutnya tergerai karena terpaan angin, dan pinggulnya bergoyang membuatku terangsang kembali.
Kami sampai di ujung pematang lalu berbelok menuju saung. Ia langsung masuk, sementara aku mengamati suasana sesaat. Setelah dirasa aman aku masuk dan meraih tikar yang menggantung di bawah atap lalu kubentangkan di atas bale-bale.
Kutata kayu bakar lalu kusulut dengan memakai baralak (daun kelapa kering). Kami tak perlu takut karena di musim begini tidak akan ada yang datang ke sawah malam-malam. Apalagi sebagian besar warga sedang kondangan dan nonton pertunjukkan wayang golek di Ewer. Api pun menyala dan asap mengepul, menghentikan suara jangkrik di kolong bale-bale.
Setelah perapian cukup menyala dan mengeluarkan bara, aku berbalik ke arah bale-bale. Nampak ia sedang mengamatiku dengan mengatupkan kedua tangannya di depan mulutnya. Wow.. celana panjangnya sudah dilepas dan tinggal mengenakan daster.
Sambil berbagi senyum aku menghampiri dan memeluknya. Kami berciuman. Tanganku meremas punggungnya. Ciuman kami cukup lama dan panas, menumpahkan gairah yang sudah ditahan sejak di rumah.
Kutarik tubuhnya dan kami berdiri. Kami melucuti pakaian kami masing-masing, tanpa sisa. Kami bugil. Tak terasa lagi dingin; yang ada malah gairah panas melihat tubuh polosnya.
Kubantu membaringkannya dengan kaki tetap menjuntai, payudaranya terasa empuk dan putingnya yang menegang menggelitik dadaku. Kami berciuman dengan tubuh melekat dan kemaluan saling menggesek.
“Ah sayaaang…” Ia mendesah.
Kuhentikan cumbuanku sejenak. Wajahnya yang sedang bernafsu sungguh sangat kusukai.
“Bibi sayang…”
“Sssh…sssh… iyah?”
“Aku panggil bibi ajah yah. Aku lebih suka memanggil dengan ‘bibi’ karena mengingatkanku kalau aku sedang bercinta dengan perempuan setengah baya. Aku lebih bergairah memikirkannya.”
“Terserah kamu aja sayang… ayo cepaaat… bibi udah gak tahan.”
Haaaap. Kami berciuman kembali. Lidah kami langsung membelit dan menggelitik, air liur pun saling terbagi. Kuremas kedua payudaranya, membuatnya makin gelisah. Putingnya yang sangat keras kugosok dengan telapak tangan, sementara jariku-jariku tetap meremas.
Kukilikitik kedua telinganya bergantian dengan lidahku. “Aaaaarghhh… sayaaang… oh… geli aaah…” Ia mendesah sambil meraih kontolku dan mengocoknya. Kuturun ke lehernya dan kujilati.
Tak tahan, kucaplok pucuk payudaranya. Kukecup dan kuemut, yang satunya kuremas. Begitu seterusnya bergantian… Genggamannya pun terlepas dari kontolku, beralih mencengkeram punggungku. Lalu aku menciumi perut dan pusarnya, lidahku menjalar di sana. Kedua tanganku tetap meremas payudaranya.
“Aaaah… Arda sayang… uuuh… bibi enak… memek bibi gatel…” Ia sudah meracau; racauan inilah yang kutunggu karena membuatku semakin bergairah.
“Bibi binal…” Aku menggeram di sela lumatanku.
“Kamu… ahhh… kamu sayang… bibi binal karena kamu…. uh enak…”
Kulebarkan kedua pahanya, lalu kusibak jembutnya yang lebat. Aku hanya bisa melihat samar merahnya karena posisiku yang membelakangi perapian. Bau khas yang tak pernah bisa kujelaskan hinggap di hidungku, membuat gairahku makin tinggi. Aku makin birahi.
Kuusap-usap cairan basahnya, lalu kuoleskan ke itilnya.
“Aaaaah…” Ia memekik tertahan. Rambutku di jambak. Kumainkan terus itilnya yang makin tegang. Aku jadi penasaran… aku ingin merasakannya… mungkin karena dorongan naluri… kujulurkan lidahku dan kujilat-jilat itilnya.
“Sayaaang… kamu nga…nga…pain? Uuuuh….”
Badannya terangkat setengah duduk melihat aksiku. “Iiiih… jo..rok… tapi aaah.. enak sayang… uuh… aaaah….”. Aku tetap asik. Aku suka… rasanya asin-gurih gimanaa gitu.
"Ahh.. ampun.... udah... heup.. ar.. oh say... aing bucaaaat.” Tubuhnya kejang-kejang, Seeeerrr… cuuur… ada cairan putih yang keluar. Banyak sekali. Aku penasaran. Tapi pas mau kujilat rambutku dijambak kuat sampai terasa sakit. Aku ditariknya ke atas.
Aku terpaku di atas tubuhnya. Melongo. Ia berkejat-kejat cukup lama. Lalu terkulai lemas. Wajah dan lehernya basah oleh keringat. Aku jadi bingung… Si jago sudah ngaceng maksimal, tapi aku bingung. Apakah sekarang? Duh.. nanggung banget… Kubersihkan keringatnya dan ia membuka mata. Sangat sayu.
“Bibi enak banget sayang… shhh… be belum pernah kayak gini.” Akhirnya. Kutempelkan si jago di memeknya dan kugesek pelan.
“Uuuuh… bentar dulu. Bibi ngilu.”
Kucium bibirnya, ia membalas lemah. Kuemut.. emut… sungguh sangat lembut rasanya. Kugesek-gesekkan lidahku. Kuusap-usap kembali kedua susunya… terasa putingnya sedikit demi sedikit menegang. Ia kembali mendesah.
“Bentar sayang. Uuuh…”
Aku mengangkat tubuhku, lalu ia mengatur posisinya. Ia beringsut lalu menekuk kedua lututnya, pahanya dilebarkan. Sangat menggairahkan. Lalu aku naik ke atas bale-bale dan mengarahkan si jago dengan bantuan tangannya. Kepala si jago ngilu ketika ia mengusap-usapkan di sepanjang bibir memeknya beberapa kali.
Kurasakan ujung si jago menyentuh lubang sempit dan kenyal. Lalu kutekan pelan…
“Aaah…” Kami mendesah bersamaan.
Sleeeep…
“Grrrhggghh..” Aku menggeram menahan nikmat.
Sementara ia meracau jorok.
Slep.. slepp… sleeep… Bleeesss…. Si jago amblas sampai pintu rahimnya.
Lalu mulai kupompa penisku dengan tempo cepat.
Aaah… uuuh… mhhh… memek… kontol…
anjrriiit… gggrrrhhhh… iiih…. ssssttth… aaahhhh
Kami meracau berirama dengan nada yang berbeda.
Lalu iya melingkarkan kedua kakinya di pinggangku, memeknya terasa makin menjepit.
Nikmat-ngilu kurasakan. Keringatku bercucuran.
“Aaaaaah… sayang…. uuuhh…” hampir ia memekik menjemput puncak.
“Iyah sayang.. hayoooo…” Aku mempercepat kocokanku.
Aaaaah… kami berpacu menuju puncak.
Srrrrr… crot crot… croooot… Kami mengejang bersamaan.
Tubuhku ambruk di atas tubuhnya yang lemas tersengal.
“—————“
Setelah lama terbuai nikmat, kami beringsut bersamaan.
Namun ketika aku hendak mencabut si jago, ia menahannya.
Kami berpandangan.. lalu kucium keningnya.
Ia meraih kain lalu ditutupkan ke atas tubuh kami alakadarnya. Kami terus bertatapan lama tanpa bicara.
“Tubuh bibi enak banget, sayang.” Aku memecah keheningan.
“Kamu juga liar… mmhhh… bibi ketagihan kamu, sayang.”
Cuuuup.
“Berarti waktu di sungai kamu masih perjaka?”
Aku mengangguk.
“Yakin?”
Cuuuup. Kicium bibirnya sebagai jawaban.
“Kok tadi cium-cium memek bibi. Belajar dari mana? Enak banget… seumur-umur baru tadi bibi bisa bucat sebelum digenjot.”
“Gak tahu sayang… tadi penasaran ajah… eh enak… jadi keterusan deh.” Aku nyengir.
Hmmmffff… ia memelukku.
Plooop… si junior lepas karena sudah terkulai. Disusul cairan yang mengalir dari memeknya.
Kami sedikit mendesah bersamaan.
Aku berguling ke samping, lalu ia membaringkan kepalanya di dadaku. Kututupkan kain di atas punggungnya. Cuaca mulai terasa dingin karena api sudah padam dan hanya meninggalkan baranya saja.
“Bibi, sayangku.”
“Hmmm…”
“Kalau dengan mamang, bibi juga bisa puas.”
“Iiih… kamu mah… bibi kan jadi keingetan… aaah… merusak suasana ajah.”
“Heeh?”
“Iya jadi ingat kalo bibi selingkuh.”
Kami pun cekikikan.
“Nggak, kalo ama mamang mah bibi jarang puas. Tidak pake pemanasan.”
Hidungku mengembang mendengarnya.
Malam ini kami bersetubuh sekali lagi. Sama liarnya, namun si jago sudah tak lagi muncrat sebanyak tadi.
Di tengah kepuasan, ia berjanji untuk membantu usaha kopi kami, ia akan memaksa suaminya supaya bekerja sebagai buruh angkut pada kami, daripada orang lain. Aku mencium dan memeluknya erat.
Sebelum subuh kami sudah menembus dingin menuju ke rumah. Aku mengantarnya sampai ujung jalan… berciuman sebentar sambil membuat janji untuk ketemuan lagi. Ah… Bi Iyah aku padamu.
0 Komentar