BAB III ( Gak Guna, Gak Ngaruh, Gak Ngefek )
Suatu malam di rumahku
Aku masih duduk terpaku menatap layar kaca, menonton film bersama Shina. Entah apa yang membuatku menonton film selarut ini bersama Shina, sejak pulang dari rumah Ica. Mungkin saja aku sedang.....
" Cieeee yang lagi bambang " ledek Shina
" Bimbang bodoh " ucapku kesal. Ah benar aku sedang bimbang, dan Shina dapat memahamiku bahkan saat dia sedang berteriak menyaksikan adegan demi adegan dalam film.
" Lagi pula apa sih yang dibimbangin, kalau dia cerai dengan suaminya, apa kamu ingin mendapatkan bekas. Air mineral yang dijual 3000an aja ada bacaannya jangan diterima bila segelnya rusak. Apalagi seorang wanita yang akan mendampingi sisa hidupmu, masa kamu mau sama yang segelnya rusak " ucapnya.
" Bukannya kamu yang awalnya menyuruhku mencoba mendekatinya waktu direstoran " ucapku mencoba menyalahkannya.
" Kamu tuh ya selalu menyalahkan aku untuk hal ini, saat itu kan aku belum tahu statusnya, sebenarnya kamu tuh bodoh banget " ucapnya.
" Aku lulus S1 " sahutku datar.
" Mungkin kalau ada pelajaran yang bernama kehidupan, dan kamu diberikan 10 soal, aku gak yakin kamu bisa menyelesaikan semuanya, bahkan 100 % aku yakin kamu akan salah 11 " ucapnya seraya memandangku.
" Kamu tahu apa kesalahan kesebelasmu ? " tanyanya dengan sorot mata yang sangat menusuk pandanganku. Dan aku hanya menggelengkan kepala saja.
" Kamu salah menulis kolom nama " ucapnya, aku hanya diam mematung coba meresapi perkataannya yang sulit kupahami. " kolom nama dalam pelajaran kehidupan adalah jati diri, dan kamu telah salah menulis jati dirimu di kehidupan ini, kamu salah bersikap dalam memaknai apa yang sekarang kamu alami " ucapnya kembali seraya menunjuk-nunjukkan telunjuk lentiknya kearah keningku, walaupun jarinya itu menembus keningku tapi aku reflek berusaha menghindari jarinya.
Jati diri, ya sepertinya aku kehilangan jati diri sejak Via memutuskan berpisah denganku. Dan tadi sore aku salah bersikap saat bertemu kembali dengan Ica. Aku terdiam untuk beberapa saat, sedangkan Shina kembali melanjutkan film yang sudah terlewatkan beberapa menit. Aku tatap wajah Shina yang serius dengan tontonannya, seorang yang terkenal, ah tidak maksudku roh dari seorang yang terkenal sekarang sedang berada di sampingku. Andai dia bukanlah sosok yang terkenal, dan juga bukan sosok bayangan, mungkin saja saat ini dialah yang akan kudekati. Tapi jika itu terjadi, bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengannya.
Hidup ini dipenuhi dengan kebetulan, ah tidak maksudku takdir yang dibuat sedemikian rupa oleh Tuhan hingga menyerupai suatu kebetulan. Ya kebetulan saja ponsel jadul Via bisa diperbaiki setelah jatuh dari lantai 5 kantornya, padahal orang yang menservis ponselnya sangat pesimis jika itu bisa diperbaiki. Dan hampir-hampir saja aku belikan dia ponsel yang baru pengganti jika ponsel jadulnya tak dapat diperbaiki. Tapi karna kebetulan itu ponselnya membunyikan pengingat akan janjinya kepada kekasihnya dahulu, janji 8 tahun yang mungkin tidak semua orang dapat menepatinya.
Dan takdir yang diserupai kebetulan lainnya ialah bertemu dengan gadis bayangan di rumah sakit. Andai saat itu aku tidak latah untuk menengok dua sosok yang sama, tidak mungkin Shina mengejarku karna rasa herannya. Dan kini sosok astral itu telah berteriak, pecicilan bergerak kesana kemari menonton film di rumahku, membuat tv LED 42 inch-ku harus bekerja 24 jam nonstop dalam sehari.
Oh iya, untuk Ica, entah takdir yang bagaimana yang akan aku alami bersamanya. Tapi satu yang jelas, kecupan serta kuluman lidahnya masih terasa lembut membekas di kedua bibir serta rongga mulutku.
********************************************
Satu bulan lebih aku bertemu dengan sosok bayangan, seorang wanita cantik yang Cuma aku yang bisa melihat dan mendengarnya. Sosok yang membuatku terlihat gila di depan orang yang pernah memergokiku berbicara dengannya. Dan aku jadi semakin akrab dengan gadis gentayangan itu, dia mulai menceritakan tentang kehidupannya menjadi pianis ternama. Ternyata kehidupan seorang seniman terkemuka itu, tidaklah seenak yang aku bayangkan. Dia bercerita bagaimana rasanya dikejar date line oleh label yang menaunginya, agar segera merilis album. Lalu jadwal padat yang membuat dia harus menahan rasa sakit di badan.
" Seni itu bebas, dan aku ini seorang seniman bukan mesin " teriaknya mengungkapkan semua kekesalan kepada manajemennya.
" Tapi sekarang, setelah rohku keluar dari jasadku. Aku merasa senang, tak perlu takut lagi hujan, lapar, haus, sakit, dan dikejar yang namanya jadwal. Jika aku ingin nonton tinggal aku minta kamu untuk menyetelkan film, atau bisa saja aku ke Cibubur junction untuk nonton bioskop jika nonton di tv sudah terlalu mainstream " ucapnya dengan nada ceria.
" Jadi apa kamu mau seperti ini terus, seishin ? " tanyaku. Dia langsung tertunduk lemas, menyadari bahwa gak selamanya dia bisa seperti ini terus. Matanya yang tadi indah berbinar terang, kini jadi sayu dan redup.
" Aku selalu berdoa kok pada Tuhan, setiap malam saat bintang jatuh. Seandainya aku masih diberi kesempatan untuk menggerakkan jasadku, semoga cepat ragaku disadarkan. Dan jika sudah tidak ada kesempatan itu, semoga cepat roh ini ditarik kelangit, hingga jantung di jasadku berhenti " jawabnya lirih.
" Paling tidak, sebelum rohku ditarik kelangit. Aku pengen orang-orang yang berarti dihidupku dapat berkomunikasi denganku " lanjutnya kembali, suara lirihnya semakin menyayat telingaku yang mendengarkan.
" Aku udah cari beberapa artikel tentang cara roh berkomunikasi dengan manusia. Aku coba pelajari dulu baru setelah aku lumayan paham, kita praktekan " ucapku menodongkan wajahku ke wajahnya, coba menyunggingkan senyumku agar menular ke Shina. Dan sesuai rencanaku, binar matanya kini kembali terang, wajahnya kembali berseri menatapku dengan penuh harapan. Yah walaupun aku gak yakin dengan teori-teori yang aku dapatkan dari internet mengenai roh, tapi paling gak itu dapat memberinya kekuatan senyum.
" Gitu donk senyum, kan jadi keliatan cantiknya. Kata ibuku jika kita lagi bersedih, tersenyumlah dan jika senyum itu tak dapat menghilangkan sedih maka tertawalah walau tidak ada yang lucu" ucapku seraya menyeruput jus jeruk dingin lalu tersenyum manis menatap binar indah matanya yang mulai terang
" Lalu kenapa kamu selalu murung sejak cintamu kandas di rerumputan, eh gak deh tapi kandas di dedaunan kering " ejeknya mengerlingkan alis kirinya dan menatapku dengan penuh kemenangan.
" Hahahahahahha " kutertawa sejadi-jadinya coba membenarkan perkataanku baru saja, sampai jus yang masih ada dimulutku keluar sebagian. Sialan kenapa aku jadi yang kena ejek olehnya. Shina pun tertawa kecil, bahunya terlihat gemetar menahan tawa yang sebenarnya tak kalah besar dengan tawaku.
************************************************
Sudah satu bulan pula sejak aku bertemu kembali dengan Ica, dan sampai saat ini dia belum, atau tidak menghubungiku. Mungkin saja dia sudah berdamai dengan suaminya, atau bahkan cerai dan pergi jauh dari kota ini untuk menenangkan diri, tapi gak mungkin jika cerai, karna mengurus perceraian gak semudah mengurus pernikahan. Ah kenapa aku jadi sok tahu begini, menikah saja belum sudah berpendapat tentang percerain.
Syukurlah, walaupun ada sedikit rasa kecewa karna hanya sebatas saat itu nostalgia kami. Oke sekarang arus itu telah berhenti tanpa aku berusaha menarik tubuhku, kini aku harus fokus pada jati diriku dan juga membantu Shina agar dapat berkomunikasi dengan kerabatnya. Disela jam kerjaku, aku sempatkan membaca beberapa artikel yang berhubungan dengan roh. Setelah aku lumayan memahami beberapa artikel yang aku dapatkan, segera aku print artikel tersebut dan nanti akan aku praktekan di rumah bersama Shina.
Tak terasa jam menunjukan pukul 4 sore kurang 5 menit, saatnya aku bersiap untuk pulang. Aku rapikan barang-barangku, memasukkannya ke tas kerjaku, tak lupa beberapa artikel yang telah aku print tadi. Saat aku ingin mengambil ponselku yang ada di meja, tiba-tiba ponsel itu berdering menandakan sebuah pesan masuk. Sebuah SMS dari nomor yang tak kukenal.
" Kak, aku bete nih, besok libur kan, ada waktu gak. By Ica " isi SMS tersebut. Kenapa saat aku sudah mulai tenang, arus itu kembali mengalir, tapi untunglah aku telah berpegang pada dahan yang kokoh dipinggir sungai saat arus itu tenang. Dan saat kini arus itu mulai mengalir deras, aku bisa menahannya. Tak aku hiraukan SMS dari Ica, aku bergegas pulang secepat mungkin dan mempraktekan hasilku bertapa kepada seorang mpu gugel.
Sesampainya dirumah aku tak mendapatkan Shina ada di ruang depan menonton film. Kemana perginya mahkluk gentayangan itu, apa dia coba membunuh diri. Hei dia kan roh mana bisa bunuh diri, yang ada dia membunuhku saat pertama kali bertemu di rumah sakit.
" Seishin, hoe seishin, dimana sih kamu, aku membawakan artikel yang pernah aku bilang itu lho, kita praktekin sekarang " kuberteriak memanggilnya, mencari kesegenap ruangan tapi tak kutemui, dan sampai pada suatu ruang tengah rumahku yang terdapat sebuah piano kuno, aku menemukan dirinya memandang sebuah rak yang berisi koleksi DVDku.
" Kau ternyata pengagum beratku ya Sam " ucap Shina masih memandang DVD yang kebanyakan adalah video clip dan konser tunggal Shina.
" DVDmu Via yang membelinya, tau gak sih dia tuh ngefans berat sama kamu. Dan dia sangat pandai memainkan semua lagumu pada piano itu " ucapku menunjuk piano kuno yang ada di ruangan.
" Dan kamu, bisa memainkan piano ? " tanyanya.
" Aku Cuma bisa memainkan satu lagi, dan itu bukan lagumu, dan satu lagi itu bukanlah lagu sedih " ucapku seraya berjalan menuju piano itu, lalu menyibak kain putih yang menutupi piano serta kursi yang ada di depannya.
" tiiiiiinnngggg " aku mulai memainkan tuts piano itu berintro terlebih dahulu. Dan mulai memainkan sebuah lagu yang sangat gembira, lagu kebebasan di atas samudra luas.
0 Komentar