Bekerja sebagai Design-er di perusahaan sangat melelahkan. Tenaga, pikiran, semuanya
terkuras. Apalagi kalau ada Proyek-proyek yang kompleks serta wajib segera dibereskan. Mau
tidak mau, aku wajib mencurahkan perhatian ekstra.
Maklum, aku telah berkeluarga serta punya seorang anak, tetapi mereka kutinggalkan di
kampung sebab istiku punya usaha dagang di sana. Tapi lama kelamaan semua itu membikinku
bosan. Ya…di Bekasi ini, mesikipun aku merantau, nyatanya aku punya tidak sedikit saudara
serta sebab kesibukan aku tidak sempat berkomunikasi dengan mereka.
Akhirnya kuputuskan untuk menelepon Mas Karto, sepupuku. Kami pun bercanda ria, sebab
lama sekali kami tidak kontak. Mas Karto bekerja di salah satu perusahaan minyak asing, serta
saat itu dirinya kasih tau kalau minggu depan ditugaskan perusahaannya ke tengah laut,
mengantar logistik sekaligus menolong pembetulan salah satu peralatan rig yang rusak.
Dan dirinya memintaku untuk menemani keluarganya kalau aku tidak keberatan. Sebenernya
aku males banget, sebab rumah Mas Karto lumayan jauh dari tempat kostku Aku di bilangan
Bekasi, sedangkan Mas Karto di ciputat. Tapi entah mengapa aku mengiyakan saja
permintaannya, sebab kupikir-pikir sekalian silaturahmi. Maklum, lama sekali tidak jumpa.
Hari Kamis minggu berikutnya aku ditelepon Mas Karto untuk memastikan bahwa aku jadi
menginap di rumahnya. Sebab kata Mas Karto istrinya, mbak Vivi, bahagia kalau aku mau
datang. Hitung-hitung buat kawan ngobrol serta kawan main anak-anaknya. Mereka berdua
telah punya anak laki-laki dua orang. Yang sulung kelas 5 SD, serta yang bungsu kelas 3 SD.
Usia Mas Karto 38 tahun serta mbak Lala 35 tahun. Aku sendiri 30 tahun. Jadi tidak beda jauh
amat dengan mereka. Apalagi kata Mbak Vivi, aku telah lama sekali tidak berkunjung ke
rumahnya. Khususnya semenjak aku bekerja di Bekasi ini. Ya, tiga tahun lebih aku tidak
berjumpa mereka. Paling-paling cuma lewat telepon
Seusai makan siang, aku telepon mbak Vivi, janjian pulang bareng Kami janjian di stasiun,
sebab mbak Vivi biasa pulang naik kereta.
“kalau naik bis macet banget. Lagian sampe rumahnya terlalu malem”, begitu argumen Mbak
Vivi. Serta jam 17.00 aku berjumpa Mbak Vivi di stasiun. Tidak lama, kereta yang ditunggu pun
datang. Lumayan penuh, tapi aku serta mbak tetap dapat berdiri dengan enjoy. Kamipun asyik
bercerita, seolah tidak mempedulikan kiri kanan.
Tapi faktor itu nyatanya tidak berjalan lama Lepas stasiun J, kereta sangatlah penuh. Mau tidak
mau posisiku bergeser serta berhadapan dengan Mbak Mbak Vivi. Inilah yang kutakutkan…!
Berbagai kali, sebab goyangan kereta, dada montok Mbak Vivi meny Rupanya Mbak Vivi menonton perubahanku serta ?ini konyolnya- dirinya merubah posisi
dengan membelakangiku. Alamaakk.. siksaanku bertambah..! Sebab sempitnya ruangan, si
“Joni”-ku menyentuh pantatnya yang bulat manggairahkan. Aku hanya dapat berdoa semoga
“Joni” tidak bangun.
Kamipun tetap mengobrol serta bercerita untuk membunuh waktu. Tapi, namanya laki-laki
normal apalgi ditambah gesekan-gesekan yang ritmis, mau tidak mau bangun juga “Joni”-ku.
Makin lama makin keras, serta aku yakin Mbak Vivi dapat merasakannya di balik rok mininya
itu.
Pikiran ngeresku pun muncul, seandainya aku dapat meremas dada serta pinggulnya yang
montok itu.. oh… alangkah nikmatnya. Akhirnya hingga juga kami di Ciputat, serta aku
bersyukur sebab siksaanku beres. Kami kemudian naik angkot, serta sepanjang jalan Mbak Vivi
diam saja. Hingga dirumah, kami beristirahat, mandi (sendiri-sendiri, loh..) serta kemudian
makan malam bersama keponakanku. Beres makan malam, kami bersantai, serta tidak lama
kedua keponakanku pun pamit tidur.
“Rian, mbak mau bicara sebentar”, katanya, tegas sekali.
“Iya mbak.. kenapa”, sahutku bertanya. Aku berdebar, sebab yakin bahwa mbak bakal
memarahiku dampak ketidak sengajaanku di kereta tadi.
“Mbak tau kok perubahan kamu di kereta. Kamuu ngaceng kan?” katanya, dengan nada
tertahan semacam menahan rasa jengkel.
“Mbak tidak suka kalau ada laki-laki yang begitu ke perempuan. Itu namanya pelecehan. Tau
kamu?!”
“MMm.. maaf, mbak..”, ujarku terbata-bata.
“Saya tidak sengaja. Soalnya kondisi kereta kan penuh banget. Lagian, nempelnya terlalu
lama.. ya.. aku tidak tahan”
“Terserah apa kata kamu, yang jelas jangan hingga terulang lagi. Tidak sedikit cara untuk
mengalihkan pikiran ngeres Kamu itu. Paham?!” bentak Mbak Vivi.
“Iya, Mbak. aku paham. Saya janji tidak ngulangin lagi”
“Ya sanaa. Sana, kalau kamu mau main PS. Mbak mau tidur-tiduran dulu. kalau pengen nonton
filem masuk aja kamar Mbak.” Sahutnya. Rupanya, tensinya telah mulai menurun.
Akhirnya aku main PS di ruang tengah. Sebab bosan, aku ketok pintu kamarnya. Pengen
nonton film. Rupanya Mbak Vivi sedang baca novel sambil tiduran. Dirinya menggunakan daster
panjang. Aku sempat mencuri pandang ke seluruh tubuhnya. Kuakui, walapun punya anak dua,
tubuh Mbak Vivi betul-betul terpelihara. Maklumlah, modalnya ada. Akupun segera menyetel
VCD serta berbaring di karpet, sementara Mbak Lala asyik dengan novelnya.
Entah sebab lelah alias sejuknya ruangan, alias sebab apa akupun tertidur. Tidak lebih lebih 2
jam, serta aku terbangun. Film telah beres, Mbak Vivi juga telah tidur. Terdengar dengkuran
halusnya. Wah, pasti dirinya capek banget, pikirku. Saat aku beranjak dari tiduranku, hendak pindah kamar, aku terkesiap. Posisi tidur Mbak Vivi
yang agak telungkup ke kiri dengan kaki kanan terangkat keatas sangatlah membikin jantungku
berdebar. Bagaimana tidak? Di depanku terpampang paha mulus, sebab dasternya sedikti
tersingkap. Mbak Vivi berkulti putih kemerahan, serta warna itu makin membikinku tidak karuan.
Hatiku tambah berdebar, nafasku mulai memburu.. birahiku pun timbul..
Perlahan, kubelai paha itu.. lembut.. kusingkap daster itu samapi pangkal pahanya.. serta..
AHH… “Jonii”-ku mengeras seketika. Mbak Vivi nyatanya menggunakan CD mini warna merah..
OHH GOD.. apa yang wajib kuperbuat… Aku hanya menelan ludah menonton pantatnya yang
tampak menggunung, serta CD itu nyaris semacam G-String.
Aku bener-bener terangsang menonton pemandangan indah itu, tapi aku sendiri merasa tidak
enak hati, sebab Mbak Vivi istri sepupuku sendiri, yang mana sebenarnya wajib aku kawani
serta aku lindungi dikala suaminya sedang tidak dirumah.
Tetapi godaan syahwat terbukti mengalahkan segalanya. Tidak tahan, kusingkap pelan-pelan
celana dalamnya, serta tampaklah gundukan memeknya berwarna kemerahan. Aku bingung..
wajib kuapakan.. sebab aku tetap ada rasa was-was, takut, kasihan… tapi sekali lagi godaan
birahi terbukti dahsyat.
Akhirnya pelan-pelan kujilati memek itu dengan rasa was-was takut Mbak Vivi bangun. Sllrrpp..
mmffhh… sllrrpp… nyatanya memeknya lezat juga, ditambah pubic hair Mbak Lala yang sedikit,
jadi hidungku tidak geli bahkan bebas menikmati bau memeknya.
Entah setan apa yang menguasai diriku, tahu-tahu aku telah mencopot seluruh celanaku.
Seusai “Joni”-ku kubasahi dengan ludahku, segera kubenamkan ke memek Mbak Vivi. Agak
sulit juga, sebab posisinya itu. Serta aku hasrus ekstra hati-hati agar dirinya tidak terbangun.
Akhirnya “Joni”-ku sukses masuk.
Ahhhhh… hangat rasanya.. sempit.. tapi licin… semacam piston di dalam silinder. Entah licin
sebab Mbak Vivi mulai horny, alias sebab ludah bekas jilatanku.. entahlah. Yang pasti, kugenjot
dia.. naik turun pelan lembut.. tapi nyatanya nggak hingga lima menit.
Aku begitu terpukau dengan keindahan pinggul serta pantatnya, kehalusan kulitnya, jadi
pertahananku jebol. Crroott… ccrroott.. sseerr.. ssrreett.. kumuntahkan maniku di dalam memek
Mbak Vivi. Aku merasakan pantatnya sedikit tersentak. Seusai habis maniku, pelan-pelan
dengan dag-dig-dug kucabut penisku.
“Mmmhh… kok dicabut Batangnya..” suara Mbak Vivi parau sebab tetap ngantuk.
“Gantian dong..aku juga pengen..”
Aku kaget bukan main. Jantungku tambah keras berdegup.
“Wah.. celaka..”, pikirku.“Ketahuan, nich…” Benar saja! Mbak Vivi membalikkan badannya. Seketika dirinya begitu
terkejut serta dengan cara refleks menampar pipiku. Rupanya dirinya baru sadar bahwa yang
habis menyetubuhinya bukan Mas Karto, melainkan aku, sepupunya.
“Kuranggg ajar kamu, Riann”, makinya.
“KELUAR KAMU…!”
Aku segera keluar serta masuk kamar tidur tamu. Di dalam kamar aku bener-bener gelisah..
takut.. malu.. apalagi kalau Mbak Vivi hingga lapor polisi dengan tuduhan pemerkosaan. Wah..
terbayang jelas di benakku agenda Buser… malunya aku.
Aku mencoba menenangkan diri dengan membaca majalah, buku, apa saja yang dapat
membikinku mengantuk. Serta entah berapa lama aku membaca, aku pun akhirnya terlelap.
Seolah mimpi, aku merasa “Joni”-ku semacam lagi keenakan. Serasa ada yang membelai.
Nafas hangat serta lembut menerpa selangkanganku. Perlahan kubuka mata.. serta..
“Mbak Vivi..jangan”, pintaku sambil aku hebat tubuhku.
“Riann..” sahut Mbak Lala, setengah terkejut.
“Maaf ya, kalau tadi aku marah-marah. Aku bener-bener kaget liat kamuu tidak pake celana,
ngaceng lagi.”
“Kamu maunya apa?” Mbak Vivi bertanya kepadaku. Aneh sekali, tadi dirinya marah-marah,
sekarang kok.. jadi begini..
“Riann.. sehabis marah-marah tadi, Mbak bersihin memek dari sperma kamu serta disiram air
dingin agar Mbak tidak ikutan horny. Tapi… Mbak kebayang-bayang titit kamu. Soalnya Mbak
belum sempat ngeliat kayak punya kamu. Imut, tapi di meki Mbak kerasa tuh.” Sahutnya sambil
tersenyum.
Dan tanpa menantikan jawabanku, dikulumnya penisku seketika jadi aku tersentak dibuatnya.
Mbak Vivi begitu rakus melumat penisku yang ukurannya biasa-biasa saja. Bahkan aku
merasakan penisku mentok hingga ke kerongkongannya.
Secara refleks, Mbak naik ke bed, menyingkapkan dasternya di mukaku. Posisii kami sekarang
69. Serta, Ya Tuhan, Mbak Vivi telah melepas CD nya. Aku menonton memeknya makin
membengkak merah. Clistorisnya agak menggelambir, seolah menantangku untuk dijilat serta
dihisap. Tidak kusia-siakan, segera kuserbu dengan bibirku..
“SSshh.. ahh.. Ria…nnnnn.. iya.. gitu.. he-eh.. Mmmffhh.. sshh.. aahh” Mbak Vivi merintih
menahan nikmat. Akupun menikmati memeknya yang nyatanya bener-bener becek. Aku suka
sekali dengan cairannya.
“Itilnya.. dong…Riannn. mm.. IYAA… AAHH… … AMPUUNN Riann..”
Mbak Vivi makin keras merintih serta melenguh. Goyangan pinggulnya makin liar serta tidak
beraturan. Memeknya makin memerah serta makin becek. Sesekali jariku kumasukkan ke
dalamnya sambil semakin menghisap clitorisnya. Tapi rupanya kelihaian lidah serta jariku tetap kalah dengan kelihaian lidah Mbak Vivi. Buktinya aku merasa ada yang mendesak penisku,
seolah mau menyembur.
“Mbak… mau keluar nih…” kataku.
Tapi Mbak Vivi tidak mempedulikan ucapanku serta makin ganas mengulum batang penisku.
Aku makin tidak tahan serta.. crrootts… srssrreett… ssrett… spermaku muncrat di muutu Mbak
Vivi. Dengan rakusnya Mbak Lala mengusapkan spermaku ke wajahnya serta menelan sisanya.
“Riannn.. kamuu udahhh keluar.. Mbak belum kebagian nih…” pintanya.
Aku hanya dapat meringis menahan geli, sebab Mbak Vivi melanjutkan mengisap penisku.
Anehnya, penisku semacam menuruti kemauan Mbak Vivi. Apabila tadi langsung lemas,
nyatanya hari ini penisku dengan mudahnya bangun lagi. Mungkin sebab pengaruh lendir
memek Mbak Vivi sebab pada saat yang sama aku sibuk menikmati itil serta cairan memeknya,
aku jadi mudah terangsang lagi.
Tiba-tiba Mbak Vivi bangun serta melepaskan dasternya.
“Copot bajumu semua, Rian” perintahnya.
Aku menuruti perintahnya serta terperangah menonton pemandangan indah di depanku. Buah
dada itu membusung tegak. Kuperkirakan ukurannya 36B. Puting serta ariolanya bersih, merah
kecoklatan, sewarna kulitnya. Puting itu sangatlah tegak ke atas seolah menantang
kelelakianku untuk mengulumnya. Segera Mbak Vivi berlutut di atasku, serta tangannya
mengajar penisku ke celah memeknya yang panas serta basah. Bless… sshh…
“Aduhh… Riann… Batanggmu keras banget yah…” rintihnya.
Mbak Vivi dengan buasnya menaikturunkan pantatnya, sesekali diselingi gerkan maju mundur.
Bunyi gemerecek dampak memeknya yang basah makin keras. Tidak kusia-siakan, kulahap
habis kedua putingnya yang menantang, rakus.
Mbak Vivi makin keras goyangnya, serta aku merasakan tubuh serta memeknya makin panas,
nafasnya makin memburu. Makin lama gerakan pinggul Mbak Vivi makin cepat, cairan
memeknya membanjir, nafasnya memburu serta sesaat kurasakan tubuhnya mengejang..
bergetar hebat.. nafasnynya tertahan.
“MMFF… SSHSHH.. AAIIHH… OUUGGHH… RIANNN… MBAK KELUAARR… AAHHSSHH…”
Mbak Vivi menjerit serta mengerang seiring dengan puncak kenikmatan yang telah diraihnya.
Memeknya terasa sangat panas serta gerakan pinggulnya demikian liar jadi aku merasakan
penisku semacam dipelintir. Serta akhirnya Mbak Vivi ambruk di atas dadaku dengan ekspresi
wajah penuh kepuasan.Aku tersenyum penuh kemenangan sebab aku tetap sanggup bersi keras… Tidak disangka,
seusai istirahat sejenak, Mbak Viviberdiri serta duduk di pinggir spring bed. Kedua kakinya
mengangkang, punggungnya agak ditarik ke belakang serta kedua tangannya menyangga
tubuhnya.
“Riannn, ayo cepet masukin lagi. Itil Mbak kok rasanya tegangg Bangettt..” pintanya setengah
memaksa.
Apa boleh buat, kuturuti kemauannya itu. Perlahan penisku kugosok-gosokkan ke bibir memek
serta itilnya. Memek Mbak Vivi mulai memerah lagi, itilnya langsung menegang, serta lendirnya
tampak mambasahi dinding memeknya.
“SShh.. mm.. Riannn.. kamu jail banget siicchh… oohh…” rintihnya.
“Masukin aja, Sayangg… jangan siksa aku, pleeaassee…” rengeknya.
Mendengar dirinya merintih serta merengek, aku makin bernafsu. Perlahan kumasukkan
penisku yang terbukti tetap tegak ke memeknya yang nyatanya sangat becek serta terasa
panas dampak tetap memendam gelora birahi. Kugoyang maju mundur perlahan, sesekali
dengan gerakan mencangkul serta memutar.
Mbak Vivi mulai gelisah, nafasnya makin memburu, tubuhnya makin gemetaran. Tidak lupa jari
tengahku memainkan serta menggosok clitorisnya yang nyatanya sangatlah sekeras serta
sebesar kacang. Iseng-iseng kucabut penisku dari liang surganya, serta tampaklah celah itu
menganga kemerahan.. basah sekali..
Gerakan jariku di itilnya makin kupercepat, Mbak Vivi makin tidak karuan gerakannya. Kakinya
mulai kejang serta gemetaran, demikian pula sekujur tubuhnya mulai bergetar serta mengejang
bergantian. Celah memek itu makin becek, terkesan lendirnya meleleh dengan derasnya, serta
segera saja kusambar dengan lidahku.. direguk habis semua lendir yang meleleh. Pasti saja
tindakanku ini mengagetkan Mbak Vivi, terasa dari pinggulnya yang tersentak keras seiring
dengan jilatanku di memeknya.
Kupandangi memek itu lagi, serta aku menonton ada semacam daging kemerahan yang
mencuat keluar, bergerinjal berwarna merah seakan-akan hendak keluar dari memeknya. Serta
nafas Mbak Vivi tiba-tiba tertahan diiringi pekikan kecil.. serta ssrr… ceerr.. aku merasakan ada
cairan hangat muncrat dari memeknya.
“Mbak.. udah keluar?”, tanyaku.
“Beluumm..,Riannnn.. ayo sayang.. masukin Kontool kamu… aku hampir sampaaii..” erangnya.
Rupanya Mbak Vivihingga terkencing-kencing menahan nikmat. Dampak pemandangan itu aku
merasa ada yang mendesak ingin keluar dari penisku, serta segera saja aku memompa
Memekk Mbak Vivi sekuat tenaga serta secepat aku mampu, hingga akhirnya..“RIANNN… AKU KELUAARR… OOHH… SAYANG… MMHH… AAGGHH… UUFF…”, Mbak
Vivi menjerit serta mengerang tidak karuan sambil mengejang-ngejang.
Bola matanya tampak memutih, serta aku merasa jepitan di penisku begitu kuat. Akhirnya bobol
juga pertahananku..
“Mbak.. aku mau muncrat nich..” kataku.
“Keluarin sayang… ayo sayang, keluarin di dalem… aku pengen kehangatan spermamu sekali
lagi…” pintanya sambil menggoyangkan pinggulnya, menepuk pantatku serta meremas
pinggulnya.
Seketika itu juga.. Jrruuoott… jrroott… srroott..
“Mbaakk.. MBAAKK… OOGGHH… AKU MUNCRAT MBAAKK…” aku berteriak.
“Hmm.. ayo sayang… keluarkan semua… habiskan semua… nikmati, sayang… ayo… oohh…
hangat… hangat sekali spermamu di rahimku.. mmhh…” desah Mbak Vivi manja
menggairahkan.
Akupun terkulai diatas tubuh moleknya dengan nafas satu dua. Sangatlah malam jahanam yang
melelahkan sekaligus malam surgawi.
“Sayanggg, makasih ya… kalian dapat melepaskan hasrat ngesex ku..” Mbak Vivi tersenyum
puas sekali..
“He-eh.. Mbak.. aku juga..” balasku.
“Aku juga makasih boleh menikmati tubuh Mbak. Semakin terang, sejak ngeliat Mbak, aku
pengen ngesex dengan Mbak. Tapi aku sadar itu tidak mungkin terjadi. Gimana dengan
keluarga kami kalau hingga tahu.”
“Waahh.. nakal juga kau ya…” kata Mbak Lala sambil memencet hidungku.
“Aku tidak nyangka kalau adik sepupuku ini pikirannya ngesex melulu. Tapi, sekarang cita-cita
kalian jadi kenyataan kan?”
“Iya, Mbak. Makasih banget.. aku boleh ngesex serta menikmati semua tahap tubuh Mbak.”
Jawabku.
“Kamu pengalaman ngesex pertamaku, RIAN. Maksud Mbak, ini pertama kali Mbak ngesex
dengan laki-laki tidak hanya Mas Karto. tidak ada yang aneh kok. Titit Mas Karto jauh lebih
besar dari punya kamu. Mas Karto juga perkasa, soalnya Mbak berkali-kali keluar kalau lagi join
sama masmu itu” sahutnya.
“Semakin, kok keliatan puas banget? Cari variasi ya?” aku bertanya.“Ini pertama kalinya aku ngesex hingga terkencing-kencing menahan nikmatnya gesekan jari
serta kontolmu itu. Suer, baru hari ini Mbak ngesex hingga Orgassmee segala. kamu nggak
jijik?”
“Ooohh.. itu toh..? Kenapa wajib jijik? Justru aku makin horny ingin ngesex lg..” aku tersenyum.
0 Komentar