Tapi ini kami sudah mengukur ulang berkali-kali, Mbak. Dan ukuran tinggi Mbak ini 159 cm, maaf kami gak bisa menerima Mbak masuk ke sini. Sekali lagi maaf banget yaa Mbak,” jawabnya yang tetap kekeuh bahwa tinggiku adalah 159 cm. Yaudah akhirnya aku mengalah.
Sekar dan Dinda diterima kerja di sana, karena tinggi mereka di atas 165 cm. Tapi ternyata bukan tinggi badanku saja yang diukur jadi lebih pendek. Tinggi badan Sekar seharusnya 167, tapi diukur di sana jadi hanya 166 cm. Begitu juga dengan dialami Dinda.
Tinggi badan dia sekitar 168 cm, namun setelah diukur di
sana tinggi Dinda hanya sekitar 167 cm. Jadi ternyata yang mengalami hal ini bukan aku saja. Semua peserta yang mengikuti seleski masuk sebagai SPG, mereka juga tinggi badannya berkurang sekitar 1 cm.
Akhirnya aku pulang dengan tangan kosong, kembali masuk ke dalam kontrakan dengan tubuh yang lemas.
Aku menyandarkan tubuhku di sofa, membuka kemeja warna putihku karena terlalu gerah. Aku saat itu sampai menangis, karena tidak bisa keterima kerja di tempat itu.
“Kenapa sih hidup aku gini banget! Mau cari kerjaan aja pakai acara ditolak! Kayanya zaman sekarang percuma punya wajah cakep, kalo badannya gak tinggi! Siaal lah,
hidupku bener-bener siaaal!” Aku menjambak-jambak rambutku sendiri saking sedih dan kesalnya.
Namun keesokan harinya, aku kembali bangkit dan mencoba mencari informasi pekerjaan di tempat lain. Tiba-tiba saat aku sedang sibuk dengan handphoneku, di mana aku sedang fokus mencari informasi pekerjaan
di internet. Grace saat itu datang tanpa permisi.
Dia datang bersama Doni, namun Doni saat itu gak ikut masuk ke dalam kontrakanku. Dia memilih untuk duduk di atas motor dan menunggu di luar pagar kontrakan. Grace mengetuk pintu saat hari masih jam 9 pagi. Tumben banget dia dateng sepagi ini?
“Laaa, lu ada di rumah gak? Sorry nih gue dateng mendadak, gue ada perlu dan butuh bantuan lu. Tolong bukain pintunyaa yaa La,” ujar Grace sambil mengetuk- ngetuk pintu kontrakanku. Aku tentu saja menerima kedatangan Grace dengan hangat dan tangan terbuka.
“Ohh iyaa sebentar Grace.” Aku berlari dari dapur,
kebetulan aku sedang memasak sambil bermain handphone. Aku berlari dari dapur menuju ke ruang tamu dan membuka pintu kontrakan. Dan ketika aku membuka pintu, aku melihat penampilan Grace yang sedikit lusuh.
... ...
...
“Grace? Are you okay? Kenapa kok wajah lu kelihatan sedih dan lusuh banget? Dan tumben banget lu dateng ke rumah gue pagi jam 9 begini? Ada apa sayang? Yuk duduk dan cerita sama gue,” ungkapku yang meminta Grace untuk duduk di sofa ruang tamu.
Grace saat itu duduk di sofa, aku memutuskan untuk menemani Grace sebentar sebelum membuatkan minum dan cemilan. “I-Ini, sebelumnya gue pengen minta maaf banget sama lu. Lu ada duit 100 ribu gak, La? Gue lagi butuh duit banget soalnya, kalo ada gue pinjem.”
“100 ribu? Ada kok kalo cuma 100 ribu. Nyokap gue masih selalu kasih uang jajan harian. Karena sekolah udah libur dan gue di rumah terus, jadinya uangnya terus terkumpul. Lu kenapa ke kontrakan gue gak ngabarin dulu?” tanyaku yang mengizinkan Grace pinjam uang.
Grace dengan wajah yang lesu pun menjawab, “Handphone gue dijual, La. Gue sama Doni kan sekarang tinggal ngontrak di deket rumah. Orang tua gue sama Doni, sama-sama gak mau bantu untuk makan. Jadinya terpaksa gue jual handphone buat makan.”
“Hah? Handphone lu dijual? Kok lu mau sih, Grace?
Kebutuhan makan itu bukan tanggung jawab lu dong. Harusnya lu minta Doni cari uang buat makan. Kalo lu gak punya handphone kan yang ada lu pusing juga,” jawabku yang terkejut bukan main.
Hanya 1,5 bulan setelah pernikahan Doni dan Grace. Mereka berdua langsung terlilit permasalahan ekonomi. Aku yang saat itu sudah
baikan dan sudah memaafkan Grace. Aku malah merasa simpati dan kasihan banget sama sahabatku yang satu itu.
“Iyaa, harusnya begitu yaa? Tapi gue masih memberikan toleransi ke Doni kok. Bagaimana pun pernikahan kami baru berjalan 1 bulan lebih. Butuh waktu agar Doni bisa mendapatkan pekerjaan,”
imbuh Grace yang membela suaminya itu.
Aku yang mendengar pembelaan Grace terhadap Doni, yaa tentu saja tidak mempermasalahkan dan memaklumi. “Iyaa sih, yang penting lu sabar yaa Grace. Memang untuk laki-laki bisa sukses itu butuh waktu. Lu juga harus bertahan dan jangan jatuh.”
“Makasih banyak yaa, La. Sorry banget gua dateng malah dengan posisi harus merepotkan lu.” Aku pun akhirnya masuk ke dalam kamar, dan mengambil uang 100 ribu dari dalam tasku. Dari kamar aku melihat ke arah jendela, dan di situlah aku melihat Doni.
Di mana Doni sedang duduk di atas motor sambil
menunggu Grace keluar. Kayanya Doni malu banget untuk ketemu sama aku, makanya dia sampai gak mau masuk. Tapi yaudahlah, yang penting dia gak bertindak buruk sama Grace dan aku.
Aku pun keluar dari kamar dan memberikan uang 100 ribu kepada Grace. “Ini, Grace. Ambil aja uangnya, gak perlu lu ganti. Bagaimana pun kita
berdua itu sahabat dan temen deket. Gue pasti akan selalu berusaha bantu lu, selama gue masih bisa mampu untuk bantu.”
“Ma—Makasih banyak yaa, La. Sumpah gue gak tau lagi harus ngomong apa sama lu. Kalo gitu gue pamit dulu, soalnya gue sama Doni belum makan dari malam. Sampai ketemu lagi, Laa.” Grace
dengan tergesa-gesa keluar dari kontrakanku dan menghampiri suaminya itu.
Dan mereka berdua pergi begitu saja dengan cepat. Aku saking bingung dan kagetnya, sampai terdiam di teras memperhatikan motor yang mereka tumpangi berlalu. Namun aku memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah, dan
mencari pekerjaan lagi di internet.
Namun semenjak saat itu, entah kenapa Grace jadi rutin datang ke kontrakanku setiap 1 minggu sekali. Di mana dia datang selalu dengan tujuan untuk meminjam uang. Dan hal ini, malah menjadi masalah baru bagiku. Aku saja belum dapat pekerjaan saat itu.
0 Komentar